TACB Pematangsiantar Rekomendasikan Lima Bangunan Bersejarah Jadi Cagar Budaya Kota

TACB Kota Pertama menyerahkan rekomendasi agar ditetapkan menjadi cagar budaya (f:ist/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Pematangsiantar telah menyelesaikan sidang rekomendasi penetapan lima objek diduga cagar budaya (ODCB) yang digelar pada 27–28 Oktober 2025 di Aula Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar.
Ketua TACB Kota Pematangsiantar, Kusma Erizal Ginting, menjelaskan bahwa sidang tersebut merupakan tahapan penting dalam proses pelestarian warisan sejarah kota.
“Kami menilai lima bangunan yang diajukan Tim Pendaftaran ODCB memiliki nilai historis dan arsitektural yang kuat. Objek-objek ini menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah dan identitas Pematangsiantar,” ujarnya, Kamis (30/10/2025).
Lima bangunan yang dimaksud adalah Rumah Dinas Asisten Apoteker RSUD dr. Djasamen Saragih, Pesanggrahan Raja Siantar, Kantor Pusat GKPS Lama, Rumah Rajamin Purba, dan Rumah Direktur RSUD dr. Djasamen Saragih.
Setiap objek telah melalui proses kajian mendalam, termasuk penelusuran sejarah, analisis arsitektur, serta wawancara dengan pihak-pihak yang memahami konteks sosial budayanya. “Hasil sidang akan kami rekomendasikan kepada Wali Kota untuk ditetapkan secara resmi sebagai cagar budaya kota tahun 2025,” katanya.
Ia menambahkan, hingga saat ini terdapat 64 objek diduga cagar budaya di Pematangsiantar berdasarkan dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) tahun 2022.
Dari jumlah itu, lima objek sudah ditetapkan tahun 2024, yakni Balai Kota Pematangsiantar, Museum Simalungun, Arca Pengulu Balang Parorot, Arca Bidak Catur Raja Nagur, dan Arca Raja Manunggang Kuda.
“Pematangsiantar memiliki kekayaan sejarah luar biasa karena dulunya menjadi salah satu pusat pemerintahan kolonial dan perkebunan. Upaya penetapan ini bagian dari komitmen menjaga jejak sejarah agar tidak hilang ditelan modernisasi,” jelas Kusma.
Ia berharap dukungan masyarakat dan pemerintah daerah terus menguat agar proses pelestarian tidak berhenti hanya pada penetapan status. “Cagar budaya tidak hanya dilestarikan secara fisik, tetapi juga harus hidup dalam kesadaran publik sebagai bagian dari identitas kota,” ujarnya.
(hm17)
























