Friday, July 4, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Fadli Zon Disorot Usai Ragukan Pemerkosaan Massal Mei 1998, DPR Menangis

journalist-avatar-top
Kamis, 3 Juli 2025 21.55
fadli_zon_disorot_usai_ragukan_pemerkosaan_massal_mei_1998_dpr_menangis

Anggota DPR Mercy Chriesty Barends menangis setelah mendengar pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadlin Zon (Foto: Dokumen DPR/mistar)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Rapat Komisi X DPR RI yang awalnya membahas agenda rutin RKA-K/L tahun 2026 berubah menjadi ajang emosional ketika isu pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 mencuat ke permukaan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjadi sorotan utama setelah mempertanyakan narasi seputar peristiwa kelam tersebut.

Dalam tayangan langsung DPR TV pada Rabu (2/7/2025), ketegangan mulai terasa saat Fadli mengomentari penggunaan istilah "massal" untuk menggambarkan kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan 1998. Ia membandingkannya dengan tragedi besar lain seperti di Nanjing dan Bosnia, serta menyebut perlunya dokumentasi lebih kuat untuk mendukung klaim tersebut.

Komentar itu langsung menyulut emosi anggota Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, yang dengan suara bergetar meminta Fadli menyampaikan permintaan maaf kepada para korban dan penyintas. "Tidak mudah menyuarakan trauma ini. Tapi jangan abaikan fakta bahwa kekerasan itu nyata. Apa susahnya minta maaf?" ucap Mercy sambil menahan tangis.

Situasi kian emosional saat Wakil Ketua Komisi X DPR, My Esti Wijayati, turut menyela dengan nada kecewa. Ia menyebut pernyataan Fadli tidak menunjukkan empati terhadap penderitaan para korban. “Saya berada di Jakarta saat kejadian itu, saya melihat kekacauan langsung. Pernyataan Pak Fadli tadi sangat menyakitkan,” katanya sembari menangis.

Fadli Zon, yang sebelumnya mengutip laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, menyatakan bahwa memang terdapat kasus kekerasan seksual, namun sulit dibuktikan secara hukum karena keterbatasan bukti dan dokumentasi. Ia juga menyoroti penyebaran narasi visual yang menurutnya tidak akurat, dengan mengklaim beberapa foto yang beredar kala itu bukan berasal dari Indonesia.

Namun, penjelasan itu justru memicu gelombang kritik. Banyak pihak menilai pendekatan Fadli terlalu teknokratis dan minim empati. Koalisi masyarakat sipil bahkan menuding pernyataan tersebut bisa mengaburkan kebenaran sejarah dan menyakiti para penyintas yang telah berjuang dalam diam.

Merespons tekanan tersebut, Fadli akhirnya menyampaikan permintaan maaf. “Saya mengecam segala bentuk kekerasan seksual. Jika ada yang merasa tersinggung atas penyampaian saya, saya minta maaf,” ucapnya di hadapan forum.

Meski permintaan maaf telah disampaikan, polemik ini diprediksi belum akan mereda. Banyak pihak mendesak agar pemerintah lebih serius dalam mengakui dan menindaklanjuti tragedi kemanusiaan tersebut, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga melalui langkah konkret dalam pemulihan dan keadilan bagi korban.(hm17)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN