Rabu Wekasan: Antara Tradisi Tolak Bala dan Kontroversi Teologis

Ilustrasi, Rabu Wekasan. (foto:pwnubali/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Rabu Wekasan (juga dikenal sebagai Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan) adalah sebuah tradisi masyarakat Nusantara yang diperingati setiap Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Di balik pelaksanaannya yang ramai dengan doa bersama, sedekah, dan ritual tolak bala, muncul pertanyaan: Apakah ini bagian dari warisan budaya atau praktik yang menyalahi ajaran agama?
Apa Itu Rabu Wekasan?
Secara harfiah, Rabu Wekasan berarti Rabu terakhir di bulan Safar. Tradisi ini banyak dijumpai di Jawa, Madura, dan sebagian wilayah Sunda, dan dikenal sebagai bentuk ikhtiar tolak bala—yakni permohonan perlindungan dari malapetaka yang diyakini turun pada hari tersebut.
Tradisi ini merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal, seiring masuknya Islam ke wilayah Nusantara.
Sejarah dan Asal Usul
Kepercayaan bahwa bulan Safar membawa sial berasal dari tradisi pra-Islam yang melebur dengan budaya Islam setempat. Sebagian kisah tradisional menyebut bahwa 320.000 bala (musibah atau penyakit) diturunkan pada hari Rabu Wekasan, namun tidak ada dalil sahih dalam Islam yang mendukung klaim tersebut.
Pandangan Ulama dan Kajian Teologis
* Islam Menolak Tahayyur
Mayoritas ulama sepakat bahwa percaya pada hari sial termasuk bentuk tahayyur yang dilarang dalam Islam. Tidak ada hadis sahih yang mewajibkan ibadah tertentu di hari Rabu Wekasan.
* Bid'ah vs Budaya
Jika ritual-ritual tersebut dipandang sebagai ibadah khusus, maka sebagian ulama mengategorikannya sebagai bid'ah. Namun, jika hanya dimaknai sebagai aktivitas budaya (seperti doa bersama atau sedekah), maka diperbolehkan, selama tidak bertentangan dengan tauhid.
* Perspektif Tasawuf dan Lokal
Sebagian kalangan sufi dan ulama tradisional mengadopsi pendekatan mistis dan spiritual terhadap Rabu Wekasan, meski tetap tidak menjadikannya bagian dari syariat yang umum.
Praktik Tradisional Rabu Wekasan di Masyarakat
Pelaksanaannya berbeda-beda di tiap daerah, namun umumnya mencakup:
- Doa bersama dan tahlilan
- Sedekah dan pembagian makanan (seperti ketupat atau bubur syuro)
- Tirakat atau puasa sunah (tanpa klaim khusus)
- Mandi kembang dan ziarah kubur
- Keliling kampung sambil membaca doa-doa keselamatan
Transformasi Makna di Era Modern
Di era modern, generasi muda dan komunitas urban mulai mengalihkan fokus dari aspek mistis ke dimensi sosial, seperti:
- Kegiatan filantropi
- Kerja bakti dan kebersihan lingkungan
- Kampanye kesehatan dan solidaritas warga
Hal ini memperkuat pandangan bahwa Rabu Wekasan kini lebih sebagai sarana pemberdayaan sosial ketimbang ritual agama.
Sorotan Utama
- Rabu Wekasan adalah tradisi budaya, bukan ibadah wajib.
- Penilaian syar’i sangat bergantung pada niat dan cara pelaksanaannya.
- Praktik positif yang menguatkan solidaritas dan nilai-nilai sosial layak dilestarikan selama tidak disertai takhayul.
- Dialog terbuka antara ulama, tokoh adat, dan masyarakat sangat penting untuk menjaga harmoni dan pemahaman yang tepat.
Rabu Wekasan merupakan contoh nyata dari Islam Nusantara: perpaduan antara nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal. Meski mengandung unsur kontroversial secara teologis, aspek sosial dan nilai kebersamaan yang terkandung di dalamnya dapat menjadi media edukasi, refleksi, dan pemberdayaan masyarakat—asal tidak dijadikan sebagai kewajiban agama atau menimbulkan keyakinan yang menyimpang.
Artikel ini dikurasi dari berbagai sumber media terpercaya dengan menggunakan teknologi Artifial Intelligence (AI), pada Selasa (19/8/2025). (*)