Friday, September 26, 2025
home_banner_first
HUKUM & PERISTIWA

Tawuran Belawan (2): Luka Sosial, Narkoba, dan Kemiskinan yang Tak Sembuh

Jumat, 26 September 2025 17.15
tawuran_belawan_2_luka_sosial_narkoba_dan_kemiskinan_yang_tak_sembuh

Sejumlah pelaku tawuran di Belawan diamankan sebagai bagian dari upaya menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. (foto:humaspolrespelabuhanbelawan/mistar)

news_banner

Belawan, MISTAR.ID

Belawan seolah ditakdirkan tak pernah sunyi dari konflik. Setiap kali tawuran pecah, yang tersisa hanyalah stigma sebagai kota rawan dan sarang kriminal.

Padahal, di balik semua itu tersimpan realitas getir, yakni masyarakat terjepit kemiskinan, generasi muda putus sekolah, narkoba yang merusak, serta kebijakan yang tak pernah menyentuh akar persoalan.

“Selain itu, ada juga pengaruh lingkungan. Lingkungan yang rawan konflik dan kurangnya interaksi positif antar kelompok dapat memperburuk situasi,” kata pengamat sosial Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi, Kamis (18/9/2025).

Menurut Agus, kemiskinan, putus sekolah, dan tawuran saling berkaitan erat. Kemiskinan membatasi akses pendidikan dan pekerjaan, sementara putus sekolah membuat generasi muda kehilangan keterampilan, sehingga mencari pengakuan lewat kelompok yang rawan terlibat tawuran.

“Tawuran sering kali menjadi pelarian dari kondisi hidup yang sulit, di mana individu mencari pengakuan dan identitas melalui kelompok,” ujarnya.

Dosen USU itu juga menyoroti pengaruh narkoba yang signifikan dalam memperparah konflik sosial di Medan Utara. Menurutnya, narkoba meningkatkan angka kriminalitas, memecah komunitas, hingga merusak tatanan keluarga.

“Dampak sosial dari penggunaan narkoba dapat menyebabkan disfungsi dalam keluarga dan komunitas yang berkontribusi pada ketegangan,” ucap Agus.

Terkait teori tawuran sebagai distraksi bandar narkoba, Agus menilai hal itu logis dan empiris. Tawuran, katanya, sering dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian aparat dari aktivitas perdagangan narkoba yang lebih besar.

Menurutnya, narkoba meningkatkan kriminalitas, memecah komunitas, dan merusak tatanan keluarga. Bahkan, tawuran kerap dimanfaatkan jaringan narkoba untuk mengalihkan perhatian aparat dari perdagangan yang lebih besar.

Untuk meredam tawuran dalam jangka panjang, Agus menekankan pentingnya pembangunan manusia. Di antaranya akses pendidikan yang berkualitas, pemberdayaan ekonomi, program sosial lintas kelompok, hingga pelatihan keterampilan hidup dan kepemimpinan bagi generasi muda harus diperkuat.

Interaksi Sosial yang Rapuh

Pandangan serupa disampaikan pengamat sosiologi USU, Henry Sitorus Pane. Menurutnya, solidaritas masyarakat Belawan terbentuk secara mekanik, sesuai teori Durkheim, karena kondisi sosial-ekonomi yang menengah ke bawah.

“Menurut perspektif teori Durkheim, solidaritas di sana itu lebih ke solidaritas mekanik, bukan solidaritas organik,” ucapnya.

Lanjutnya, ketika beban sosial-ekonomi tinggi dan tidak ada ruang relaksasi seperti plaza atau pusat hiburan, tekanan sosial mudah meledak dalam bentuk tawuran.

“Narkoba itu bisa berkembang. Ada semacam aktivitas yang terorganisir. Jadi, itu bagian bisnis. Namun, ini akan cepat masuk ke dalam, terkontaminasi, kalau mereka punya masalah-masalah beban sosial yang tinggi biasanya,” kata Henry.

Ia menilai, pemicu utama tetap kondisi sosial-ekonomi. Jika tawuran dimobilisasi, biasanya melibatkan aktor dari luar dengan motif tertentu. Henry menekankan solusi jangka panjang harus fokus pada pembangunan manusia, pengurangan kecemburuan sosial, serta komitmen aparat dan elit politik agar benar-benar pro-rakyat.


Salah satu permukiman warga di kawasan Belawan Lama, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan. (foto:deddy/mistar)

“Kerusuhan sosial sering muncul karena masyarakat kecewa pada ketidakadilan hukum dan kebijakan publik. Jika elit terus serakah, konflik seperti ini akan berulang,” katanya.

Ia juga berharap agar pemerintah membantu meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Tidak hanya memberikan ikan, tapi juga pancing untuk tujuan memandirikan.

“Bantuan sosial memang oke, membangun. Namun untuk jangka panjang, nggak boleh. Masyarakat justru akan ketergantungan, dan kreativitas tidak ada,” ucap Agus.

Rendahnya Pendidikan Agama

Tokoh agama Belawan, Ustaz Muhammad Nabawi, menilai tawuran juga dipicu rendahnya pendidikan agama.

"Salah satu penyebab tawuran yang kerap terjadi di Belawan adalah kurangnya didikan agama, terutama dari orang tuanya. Bisa dikatakan hampir tidak peduli dengan ilmu agama," katanya saat diwawancarai Mistar, Selasa (16/9/2025).

Dahulu saat magrib tiba, dibandingkan Nabawi, anak-anak yang beragama Islam tampak semangat dengan berbondong-bondong menunaikan sholat magrib berjamaah di masjid dan kemudian dilanjutkan mengaji.

“Orang tua nyaris tidak peduli dengan ilmu agama anak. Seharusnya disiplin sejak magrib tiba, anak-anak diarahkan ke masjid,” katanya.

Nabawi juga menyayangkan sikap aparat penegak hukum (APH) yang tidak bertindak tegas terhadap para pelaku tawuran di Belawan. APH harusnya tak hanya sekadar menghalau massa saat terjadi tawuran, tapi juga mengayomi. Menurutnya, APH belum cukup tegas.

"Misalnya, saat terjadi tawuran para pelaku yang membawa senjata tajam (sajam) dan senjata api (senpi) hanya dihalau petugas keamanan untuk membubarkan massa. Seharusnya petugas menangkap mereka, karena membawa senjata tanpa izin," paparnya.

Tindakan tegas, dikatakan Nabawi, tidak lain hanya untuk memberikan efek jera bagi para pelaku tawuran. Jika terus dibiarkan, maka tawuran tidak akan pernah berhenti dan akan terus berulang di Belawan.

Motif Dendam dan Luka Lama

Di luar dugaan pengalihan perhatian APH oleh jaringan pengedar narkoba, aksi tawuran di Belawan melahirkan deretan kisah pilu. Dari dendam pribadi hingga rumah warga yang hampir terbakar. Para pelaku dan korban sama-sama terjebak dalam lingkaran kekerasan yang diwariskan sejak puluhan tahun lampau.

Seorang mantan pelaku tawuran, DD (47), mengaku terlibat tawuran karena dendam setelah keluarganya terluka cukup parah akibat bacokan.

“Saya ikut tawuran sekitar setahun, sampai sempat berurusan dengan polisi. Niat saya hanya balas dendam. Keluarga saya yang menjadi korban mengalami cacat seumur hidup,” ujar warga Kelurahan Belawan II itu saat diwawancarai Mistar, Rabu (17/9/2025).

Menurut DD, sulit dipercaya remaja putus sekolah mampu membeli senpi atau petasan mahal. Hal ini memunculkan dugaan adanya pihak lain yang bermain.

"Era saya tawuran di tahun 2020 hingga 2023, tidak ada unsur keterkaitan dengan peredaran narkoba atau sebagainya, tapi kalau masa sekarang bisa saja itu terjadi. Ini dibuktikan dengan alat-alat tawuran yang digunakan oleh para pelaku," tandasnya.


Petugas Polri dan TNI dibantu warga membersihkan sisa-sisa tawuran di Belawan. (foto:kamaluddin/mistar)

Penilaian dia, mustahil para pelaku tawuran saat ini mampu membeli dan memiliki sejumlah sajam, petasan, hingga senpi yang dipakai untuk melakukan tawuran.

“Anehnya lagi, alat pertanda dimulainya tawuran biasanya dengan menembakkan petasan yang harganya cukup mahal. Apa mungkin milik mereka? Itu yang menjadi tanda tanya besar," ucapnya

Warga Jadi Korban

Terpisah, salah seorang korban tawuran di Kecamatan Medan Belawan berinisial LLP yang tinggal di Jalan Stasiun Simpang Cimanuk, Kecamatan Medan Belawan, mengungkapkan kisahnya.

LLP menceritakan rumah dan tempat usahanya nyaris terbakar akibat tawuran. “Kejadian itu membuat kami rugi besar. Bahkan rumah sempat dilempar api oleh pelaku tawuran,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dirinya menyesalkan hampir setiap waktu tawuran terjadi di sini. Bisa pagi, siang, sore, atau malam hari. “Menurut saya, aksi tawuran akhir-akhir ini makin meningkat," katanya saat diwawancarai Mistar di kediamannya, Selasa (16/9/2025).

Ia berharap Pemerintah Kota (Pemko) Medan dan APH segera bertindak tegas agar warga dapat hidup tenang. "APH juga harus bertindak tegas, karena masyarakat sudah banyak kehilangan harta benda, menderita cacat seumur hidup, dan korban jiwa juga sudah banyak," ungkapnya.

Konflik yang Sudah Mendarah Daging

Tawuran di Belawan disebut sudah berlangsung sejak 1970-an. Justru, banyak pihak menyebutkan jika masalah ini telah terjadi sejak 40 tahun silam. Tanpa dilatarbelakangi masalah yang jelas, tawuran antar pemuda sudah ada sejak tahun 1970-an di kawasan pesisir Kota Medan itu.

“Sepertinya sudah mendarah daging gitu lah. Semacam sudah jadi budaya negatif masalah tawuran ini. Bahkan waktu aku masih anak-anak, sudah terjadi masalah ini,” kata Edi Barus, warga Medan Labuhan.

Menurutnya, masalah ini terkesan sudah mendarah daging, bahkan masyarakat di sana tidak merasa terkejut jika mengetahui kejadian tersebut.

Merespons hal itu, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Ferry Walintukan menegaskan masalah ini masih bisa diatasi dengan peningkatan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

Ferry menuturkan, kebiasaan itu bisa saja hilang seiring dengan perkembangan dari pola pikir masyarakat itu sendiri. Meskipun hal itu sudah menjadi budaya ataupun sudah menjadi ciri khas di wilayah tersebut.

Cara untuk merubahnya, sambung Ferry, dengan meningkatkan pelayanan pendidikan, sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah itu naik secara signifikan

“Bila hal itu sudah terjadi, hal-hal yang awalnya menjadi kebiasaan ataupun budaya, bakal bisa dihilangkan seiring dengan perkembangan masyarakat di lokasi tersebut,” kata Ferry, Rabu (17/9/2025).

Dirinya mencontohkan salah satu dari kebiasaan masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan (Sultra). Kata Ferry, dulunya masyarakat Makassar sering membawa benda tajam seperti badik.

“Contohnya di Makassar, dulu orang biasa membawa badik. Sekarang tidak lagi. Dengan pendidikan dan kesejahteraan meningkat, budaya negatif bisa hilang,” katanya mengakhiri. (kamaluddin/matius/susan/hm16)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN