Menguak Jejak Emas Hitam di Langkat: Dari Telaga Said hingga Pangkalan Susu, Cikal Bakal Industri Minyak Indonesia

Kondisi Telaga Tunggal 1, sumur minyak pertama Indonesia. (Foto: amita/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Jauh sebelum Pertamina berdiri, Langkat di Sumatera Utara adalah titik nol industri minyak di Hindia Belanda. Dari sinilah kisah Telaga Said dan Pangkalan Brandan dimulai — dua nama yang melahirkan sejarah panjang eksplorasi minyak bumi dan menjadi cikal bakal berdirinya raksasa energi dunia, Royal Dutch-Shell.
Menurut Suprayitno, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU), penemuan minyak di Telaga Said menandai Sumatera sebagai Head Dollar Land — tanah kaya yang sejajar dengan kejayaan tembakau Deli.
“Awal dari sejarah pertambangan minyak di Hindia Belanda dimulai dari sini,” ujarnya, Kamis (30/10/2025).
Baca Juga: Perjuangan Pelaut Pertamina Antarkan LPG untuk Negeri, Dihantam Ombak hingga Bertemu Perompak
Awal Penemuan: Dari Ladang Tembakau ke Telaga Said
Semuanya berawal dari Aeilko Jans Zijlker, yang sejatinya adalah ahli tembakau dan pegawai perkebunan, bukanlah seorang geolog. Penemuan sumur minyaknya, yang dikenal sebagai Telaga Tunggal (ditajak 15 Juni 1885), terjadi secara tidak sengaja pada 1880.
Saat sedang melakukan inspeksi ladang tembakau di tengah badai, Zijlker menyaksikan mandornya menyulut kayu yang dicelupkan ke cairan berminyak di belakang gubuk. Minyak yang ditemukan mengandung bensin 15 persen dan illuminasi 62 persen, kualitas yang sangat bagus pada masanya.
Berbekal penemuan itu, Zijlker berhasil mendapatkan konsesi lahan dari Pangeran Musa (Sultan Langkat) pada 1881. Ia kemudian kembali ke Eropa mencari dukungan dana, hingga pada 1883 didirikan konsorsium awal: Voorlopige Sumatra Petroleum Maatschappij.
Titik balik datang pada 1890, ketika didirikan Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch-Indië, yang kelak dikenal sebagai Royal Dutch Petroleum Oil.
Nasib Zijlker berakhir tragis. Tepat pada 27 Desember 1890, ia wafat karena sakit dalam perjalanan dari Batavia ke Belanda.
“Dia meninggal di 1890, sakit,” ucap Suprayitno.
Zijlker tidak sempat menyaksikan sepenuhnya hasil penemuannya. Namun, menurut Suprayitno, Zijlkeria meninggalkan wasiat penting, yaitu ”membangun sebuah kilang minyak di dekat muara Sungai Lepan.”
Kilang Minyak Pertama di Pangkalan Brandan
Wasiat Zijlker diwujudkan penerus Royal Dutch, Heisler. Pada 28 Februari 1892, berdirilah Kilang Minyak Pangkalan Brandan, dan sehari setelahnya, minyak tanah bermerek “Crown Oil” yang menjadi andalan mulai diproduksi.
Pada 1897, produksi mencapai 4,5 juta peti, menjadikannya kilang terbesar di Hindia Belanda. Saat Royal Dutch bergabung dengan Shell (1907), terbentuklah Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang fokus pada eksploitasi minyak di Hindia Belanda.
Kondisi awal pembangunan kilang Pangkalan Brandan mencerminkan suasana kolonial yang keras, “Yang bekerja pertama itu juga ada narapidana,” ujar Suprayitno.
Kawasan kilang yang awalnya sederhana dilengkapi dengan benteng perlindungan dan penjara untuk narapidana yang berfungsi sebagai tenaga kerja tambahan. Sejarah kelam kilang ini berlanjut pada masa perang. Pada 1942, saat Jepang menguasai Sumatera Timur, Belanda menerapkan taktik bumi hangus terhadap kilang Pangkalan Brandan agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Setelah Jepang mengambil alih dan menamai aset BPM menjadi Sayutai, kilang ini kembali dibumihanguskan oleh tentara sekutu di akhir perang. Pasca-kemerdekaan, pengelolaan tambang minyak melalui berbagai perubahan, dari PT Exploitasi Tambang Minyak Sumatera (PT ETMSU) hingga lahirnya PT Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA) pada 10 Desember 1957, yang menjadikannya milik negara sepenuhnya.
Saat ini, jejak Telaga Said hanya ditandai dengan Tugu Peringatan 100 Tahun Perminyakan Indonesia yang diresmikan pada 1985. Di lokasi sumur pertama, Telaga Tunggal, hanya ada plang yang mencatat riwayat singkatnya: kedalaman 121 meter dan ditinggalkan pada 1934.
Suprayitno menyayangkan kondisi situs yang terabaikan. Ia mendorong agar nilai-nilai sejarah penting dari Telaga Said diangkat kembali.
“Kita usulkan menjadi situs warisan dunia atau, paling tidak, menjadi satu destinasi wisata gabung antara wisata geologi, lingkungan, dan lain-lain untuk Telaga Said,” tuturnya.
Menurut Suprayitno, upaya ini penting agar situs penemuan yang melahirkan salah satu industri terbesar dunia ini tidak ditinggalkan tanpa nilai dan dapat dikunjungi sebagai bagian dari memori bangsa.
Langkat: Tanah Sultan yang Kaya Minyak
Suprayitno memaparkan sejarah awal pertambangan minyak di Sumatera Utara, khususnya di wilayah Sumatera Timur, yang dahulu terpusat di kawasan Langkat. Ia menyoroti bagaimana hasil produksi minyak pada masa itu berhubungan langsung dengan pihak kesultanan.
Suprayitno menyebutkan bahwa Langkat menjadi wilayah yang paling kaya di antara kesultanan Melayu dan Sumatera Timur karena penghasilannya dari minyak dan perkebunan.
"Semua dulu itu milik tanah sultan. Jadi, semuanya ada sultan. Karena itu, seluruh sultan di Sumatera Timur ini dan Melayu, yang paling kaya itu Langkat. Dia bisa punya kapal pesiar, punya kuda pacu, dan luar biasa Langkat," katanya.
Ia menjelaskan, pada masa awal pertambangan di Telaga Said (Langkat), hak hasil produksi langsung diberikan kepada Sultan Langkat. Uniknya, salah satu bentuk pembayaran yang diterima oleh pemegang saham atau yang punya hak (seperti Markot yang memiliki bungalow di Besitang) adalah dalam bentuk jatah per kaleng minyak.
"Dulu, minyak-minyaknya ini dibuat per kaleng," ucapnya.
Suprayitno juga menambahkan bahwa minyak yang didapatkan di Telaga Said pada awalnya adalah minyak mentah (crude oil). Meskipun saat ini sistem sudah berubah, Suprayitno menekankan pentingnya sejarah ini untuk mengetahui bagaimana hasil pertambangan didistribusikan pada masa lalu, yaitu langsung kepada kesultanan, sebelum akhirnya diolah menjadi produk turunan seperti minyak tanah.
Jika Pangkalan Brandan adalah tempat kelahiran industri minyak modern di Hindia Belanda, maka Pangkalan Susu adalah terminal utama yang menopang alur logistik minyak di Sumatera Utara. Sebagai Sr. Operator Main Oil Storage di Pertamina EP (PEP) Pangkalan Susu, Sufratman, menjadi saksi hidup bagaimana wilayah ini terus beroperasi dan berjuang memaksimalkan potensi energi dari sumur-sumur yang usianya telah mencapai puluhan tahun.
Pangkalan Susu memiliki sejarah panjang dalam pengusahaan minyak, yang dimulai pada masa kolonial dan berlanjut setelah kemerdekaan.
“Di 1957 ini, yaitu kembali dikelola oleh Pangkalan Susu, dikelola oleh yang namanya Permina,” kata Sufratman, Sr. Operator Main Oil Storage PEP Pangkalan Susu. Permina, yang kemudian menjadi cikal bakal Pertamina, mengintensifkan eksplorasi.
Sejak penemuan pertama di Telaga Said pada 1880, wilayah kerja Pangkalan Susu terus dieksplorasi secara masif. Gelombang eksplorasi pasca-Permina menemukan sejumlah struktur baru.
- Pada 1937 (Awal) Telaga Said, Pulau Panjang, Gebang, Paluh Tabuan Timur.
- 1962–1994 (Ekspansi), Paluh Tabuhan Barat, Wampu, Diski, Batu Mandi, Besitang, Polonia, Pantai Pakam Timur, hingga Paluh Sane.
Produksi Kini: Antara Tantangan dan Harapan Baru
Hingga tahun 2006, tercatat sebanyak 990 sumur telah dibor di wilayah kerja Field Pangkalan Susu yang tersebar di 37 struktur di Kabupaten Langkat, Binjai, dan Deli Serdang.
Kini, Field Pangkalan Susu menghadapi tantangan berat dari usia sumur yang sudah tua. Dari total 521 sumur yang ada, sumur yang masih berproduksi aktif hanya 43 sumur, sementara 41 sumur berstatus ditangguhkan (suspended).
Produksi minyak harian saat ini hanya mencapai 215 barel per hari. Angka ini jauh berbeda dibandingkan masa jayanya.
“Kalau di tahun 80-an, 90-an, itu Pangkalan Susu kegiatan lifting-nya itu, kalau kita lihat, bisa sebulan empat kali, produksinya luar biasa kan, sekitar 10.000-an kalau tidak salah,” ucap Sufratman.
Kini, kegiatan pengapalan (lifting) minyak melalui tanker hanya dapat dilakukan 2 hingga 3 bulan sekali, dengan rata-rata 5 kali setahun. Meskipun demikian, ada secercah harapan. Pangkalan Susu kini tengah mempersiapkan pengeboran kembali di struktur Pantai Pakam Timur, wilayah yang sempat tidak beroperasi.
Selain menghasilkan minyak sendiri, Pangkalan Susu memiliki peran krusial sebagai terminal minyak dan gas untuk wilayah lain. Terminal Minyak (Terminal Pangkalan Susu) berfungsi sebagai terminal yang menampung minyak dari luar, termasuk dari produksi minyak Rantau. Minyak dikirim menggunakan kapal truk (road tanker) ke Stasiun Pengumpul (NJS) Pangkalan Susu, diproses, dan kemudian disalurkan ke kapal tanker melalui jalur pipa sepanjang 32 km untuk kebutuhan ekspor dan domestik.
Penyaluran Gas. Gas yang diproduksi dari sektor PTD dan Gebang dikirim melalui Pangkalan Batu dan Booster Pangkalan Brandan menuju PGN (Perusahaan Gas Negara). Gas ini disalurkan untuk memenuhi kebutuhan di Sumatera Utara, termasuk di Medan, dan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik.
Meskipun produksinya minyaknya kecil, Field Pangkalan Susu berhasil menunjukkan kinerja operasional dan tanggung jawab lingkungan yang baik. Pada tahun 2024, Field Pangkalan Susu meraih penghargaan organisasi Best The Stock dan mendapatkan kandidat Proper Hijau atas inovasi lingkungan dan operasionalnya. Sufratman menegaskan bahwa Pangkalan Susu akan terus menjalankan operasinya, memastikan bahwa terminal ini tetap menjadi hub penting bagi energi Sumatera Utara.
Sumur Telaga Said, yang merupakan salah satu sumur minyak tertua di Sumatera Utara, telah dipugar dan dijadikan monumen oleh PT Pertamina EP (PEP) Pangkalan Susu pada tahun 2021. Sufratman, mengungkapkan bahwa sumur ini memiliki sejarah panjang yang dimulai pada masa kolonial.
"Semenjak di tahun 1895, dulu ditemukan dan dioperasikan. Dulu dia berproduksi lebih kurang 180 barel per hari," ujarnya.
Meskipun sumur ini dikelola Pertamina EP Pangkalan Susu hingga tahun 2020-an, produksi dari sumur ini dilaporkan sudah tidak ada lagi. Namun, di areal sekitar Telaga Said masih terlihat adanya kegiatan penambangan oleh masyarakat, yang menunjukkan bahwa sumber daya minyak mentah di kawasan tersebut masih ada, meskipun secara skala tidak lagi ekonomis untuk dioperasikan secara korporasi. (hm27)
























