Air Danau Toba Keruh, Ikan Mati Massal, DLH: Ancaman Serius bagi Ekosistem

Kondisi air Danau Toba tepatnya di perbatasan Desa Tanjung Bunga, Kecamatan Pangururan dengan Desa Boho, Kecamatan Harian. (foto: pangihutan/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Fenomena air keruh dan kematian massal ikan kembali melanda Danau Toba, khususnya di wilayah Desa Tanjung Bunga, Kecamatan Pangururan hingga Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Sejak dua pekan terakhir, warga mengeluhkan keruhnya air danau yang disertai matinya ikan-ikan di keramba jaring apung (KJA) secara tiba-tiba. "Sudah dua minggu air danau keruh. Ikan di keramba banyak yang mati. Ada yang satu keramba seluruhnya mati," ujar seorang warga Tanjung Bunga, Selasa (22/7/2025).
Sebagian warga memanfaatkan bangkai ikan untuk dijadikan pupuk organik cair, sementara yang lain memilih menguburkannya demi menghindari bau busuk.
Menanggapi laporan warga, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Samosir langsung turun ke lokasi. Kepala DLH Samosir, Edison Pasaribu, mengatakan pihaknya telah mengevakuasi ikan-ikan mati dan mengambil sampel air untuk diuji di laboratorium.
“Kami juga mengerahkan mobil operasional Pemkab untuk mengangkut ikan-ikan mati dari keramba warga,” kata Edison.
Selain tindakan fisik, DLH juga telah mengambil sampel air dari lokasi terdampak untuk diuji secara laboratorium. Sampel tersebut diambil pada 17 Juli 2025, dan hasil awal telah diperoleh.
“Hasil sementara menunjukkan tiga parameter penting yaitu pH, kekeruhan (turbidity), dan DO atau oksigen terlarut,” ucap Edison.
Berdasarkan hasil uji, nilai pH tercatat 6,71. Ini menandakan kondisi air tergolong sedikit asam menuju netral, namun masih dalam batas normal berdasarkan standar baku mutu air kelas II menurut PP No. 22 Tahun 2021, yaitu antara 6,0 hingga 9,0.
Untuk turbidity atau tingkat kekeruhan, nilai tercatat 2,84 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Ini menunjukkan air masih cukup jernih secara visual dan tidak mengandung partikel tersuspensi dalam jumlah signifikan.
Namun, perhatian tertuju pada parameter DO (Dissolved Oxygen) yang hanya sebesar 3,9 mg/l. Nilai ini berada di bawah ambang batas aman minimal yang ditetapkan untuk air kelas II, yaitu 4,0 mg/l.
“DO yang rendah ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Ikan nila, misalnya, idealnya membutuhkan DO antara 5 sampai 7 mg/l untuk bisa hidup dan tumbuh optimal,” tutur Edison.
Diduga Akibat Pencemaran Organik
Menurut Edison, penurunan kadar DO biasanya dipicu oleh pencemaran organik seperti sisa pakan ikan, limbah rumah tangga, limbah pertanian, atau aktivitas biologis berlebih dalam air.
Sebagai perbandingan, pengukuran di wilayah Waterfront City Pangururan menunjukkan DO sebesar 4,15 mg/l — sedikit lebih baik dari Tanjung Bunga, namun tetap berada di ambang bawah.
“Faktor seperti kedalaman, arus, dan kepadatan keramba juga berpengaruh pada perbedaan kadar oksigen terlarut,” katanya.
DLH akan melakukan pengujian lanjutan terhadap parameter lain seperti amonia dan logam berat bila diperlukan. Edison menegaskan pihaknya akan melibatkan instansi terkait seperti Balai Wilayah Sungai, Dinas Perikanan, dan lembaga riset lingkungan untuk menangani fenomena ini secara menyeluruh.
“Kami tidak akan tinggal diam. Pengawasan terhadap keramba dan limbah akan diperketat,” ucap Edison.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak membuang limbah ke danau dan segera melaporkan jika melihat gejala pencemaran. DLH menyatakan hasil laboratorium secara lengkap akan diumumkan kepada publik setelah analisis selesai.
“Kami akan menyampaikan hasilnya secara terbuka sebagai bagian dari komitmen menjaga ekosistem Danau Toba,” kata Edison.
Warga berharap agar tindakan nyata segera diambil, tidak hanya terbatas pada pengambilan sampel dan analisis laboratorium. “Kami rugi besar, bukan hanya karena ikan mati, tapi juga modal dan waktu. Kami butuh solusi, bukan janji,” ujar seorang petani ikan di Pangururan. (pangihutan/hm24)