BUMD Rugi Rp 5,5 Triliun, Pengamat: Sarat Politisasi dan Bebani Keuangan Daerah

Ilustrasi, BUMD Rugi Rp 5,5 Triliun, Pengamat: Sarat Politisasi dan Bebani Keuangan Daerah. (foto:ai/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian baru-baru ini menyampaikan bahwa sebanyak 300 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mengalami kerugian dengan total mencapai Rp 5,5 triliun. Salah satu faktor penyebabnya adalah politisasi yang kerap terjadi di tubuh BUMD.
Pengamat kebijakan publik, Elfenda Ananda, menilai BUMD saat ini banyak dijadikan sebagai alat kepentingan politik, terutama kepala daerah yang masih aktif menjabat.
“Perusahaan daerah atau BUMD atau juga BUMN sarat menjadi alat dari berbagai kepentingan politik. Hal ini semakin subur di era pemilihan langsung dimana kepala negara atau kepala daerah dipilih secara langsung,” ujarnya kepada MISTAR.ID, Selasa (22/7/2025).
Kepemilikan dan Pola Bisnis BUMD Jadi Sorotan
Elfenda menjelaskan bahwa mayoritas BUMD saat ini berada di bawah kendali kepala daerah sebagai pemilik saham utama, berbeda dengan BUMN yang langsung berada di bawah kementerian.
“BUMN berada di bawah kementerian, sedangkan BUMD dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan begitu, kepala daerah memiliki kendali langsung atas operasionalnya,” kata Elfenda.
Ia juga menyoroti perbedaan karakteristik BUMD yang bersifat profit murni dan pelayanan publik. Misalnya, PT Bank Sumut sebagai BUMD profit, sedangkan PDAM masuk kategori pelayanan.
“Untuk BUMD yang bersifat pelayanan seperti PDAM, target utamanya adalah melayani masyarakat, bukan sekadar mengejar keuntungan. Ini tentu berbeda dengan BUMD yang murni berorientasi profit,” ucapnya.
Kerugian BUMD Menggerus Keuangan Daerah
Menurut Elfenda, kondisi banyaknya BUMD yang merugi sangat memprihatinkan. Selain tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), BUMD justru kerap menyedot anggaran melalui penyertaan modal.
“BUMD yang terus merugi akan menjadi beban keuangan daerah. Sementara harapan untuk menambah PAD tidak tercapai. Ini jelas mengganggu tata kelola fiskal daerah,” ujarnya tegas.
Politisasi dan Lemahnya Akuntabilitas
Lebih lanjut, Elfenda menyebut bahwa pendirian BUMD seharusnya berdasarkan kajian bisnis yang matang, bukan sebagai “tempat balas budi” untuk tim sukses politik.
“Banyak BUMD dibentuk tanpa kajian bisnis yang kuat. Tujuannya bukan bisnis, melainkan menampung kepentingan politik. Ini yang membuat BUMD tidak efisien,” tuturnya.

Keterangan gambar: Elfenda Ananda. (foto:dokumen/mistar)
Ia menambahkan bahwa proses rekrutmen komisaris dan pengawas BUMD kerap dikaitkan dengan relasi politik. Meskipun dilakukan seleksi terbuka, tetap ada indikasi keterkaitan politik yang mencolok.
“Di Sumatera Utara sendiri, proses seleksi terbuka tetap menghasilkan pejabat BUMD yang memiliki afiliasi politik dengan kepala daerah. Ini bisa ditelusuri dari rekam jejak media sosial dan aktivitas mereka sebelumnya,” kata Surveyor Lembaga Survey Indonesia (LSI) Wilayah Sumut tersebut.
Kondisi BUMD di Sumatera Utara
Saat ini, Pemprov Sumut memiliki enam BUMD aktif. Namun, Gubernur Sumut Bobby Nasution sempat mengungkapkan bahwa dua dari enam BUMD tersebut mengalami kerugian, seperti disampaikannya dalam Rapat Kerja dan RDP Komisi II DPR RI bersama Mendagri pada April 2025 lalu.
Elfenda mengatakan, memperbaiki BUMD agar bisa sehat secara keuangan memang bukan hal mudah.
“BUMD yang untung seperti PT Bank Sumut, PDAM Tirtanadi, dan PT Perkebunan masih belum memberikan kontribusi sebesar yang diharapkan. Tantangan terbesar adalah meningkatkan efisiensi dan akuntabilitasnya,” ujarnya.
Harapan Perbaikan: Hindari Struktur Gemuk dan Evaluasi Rutin
Terakhir, Elfenda menekankan pentingnya mengevaluasi struktur organisasi BUMD agar tidak menjadi terlalu gemuk hanya untuk menampung “titipan politik”.
“Struktur organisasi yang besar tanpa kebutuhan yang jelas hanya akan menambah beban biaya operasional. Setiap penambahan posisi harus disesuaikan dengan beban kerja dan kebutuhan bisnis,” tuturnya mengakhiri. (iqbal/hm27)