Pengamat: Banyak Pemda Mulai Kesulitan Bayar Gaji P3K Akibat Ruang Fiskal Menyempit

Pengamat Anggaran Sumut, Elfenda Ananda. (Foto: dok/mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat kini mulai menimbulkan dampak serius bagi keuangan daerah. Sejumlah pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemko) dikabarkan mulai mengalami tekanan fiskal, bahkan kesulitan membayar gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Pengamat Anggaran Sumatera Utara, Elfenda Ananda, menilai kondisi ini tidak lepas dari menyempitnya ruang fiskal akibat berkurangnya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menjadi tumpuan utama pendanaan daerah.
"Struktur keuangan daerah kita memang sedang rapuh. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) stagnan, belanja pegawai terus membengkak. Akibatnya, ruang fiskal jadi terkunci,” ujarnya, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, lebih dari 50 persen APBD di banyak daerah kini terserap hanya untuk belanja pegawai, terutama pembayaran gaji ASN dan P3K. Kondisi itu diperparah oleh belanja wajib seperti pendidikan dan kesehatan yang tidak bisa dikurangi, sehingga daerah praktis kehilangan fleksibilitas untuk membiayai program pembangunan.
"Pemko dan pemkab dengan kapasitas fiskal rendah menghadapi situasi yang sangat berat. Beberapa bahkan sudah menunda pembayaran honor atau gaji P3K karena likuiditas daerah seret," ujarnya.
Elfenda juga menilai pemerintah daerah tidak punya pilihan selain melakukan reformasi dan efisiensi anggaran secara menyeluruh. Ia juga menekankan tiga langkah mendesak yang bisa dilakukan Pemko dan Pemkab.
Yakni audit kebutuhan ASN/P3K berdasarkan beban kerja riil agar tidak terjadi pemborosan sumber daya manusia. Lalu, pemangkasan belanja non prioritas, termasuk kegiatan seremonial, perjalanan dinas, publikasi, dan proyek pencitraan. Selanjutnya, penerapan sistem pengawasan berbasis data, seperti e-budgeting, untuk mencegah duplikasi program dan kebocoran anggaran.
"Kalau ada jabatan yang bisa digabung atau dialihkan ke sistem digital, sebaiknya lakukan redistribusi pegawai antar unit kerja. Jangan lagi menambah rekrutmen baru sebelum fiskal daerah benar-benar sehat," ujarnya.
Ia juga menyarankan agar daerah menunda pengangkatan P3K non-esensial sampai kondisi fiskal membaik. "Kalau sudah terlanjur diangkat, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan organisasi. Jangan sampai jumlah pegawai tidak seimbang dengan kapasitas anggaran," katanya.
Perlu inovasi pendapatan daerah
Dalam jangka menengah, pengamat menyebut penguatan PAD dan optimalisasi BUMD menjadi solusi utama untuk menjaga kemandirian fiskal. Pemerintah daerah, katanya, harus mempercepat digitalisasi pajak dan retribusi seperti penerapan e-PBB, e-Parkir, dan e-Retribusi serta perkuat kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menekan potensi kehilangan pendapatan.
Selain itu, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan lokal juga dapat menjadi sumber pembiayaan tambahan untuk sektor sosial dan lingkungan.
"BUMD jangan lagi jadi beban. Harus dievaluasi dan direstrukturisasi agar bisa memberi kontribusi nyata terhadap PAD,” ujar Elfenda Ananda.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi fiskal agar publik memahami kondisi keuangan daerah secara utuh.
"Laporan keuangan daerah harus dibuka ke publik, agar masyarakat tahu seberapa besar belanja pegawai dibandingkan anggaran pembangunan. Ini juga bisa menekan potensi moral hazard," katanya.
Menurutnya, jika reformasi fiskal dilakukan dengan disiplin dan berbasis data, daerah masih bisa bertahan dari tekanan likuiditas akibat kewajiban membayar gaji P3K.
"Tekanan fiskal ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk berbenah, bukan sekadar menunggu bantuan pusat," ucapnya.



























