Daerah Administratif, Opsi Sikapi Putusan MK dan Kebingungan Struktural

Daerah Administratif, Opsi Sikapi Putusan MK dan Kebingungan Struktural
Oleh: Jalatua Hasugian
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXIII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dengan jeda waktu 2–2,5 tahun akhirnya menimbulkan perdebatan serius. Bahkan mengarah pada kebingungan struktural, terutama soal mekanisme pengisian DPRD yang habis masa jabatannya untuk periode 2024-2029. Sementara, untuk kekosongan kepala daerah, mekanismenya diisi melalui Pelaksana Tugas (Plt) atau Penjabat (Pj).
Mekanisme pengisian kekosongan DPRD tidak bisa lewat Pj atau Plt sebagaimana kepala daerah karena tidak ada regulasi pengisian DPRD tanpa pemilu. Pertanyaannya, apakah kita pernah punya pengalaman menghadapi situasi serupa yang bisa dijadikan preseden mengatasi persoalan saat ini?
Pengalaman Sejarah: Demokrasi Terpimpin Orde Lama dan Daerah Administratif Orde Baru
Sejarah mencatat, Indonesia pernah tidak menggelar pemilu selama 15 tahun lebih sejak merdeka dan menggelar Pemilu pertama tahun 1955. Setelah itu, barulah pada tahun 1971 pemilu legislatif digelar. Lantas, apakah DPR dan DPRD dibiarkan kosong saat itu? Ternyata tidak! Pemerintah dalam kerangka demokrasi terpimpin, berinisiatif membentuk DPR dan DPRD (Gotong Royong). Anggotanya diangkat langsung oleh Presiden untuk DPR-GR dan Menteri Dalam Negeri untuk DPRD-GR. Inilah praktik demokrasi terpimpin ala orde lama.
Pengalaman lain era orde baru, selama kurun waktu 1974-1999 Indonesia pernah menerapkan daerah administratif, baik kota maupun kabupaten namun tidak bersifat otonom. Artinya, daerah administratif tetap merupakan bagian dari kota atau kabupaten induk. Kepala daerahnya ditunjuk oleh pemerintah pusat atau pemerintah provinsi dan tidak memiliki DPRD.
Namun, pascareformasi dan terbitnya UU Otonomi Daerah Nomor 22/1999, daerah administratif ini dihapus dan banyak daerah berubah menjadi otonom penuh, meski ada yang kembali ke daerah induk. Di Sumatera Utara, contoh daerah yang pernah jadi kota administratif yakni Kota Kisaran yang kembali ke kabupaten induk dan Kota Padangsidimpuan yang berubah menjadi otonom penuh.
Sekarang ini pun sebenarnya praktik daerah administratif ini masih terjadi, yakni di DKI Jakarta. Buktinya, Kota Jakarta Pusat, Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Seribu, kepala daerahnya ditunjuk langsung oelh Gubernur tanpa proses Pemilukada. Ke-enam daerah tingkat dua itu juga tidak punya DPRD.
Dilema Putusan MK versus Kedaulatan Rakyat
Praktik demokrasi ala orde lama tersebut, dijalankan atas nama stabilitas politik dan semangat revolusi yang menggelora ketika itu. Kekuasaan yang sentralistik bahkan dengan mudah melenturkan tafsir konstitusi. Bedanya, model semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan apalagi diterapkan saat ini. Sebab situasinya sudah berbeda secara fundamental. Indonesia bahkan sudah menata sistem demokrasi konstitusional terutama pascareformasi tahun 1998.
Konstitusi kita yakni UUD 1945, pascareformasi telah menegaskan, anggota DPR dan DPRD dipilih melalui pemilu yang jujur dan adil setiap lima tahun (Pasal 22E). Lagipula, kini sudah ada Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum yang independen, dan sistem checks and balances. Oleh karena itu, nyaris tidak ada ruang untuk kembali pada praktik penunjukan anggota legislatif. Bahkan jika ada kekosongan jabatan DPR/DPRD oleh karena hal tertentu, penggantinya juga harus diangkat dari hasil pemilu. Tidak bisa hanya berdasarkan kehendak partai politik.
Jika pemilu daerah ditunda atau dijadwalkan tidak bersamaan dengan masa berakhirnya DPRD, maka akan muncul kekosongan jabatan legislatif daerah. Sementara, masa jabatan DPRD tidak bisa diperpanjang otomatis karena melanggar konstitusi dan prinsip pemilu lima tahunan. Apalagi DPRD bukan lembaga eksekutif sehingga tidak bisa diisi oleh penjabat. Sebaliknya jika kekosongan ini dibiarkan, fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di daerah terancam lumpuh, dan daerah bisa kehilangan lembaga perwakilan rakyat secara sah.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Artinya, putusan MK wajib berlaku secara langsung terhadap semua lembaga negara. Meski sejatinya, putusan MK itu hanya memutus norma, bukan pula mereduksi kewenangan teknis lembaga pembentuk UU. Oleh karena itu, putusan MK yang bersifat final dan mengikat justru menuntut tanggung jawab lebih besar pembentuk UU maupun lembaga teknis pelaksana pemilu.
Prinsip kedaulatan rakyat dan kepastian hukum, mau tak mau memaksa negara untuk bergerak cepat untuk segera menyusun regulasi yang konstitusional dan demokratis. Dengan begitu kekosongan DPRD tidak menjadi krisis hukum dan politik apalagi kebingungan struktural?
Bagaimana pun DPR dan pemerintah harus segera merevisi UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah, sekaligus memikirkan bagaimana mekanisme pengisian DPRD yang habis masa jabatannya sementara pemilu daerah belum terlaksana. Mereka harus membuktikan, demokrasi kita bukan hanya prosedural, tetapi juga substansial serta menjunjung kedaulatan rakyat.
Daerah Administratif: Butuh Dukungan Politik dan Pengawasan Ketat
Pascaputusan MK, sudah banyak perdebatan di tataran wacana, baik secara hukum (ketatanegaraan) maupun politik. Ironisnya, sejumlah partai politik malah bersikap menolak putusan MK tersebut. Buktinya, DPR sebagai representatif parpol tak kunjung memulai pembahasan revisi sejumlah UU yang berkaitan dengan putusan MK tersebut.
Memang, apa pun kebijakan yang bakal ditempuh DPR dan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK itu, tetap saja ada celah untuk dipersoalkan, terutama mekanisme pengisian DPRD (masa transisi).
Perpanjangan masa jabatan DPRD juga sangat riskan dan potensi konfliknya tinggi. Apalagi jika jabatan yang diperpanjang adalah anggota DPRD yang oknumnya sama sekali tak berkinerja baik di mata rakyat. Oleh karena itulah, pembentuk UU harus berfikir ekstra keras untuk meminimalisir potensi konflik namun tidak pula melanggar konstitusi.
Menyikapi ini, setidaknya perlu dipertimbangkan salah satu opsi, yakni menerapkan daerah administratif non DPRD selama masa transisi. Kebetulan DPR belum merevisi sejumlah UU terkait, sehingga opsi ini masih memungkinkan dipertimbangkan. Hanya saja, opsi yang terdengar radikal ini, butuh dukungan penuh DPR sebagai lembaga politik dan pembentuk UU. Masalah krusial lainnya, partai politik juga harus legowo wakilnya tidak ada di DPRD hanya untuk masa transisi 2-2,5 tahun dan hanya untuk satu kali ini saja!
Selain itu, pembentuk UU juga harus memikirkan bagaimana mensiasati Pasal 18 UUD 1945, tentang prinsip otonomi daerah dan demokrasi lokal, dimana DPRD merupakan representasi rakyat. Artinya, penyelenggaraan daerah administratif non DPRD jangan sampai dianggap inkonstitusional.
Pertanyaan kemudian, jika daerah administrarif ini diterapkan, lantas siapa yang mengawasi kinerja kepala daerah? Nah, hal-hal semacam inilah yang harus diatur secara ketat dalam revisi UU terkait penyelenggaran pemerintahan daerah. Apalagi, diprediksi “daerah administratif” ini juga bakal diisi oleh Penjabat Kepala Daerah yang kewenangannya terbatas. Sebab kepala daerah yang saat ini menjabat juga bakal habis masa periodenya tak jauh terpaut dengan DPRD.
Oleh karena itulah, opsi ini butuh dukungan penuh dan kebesaran hati partai politik untuk menetapkan batasan-batasan yang ketat jika daerah administratif ini menjadi salah satu opsi. Misalnya, ditegaskan bahwa selama masa transisi, kepala daerah tidak boleh menetapkan peraturan daerah, tidak boleh mengubah APBD tanpa persetujuan pemerintah atasan dan berbagai hal prinsip dan strategis lainnya guna mencegah meluasnya kewenangan penjabat kepala daerah.
Untuk fungsi pengawasan (daerah administratif), mengingat tidak ada DPRD tentu harus dilakukan oleh pemerintah pusat secara berjenjang. Mereka tentu harus berkolaborasi dengan lembaga pemeriksa keuangan dan pembangunan dan aparat penegak hukum. Guna mendukung fungsi pengawasan ini, tentu bisa dibuatkan aturan dalam revisi UU terkait, bagaimana agar rakyat juga bisa turut mengawasinya. Apakah melalui representasi partai politik, atau lembaga swadaya masyarakat sehingga penjabat kepala daerah tidak merasa jadi raja-raja kecil di daerah.
Disadari, opsi ini berisiko tinggi secara politik dan hukum namun bukan berarti tidak bisa dilaksanakan. Hanya saja, butuh payung hukum yang kuat dan dukungan politik yang luas. Sekali lagi, tawaran opsi ini hanya sekadar pemikiran rakyat kecil, bukan bermaksud menggurui para pembentuk UU apalagi pemerintah.*
Penulis adalah Dosen Universitas Simalungun, Pematangsiantar
PREVIOUS ARTICLE
435 Tahun Kota Medan: Refleksi, Harapan, dan Kolaborasi