Sunday, July 13, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Pemilu Terpisah, Akademisi USI Usul Daerah jadi Kota Administratif Hingga 2031

journalist-avatar-top
Kamis, 10 Juli 2025 11.18
pemilu_terpisah_akademisi_usi_usul_daerah_jadi_kota_administratif_hingga_2031

Akademisi Universitas Simalungun, Jalatua Hasugian (foto: istimewa)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Akademisi Universitas Simalungun (USI), Jalatua Hasugian, menyoroti implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.

Ia menilai keputusan tersebut bisa menimbulkan kekosongan pemerintahan daerah secara demokratis, terutama setelah masa jabatan kepala daerah dan DPRD berakhir pada 2029, sementara pilkada dan pemilu legislatif daerah baru akan digelar pada 2031.

Putusan ini tertuang dalam amar Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 29 Februari 2024. MK menyatakan pemilu nasional—Presiden, DPR, dan DPD—akan tetap dilaksanakan serentak pada 2029, sedangkan pemilu daerah—Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD—diundur ke 2031.

“Ini berarti selama dua tahun, dari 2029 hingga 2031, daerah akan mengalami kekosongan demokratis karena tidak adanya kepala daerah dan DPRD yang dipilih rakyat,” ujarnya, Kamis (10/7/2025).

Sebagai solusi, dosen sejarah politik USI itu mengusulkan agar daerah-daerah yang terdampak dikonversi menjadi kota administratif untuk sementara waktu. Artinya, pemerintahan daerah akan dikelola langsung oleh pemerintah pusat atau provinsi, tanpa DPRD dan tanpa kepala daerah hasil pemilu langsung.

“Model ini pernah diterapkan dalam sejarah Indonesia, seperti di Padangsidimpuan dan Kisaran, sebelum era otonomi daerah dimulai. Jadi, ini bukan hal baru,” katanya.

Meski demikian, Jalatua menekankan kebijakan ini memerlukan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif. Ia juga mempertanyakan kesiapan partai politik untuk tidak memiliki wakil di DPRD selama dua tahun.

“Apakah partai politik bersedia mengalah demi menjaga kesinambungan hukum dan konstitusi? Ini tantangan besar,” ucapnya.

Ia menambahkan, wacana perubahan status daerah menjadi kota administratif patut dipertimbangkan sebagai skema transisi yang sah dan konstitusional, guna menghindari kekosongan pemerintahan yang bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan politik. (gideon/hm24)

REPORTER: