Menguak Kembali Sejarah 1998, Menuju Keadilan dan Pencerahan kepada Publik

Ilustrasi kasus kekerasan perempuan. (Foto: Jarrod Fankhauser/Mistar)
Oleh: M. Andi Yusri
Tahun 1998 menjadi catatan sejarah penting bagi Indonesia karena terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang memicu lengsernya Presiden kedua, Soeharto dan era Orde Baru berakhir.
Kerusuhan ini diawali oleh krisis ekonomi dan diperparah adanya tragedi Trisakti, di mana empat mahasiswa tewas dalam demonstrasi. Peristiwa ini juga ditandai dengan kerusuhan sosial yang meluas, penjarahan, dan aksi kekerasan, terutama terhadap etnis Tionghoa.
Kasus penghilangan sejarah 1998 masih menjadi sorotan tajam dalam wacana publik Indonesia. Peristiwa kelam yang menandai reformasi dan perubahan besar dalam sejarah bangsa ini terus menjadi topik perdebatan hangat di berbagai kalangan. Mengapa sejarah ini terus dihilangkan? Apa yang sebenarnya terjadi? Seberapa jauh publik mengetahui sejarah 1998 itu?
Kita perlu menelusuri kembali sejarah 1998 untuk memahami akar permasalahan dan dampaknya terhadap masyarakat. Dengan demikian, kita dapat membangun kesadaran kolektif dan mempromosikan keadilan bagi korban dan keluarga mereka.
Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang dikutip dari website, rangkaian kerusuhan di bulan Mei 1998 banyak memakan korban tanpa terkecuali perempuan. Perempuan menjadi objek eksploitasi seksual, pemerkosaan dilakukan secara sistematis hampir di seluruh wilayah Indonesia khususnya Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan, dan Jakarta.
Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan menginisiasi gerakan Signatory Campaign yang menuntut pertanggungjawaban negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
Dalam jangka waktu 2 minggu terkumpul 4.000 tandatangan yang terdiri dari pemuka agama, akademisi, aktivis perempuan, tokoh masyarakat, dan pekerja kemanusiaan; baik laki-laki maupun perempuan; dari dalam maupun luar negeri. Secara lengkap tuntutan dalam kampanye tersebut mencakup:
1. Investigasi terhadap kerusuhan Mei 1998 yang mencakup kasus-kasus kekerasan seksual terhadap kaum perempuan;
2. Para pelaku dan penanggung jawab tindak kekerasan terhadap perempuan diadili dan diberi sanksi hukum yang tegas;
3. Presiden RI mengutuk perkosaan yang terjadi dan menyatakan maaf kepada para korban dan keluarganya di hadapan publik.
Kemudian, Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan penyelidikan terhadap kerusuhan Mei, termasuk dugaan terjadinya perkosaan massal sewaktu peristiwa tersebut. TGPF, yang dalam penyelidikan masalah ini memanfaatkan laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, setelah penyelidikannya menyimpulkan kebenaran terjadinya peristiwa serangan seksual yang dialami perempuan etnis Tionghoa.
Laporan TGPF menyebut, antara lain, terjadinya 92 tindak kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei tersebut di Jakarta dan sekitarnya, lalu Medan dan Surabaya, yang meliputi 53 tindak perkosaan dengan penganiayaan, 10 penyerangan seksual/penganiayaan, serta 15 pelecehan seksual.
Hingga akhirnya, adanya pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dilegitimasi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang disingkat dengan Komnas Perempuan pada 9 Oktober 1998. Komnas Perempuan hadir berkat upaya gigih dari gerakan perempuan memastikan kesediaan negara untuk bertanggung jawab pada persoalan kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan mulai membangun strategi lobi dengan legislatif untuk mendorong penerimaan Legislatif terhadap naskah Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Juli 2001.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa sejarah tidak diulang. Kita tidak boleh membiarkan penghilangan atau menolak lupa sejarah menjadi alat untuk memanipulasi dan mengontrol narasi.
Mari kita dukung upaya penelusuran kembali sejarah 1998 dan membangun kesadaran kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab. Keadilan dan pencerahan hanya dapat dicapai jika kita berani menghadapi kebenaran. *
Penulis adalah Redaktur Online Mistar.id, Kota Medan