Monday, October 6, 2025
home_banner_first
MEDAN

Suluh Muda Inspirasi Soroti 6 Kali Pergeseran Anggaran Pemprovsu dan Dugaan Celah Korupsi

Senin, 6 Oktober 2025 15.17
suluh_muda_inspirasi_soroti_6_kali_pergeseran_anggaran_pemprovsu_dan_dugaan_celah_korupsi

Suasana pelaksanaan kegiatan Forum Grup Discussion (FGD) bersama beberapa narasumber yang diikuti para jurnalis nasional dan lokal terkait fenomena 6 kali pergeseran anggaran. (Foto: Ari/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Lembaga Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyoroti terjadinya enam kali pergeseran anggaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Jalan Sei Sirah Nomor 11, Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Senin (6/10/2025).

Kegiatan FGD tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Siska Barimbing dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Farid Wajdi selaku Mantan Komisioner Komisi Yudisial RI, dan Elfenda Ananda, Analis Kebijakan FITRA Sumut.

“Berbicara pergeseran anggaran, aturan hukum itu ada dua, apakah peraturan daerah atau penjabaran. Hal itu berdasarkan Pasal 54 ayat 77 Permendagri tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah. Itupun boleh digeser sekali dalam setahun,” kata Siska melalui zoom meeting dalam kegiatan tersebut.

Menurut Siska, fenomena pergeseran anggaran ini berkaitan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi anggaran akibat berkurangnya dana Transfer ke Daerah (TKD).

“Ini juga diperbolehkan hanya untuk keadaan bencana alam dan sulitnya situasi. Awalnya dilakukan seperti penanganan Covid-19, namun pemerintah malah ketagihan dan keterusan melakukan penjabaran anggaran tanpa persetujuan DPRD,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa setiap pergeseran anggaran tidak cukup hanya dengan pemberitahuan kepada DPRD, tetapi harus mendapat persetujuan dari Badan Anggaran legislatif.

“Ini menjadi ruang bagi kepala daerah sebagai catatan. Pergeseran anggaran ini harus dilakukan dengan transparansi. Jika tidak dilakukan, kita tentunya mempertanyakan persoalan itu ada apa? Semakin tertutup pemerintah maka semakin muncul pertanyaan dari publik,” tegas Siska.

Sementara itu, Elfenda Ananda, Analis Kebijakan FITRA Sumut, menjelaskan bahwa ada lima pendekatan perencanaan pembangunan yang membutuhkan anggaran, yaitu pendekatan teknokratis, politis, partisipatif, top-down, dan bottom-up.

“Tetapi fenomena yang kita ketahui, perencanaan itu hadir setelah dana dikucurkan. Seharusnya kan perencanaan dulu dilakukan barulah dikucurkan. Inilah yang juga menuai sorotan publik terhadap kasus OTT pada pembangunan jalan di wilayah Sipiongot,” ujarnya.

Elfenda menambahkan, publik semakin curiga setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting.

“Dalam penyelidikan awal, KPK menemukan dugaan kuat adanya praktik suap dan pengaturan proyek infrastruktur yang bersumber dari anggaran hasil pergeseran tahap kelima dan keenam,” katanya.

Proyek tersebut, berdasarkan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), tidak tercantum dalam daftar awal APBD murni, namun muncul setelah revisi anggaran pertengahan tahun.

Elfenda menilai kasus ini menjadi alarm keras bagi tata kelola keuangan daerah di Sumut.

“Bukan hanya karena menyangkut pelanggaran hukum, tetapi juga memperlihatkan disfungsi struktural dalam sistem akuntabilitas fiskal. Pergeseran anggaran yang semestinya menjadi instrumen fleksibilitas justru berubah menjadi celah korupsi baru,” ucapnya.

Ia juga mencontohkan surat Bupati Nias Barat Nomor 300 2/644/2025 tertanggal 7 Maret 2025, yang seharusnya terkait belanja tidak terduga untuk bencana alam, namun malah dilakukan melalui pergeseran anggaran.

“Sebab, pos belanja tidak terduga memang diperuntukkan pada bencana. Terjadinya peningkatan signifikan belanja jalan, jaringan hingga 104% dari masa PJ Gubsu Fatoni melalui Pergub No.6 Tahun 2025 ke Bobby pada Pergub No.25 Tahun 2025, dengan nominal Rp695 miliar. Nominal belanja ini sebelumnya Rp669 miliar menjadi Rp1,36 triliun,” tuturnya.

Elfenda juga menyebut dalam jalannya persidangan OTT tersebut, terdapat pengakuan mengenai pembayaran fee sebesar 4 persen, yang menunjukkan adanya potensi kerugian daerah.

“Ditambah adanya keterangan dari ketua TAPD yakni Efendi Pohan yang berbelit-belit. Padahal, secara teknis dia sebagai ketua TAPD menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan,” ujarnya.

Sementara itu, Farid Wajdi, mantan Komisioner Komisi Yudisial RI, menilai bahwa kasus OTT terhadap mantan Kadis PUPR Topan Ginting baru membuka sebagian kecil dari persoalan sebenarnya.

“Katakanlah proses persidangan terus berlanjut. Suara publik juga butuh dalam memberikan vitamin kepada para penyidik. Tetapi saya lihat KPK juga punya banyak alasan untuk tidak membuka semua itu,” ucapnya.

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN