Mendaki Gunung Jadi Tren Anak Muda, Irvan dan Elfa Ingatkan Bahaya Medan Ekstrem dan Hipotermia

Irvan Trihandoko, anggota Regu Vertikal Rescue Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Sumatera Utara dan Jurnalis Perempuan Elfa Harahap saat hadir di Podcast Mistar (foto:dokumentasi/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Tren pendakian gunung kian diminati generasi muda. Namun, di balik foto-foto indah di puncak gunung, tersembunyi medan ekstrem yang berisiko tinggi jika dilalui tanpa persiapan fisik, pengetahuan, dan perlengkapan yang memadai.
Irvan Trihandoko, anggota Regu Vertikal Rescue Indonesia dari Badan Pendidikan dan Pelatihan Sumatera Utara, menyebut bahwa sebelum erupsi, Gunung Sinabung adalah salah satu jalur pendakian paling ekstrem di Sumatera Utara.
“Dulunya yang sering didaki itu dan paling ekstrim, Gunung Sinabung. Kalau sekarang karena sudah ditutup, tidak boleh lagi kita mendaki sampai puncak, itu sekarang di [Gunung] Sibuatan,” ujarnya dalam Podcast MISTAR, Mo Tau Aja, Sabtu (12/7/2025).
Menurut Irvan, Gunung Sibuatan memiliki karakteristik tanah humus yang gembur dan licin.
“Kalau dipijak, bisa langsung turun—lengser. Kadang kita pikir sudah sampai puncak, ternyata belum. Itu hanya bukit-bukit saja,” katanya menjelaskan medan yang mengecoh pendaki.
Meskipun ia belum pernah menangani kecelakaan serius secara langsung di Sibuatan atau Sinabung, Irvan menyebut Gunung Sibayak juga menyimpan bahaya, meskipun terkesan ramah untuk pendaki pemula.
““Kalau nggak salah tahun 2016 atau 2017, wisatawan asal Jepang terperosok ke jurang. Itu kita evakuasi dalam keadaan selamat dengan Tim SAR gabungan. Kemudian kalau nggak salah 2018, bule Jerman kalau nggak salah. Tapi dievakuasi itu [sudah] dalam keadaan meninggal dunia,” tuturnya.
Irvan juga menceritakan pengalaman saat menemukan sekelompok pendaki di puncak Sibayak saat badai dini hari. Mereka hanya mengenakan celana jeans, sepatu kanvas, dan jaket tipis yang sudah basah. Parahnya, mereka tidak membawa jas hujan dan ditinggalkan oleh teman-temannya.
Kini, akses menuju puncak Sibayak memang jauh lebih mudah. Bahkan pendaki bisa menggunakan sepeda motor hingga ke pos terakhir, lalu berjalan kaki sekitar 30 menit menuju puncak. Hal ini turut memicu tren pendakian “pulang-pergi” dalam sehari.
Menurut Irvan, tren ini mencerminkan pergeseran pola pikir pendaki zaman sekarang dibandingkan dulu. Pendaki dulu, katanya, lebih disiplin dalam mempersiapkan diri dan memahami risiko yang ada.
Pendaki Wanita: Persiapan Mendaki Bisa Sebulan
Hal senada juga disampaikan Elfa Harahap, seorang jurnalis perempuan yang telah aktif mendaki sejak duduk di bangku SMP. Ia menekankan pentingnya persiapan fisik dan perlengkapan sebelum mendaki gunung.
“Persiapannya bisa satu sampai dua bulan. Pulang sekolah ya olahraga. Sebelum berangkat, dicek lagi semua bawaan. Nggak boleh ada yang kelewatan,” ujar Elfa.
Menurutnya, alam bebas tidak bisa ditebak. Banyak hal bisa terjadi di luar dugaan, dan semua itu harus diantisipasi sejak awal.
Waspada Hipotermia, Pilih Pakaian yang Tepat
Salah satu risiko paling berbahaya saat mendaki gunung adalah hipotermia, kondisi ketika suhu tubuh turun drastis akibat paparan dingin. Sayangnya, banyak pendaki belum memahami seriusnya ancaman ini, terutama mereka yang mengenakan pakaian tidak sesuai.
Elfa mengaku dirinya pernah nyaris mengalami hipotermia saat mendaki Gunung Rinjani. Meski siang hari begitu terik, namun malamnya mereka justru menggigil kedinginan.
“Jadi satu tenda itu kami dua perempuan, berpelukan. Pertama, dia bilang saya menggigil seperti mau demam. Saya keluarkan sarung tangan dan kaki. 10 menit kemudian saya yang menggigil. Dia keluarkan lagi apa yang ada untuk membalut kaki, tangan dan leher. Akhirnya subuh, hilang dinginnya,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya menggunakan tiga lapisan pakaian (three layers) sebagaimana disarankan porter Gunung Rinjani saat itu.
“Tiga layer itu yang di dalam itu pakai bahan poliester. Yang kedua agak lebih tebal sedikit tapi masih ada campuran poliesternya. Yang ketiga itu kalau bisa jaket untuk gunung,” katanya menjelaskan.
Baca Juga: Tips Kesehatan Fisik Sebelum Mendaki Gunung
Irvan menambahkan, pendaki sebaiknya tidak mengenakan pakaian seperti celana jeans, sepatu converse, atau tanktop.
“Itu yang bisa menyebabkan hipotermia. Kalau kita persiapannya, kalau bisa jaket itu dua lapis, yang bisa menghangatkan tubuh. Terus pakai celana yang seringan mungkin. Pokoknya yang bisa kita leluasa dan aman-nyaman lah,” ujarnya.
Jika seseorang mulai mengalami hipotermia, maka hal utama yang harus dilakukan adalah menghangatkan tubuh secepat mungkin. Selain pakaian, perlengkapan seperti sleeping bag thermal sangat penting untuk menjaga suhu tubuh.
“Sleeping bag thermal itu bisa mempercepat proses menghangatkan tubuh. Itu penting sekali,” ucap Irvan mengakhiri. (susan/hm27)
PREVIOUS ARTICLE
Kembangkan Aplikasi Pembelajaran Pajak, Mahasiswi Vokasi USU Raih Juara 3 Pilmapres Sumut