Monday, October 6, 2025
home_banner_first
SUMUT

Pengamat Politik: Turbulensi di Tubuh NasDem Jadi Ladang Kompetisi Baru bagi PSI

Senin, 6 Oktober 2025 14.19
pengamat_politik_turbulensi_di_tubuh_nasdem_jadi_ladang_kompetisi_baru_bagi_psi

Pengamat Politik Sumatera Utara, Shohibul Anshor. (foto:dokumen/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menilai migrasi politik bukan semata akibat turbulensi internal, melainkan strategi bertahan di tengah sistem kepartaian yang lemah secara ideologis.

“Saya menilai perpindahan sejumlah kader dan politisi senior Partai Nasdem ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan peristiwa luar biasa dalam tradisi dan budaya politik Indonesia,” katanya pada Mistar, Senin (6/10/2025).

Politik Sebagai Seni Bertahan, Bukan Perjuangan Nilai

Menurutnya, fenomena tersebut hanyalah sebuah cermin dari karakter politik Indonesia yang cenderung pragmatis, yang di dalamnya partai politik lebih sering diposisikan sebagai alat bertahan ketimbang wadah perjuangan ideologis.

“Fenomena perpindahan partai itu bukan hal baru. Dalam politik Indonesia, perjuangan sering dimaknai sebagai seni bertahan dan wadah aktualisasi diri, bukan perjuangan nilai,” katanya.

Ia mengatakan, pola seperti ini telah berlangsung sejak lama, dengan meniru langkah sejumlah tokoh politik besar.

“Surya Paloh sendiri dulu keluar dari Golkar dan mendirikan Nasdem. Prabowo Subianto meninggalkan Golkar untuk membangun Gerindra, dan Wiranto mendirikan Hanura. Semua ini contoh bagaimana politisi Indonesia menafsirkan perjuangan politik sebagai seni bertahan dan ruang aktualisasi diri,” tuturnya.

Partai Keluarga vs Partai Demokratis

Shohibul menguraikan, fenomena perpindahan partai erat kaitannya dengan karakter struktural partai politik di Indonesia, yang secara umum terbagi dua, yakni partai keluarga dan partai demokratis.

“Partai keluarga memitoskan satu figur sentral yang dianggap tak tergantikan. Sedangkan partai demokratis membuka ruang kaderisasi dan sirkulasi kepemimpinan yang sehat,” ucap dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut.

Ia menyebut Golkar dan PKS sebagai contoh partai yang masih menjaga tradisi demokrasi internal, dengan mekanisme pergantian pemimpin yang terstruktur. Sebaliknya, partai-partai keluarga dinilai mengagungkan figur tunggal sebagai simbol kekuasaan absolut.

PSI Jadi Peluang Baru, Tapi Tidak Menjamin

Terkait gelombang perpindahan dari NasDem ke PSI, Shohibul melihatnya sebagai manuver politis yang lebih menonjolkan perhitungan survival di tengah dinamika politik nasional.

“PSI kini tampil sebagai ladang kompetisi politik baru bagi politisi yang keluar dari turbulensi NasDem. Tapi motivasinya lebih pada eksistensi, bukan karena kesamaan ideologi,” katanya.

Namun, ia mengingatkan bahwa PSI juga tak sepenuhnya bebas dari masalah. Citra sebagai partai muda dan progresif kini mulai memudar seiring naiknya Kaesang Pangarep sebagai ketua umum yang dinilai minim pengalaman politik.

“Ketika seseorang yang tak pernah berproses di partai langsung jadi ketua umum, itu sinyal buruk bagi demokrasi internal partai,” ujarnya.

Migrasi Politik Akibat Rendahnya Literasi dan Lemahnya Lembaga Pemilu

Shohibul menilai akar masalah dari fenomena migrasi partai adalah rendahnya literasi politik masyarakat, ditambah dengan lemahnya tata kelola Pemilu oleh KPU dan Bawaslu.

“Selama rakyat belum cukup dewasa secara politik, fenomena anomali seperti ini akan terus terjadi. Pemilih kita belum terbiasa menilai partai berdasarkan nilai dan sistem, tetapi masih terjebak pada figur dan popularitas,” katanya.

Ia mengatakan, kelemahan integritas dan independensi KPU serta Bawaslu justru memperkuat sistem politik yang transaksional.

“KPU dan Bawaslu membiarkan pengaruh eksternal merancang budaya politik transaksional yang kini menjadi determinan utama demokrasi prosedural Indonesia. Akibatnya, politik uang, kooptasi kekuasaan, dan kompromi elektoral menjadi warna dominan dalam proses demokrasi,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi ini menyebabkan demokrasi Indonesia berjalan tanpa substansi.

“Kita memang melaksanakan Pemilu secara rutin, tetapi tanpa pembenahan sistem dan kelembagaan yang independen, demokrasi hanya menjadi ritual prosedural yang dikendalikan oleh transaksi dan kepentingan eksternal,” tuturnya mengakhiri. (hm27)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN