Pengamat Politik Sumut: Indonesia Memiliki Dua Jenis Partai, Keluarga dan Terbuka

Pengamat politik Sumut, Shohibul Anshor. (foto:dokpribadi shohibul/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menilai bahwa sistem politik Indonesia saat ini dapat dikategorikan ke dalam dua jenis partai politik, yakni partai keluarga dan partai terbuka.
“Tanpa disadari, di Indonesia ada dua jenis partai. Pertama, partai keluarga; kedua, partai tertutup. Partai jenis ini berpusat pada figur tertentu dan berkembang dengan nilai-nilai kekeluargaan yang kental,” ujarnya kepada Mistar, Senin (4/8/2025).
Shohibul mencontohkan kondisi ini dengan terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Ia menyebut posisi Megawati dalam partai adalah simbol puncak kepemimpinan yang tidak tergantikan selama ia masih hidup.
“Jika Megawati terpilih kembali menjadi ketum, itu memang sudah seharusnya. Ia mesti tetap berada di puncak kepemimpinan selama masih hidup. Tanpa dirinya, partai ini bisa pecah karena belum punya pengalaman suksesi yang demokratis,” katanya.
Dia menilai, pola serupa juga ditemukan pada partai-partai lain seperti Gerindra, NasDem, dan Demokrat, yang menurutnya masih sangat bergantung pada figur pendirinya.
Shohibul kemudian membedakan jenis partai lainnya yang menurutnya lebih modern dan terbuka, seperti Partai Golkar. Meski merupakan warisan Orde Baru, Golkar dinilai telah menunjukkan sirkulasi kepemimpinan yang relatif cair pasca-Soeharto.
“Contoh lain adalah PKS, partai yang lahir pasca reformasi. Presidennya sudah berganti-ganti, menunjukkan dinamika kepemimpinan yang sehat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Shohibul menyoroti bahwa kongres partai politik sering kali tak lepas dari unsur transaksi politik. Hal ini kerap menjadi penyebab lahirnya partai baru, termasuk NasDem.
Terkait PDIP, ia menilai meskipun sukses secara elektoral sejak 1999 dan memenangkan dua kali Pilpres, kontribusinya terhadap demokrasi dan kesejahteraan publik masih bisa diperdebatkan.
“Pertanyaannya, apa sumbangan nyata bagi demokrasi dan kesejahteraan? Jawabannya terlihat dari konflik yang besar dengan Joko Widodo (Jokowi). Wajah Soekarno (Marhaen) semakin kabur, pembelaan atas wong cilik makin sepi,” ujarnya.
Ia menutup dengan menegaskan, jika partai-partai tidak belajar berdemokrasi secara internal, maka jangan berharap negara akan tumbuh menjadi demokratis. (ari/hm16)