Menjenguk Pangkalan Brandan (1): Jejak Kejayaan Kota Minyak yang Mulai Pudar

Tugu 100 tahun Pertamina yang tidak lagi terawat pinggir Jalan Lintas Sumatera di Kota Pangkalan Brandan (foto:endang/mistar)
Pangkalan Brandan, MISTAR.ID
Pangkalan Brandan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Langkat yang wilayahnya masuk dalam Kecamatan Babalan, sedangkan sebagian lagi masuk wilayah Kecamatan Sei Lepan dan Kecamatan Brandan Barat.
Letaknya yang berada di pesisir timur Pulau Sumatera, menjadikan kota ini menjadi jalur utama Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) dari arah Kota Medan menuju Aceh dan sebaliknya. Letaknya yang berdampingan dengan laut membuat sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan, sebagian lain petani dan pedagang.
Penduduknya sebagian besar merupakan suku Melayu dan mayoritas beragama Islam. Pangkalan Brandan terkenal karena merupakan salah satu ladang minyak tertua di Indonesia dan telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda.
Telaga Said adalah lokasi pertama pengeboran minyak bumi di Indonesia yang berada di Pangkalan Brandan saat ini, tepatnya berada di Kecamatan Sei Lepan.
Dalam catatan sejarah tertulis, pada 1880, warga Belanda bernama Aeilko Jans Zijker, kala itu menemukan rembesan minyak ke permukaan tanah di Langkat. Dikutip dari Wikipedia, sampel minyak kemudian dibawa dan dianalisis di Batavia. Hasil penyulingan menghasilkan kadar minyak 59%.
Untuk mengeksplorasi minyak, pada 1882, Zijker pun mencari dana ke negeri Belanda. Pada 1883, Zijker memperoleh konsesi di Telaga Said, Langkat seluas 500 bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Langkat.
Tahun pertama, Zijker mulai mengebor sumur pertama namun gagal. Dia mencoba sumur kedua di Desa Telaga Said dan berhasil menemukan minyak pada kedalaman 22 meter pada 1884. Saat itu dia berhasil memperoleh minyak sekitar 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja.
Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter. Jumlah itu terus bertambah. Hingga pada 15 Juni 1885--ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter--tiba-tiba muncul semburan kuat gas berikut minyak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal 1.
Tahun 1890, Zijker mengalihkan konsesi ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Zijker meninggal pada Desember 1890 di Singapura.

Pintu gerbang kilang Pangkan Brandan (foto: endang/mistar)
Mulai Dikelola Pertamina
Belakangan, Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina mulai mengelola kilang minyak Pangkalan Brandan, tepatnya tahun 1957. Sejak itu, kilang Pangkalan Brandan terus menghasilkan minyak dan gas berkapasitas 5.000 barel per hari. Hasil produksinya berupa gas elpiji sebanyak 280 ton per hari, serta minyak mentah (kondensat) 105 ton per hari.
Denyut nadi Kota Pangkalan Brandan pun kian bergerak cepat. Pembangunan kilang dan sarana pendukungnya seperti perumahan karyawan, rumah sakit dan sekolah gencar dibangun oleh Pertamina.
Begitu juga dengan infrastuktur seperti jalan yang menjadi akses menuju kilang di Pangkalan Brandan dan pelabuhan Pertamina di Kecamatan Pangkalan Susu yang langsung dibangun.
Kehadiran kilang Pertamina mendongkrak perekonomian warga di Pangkalan Brandan. Berbagai usaha tumbuh. Seperti pedagang makanan dan minuman hingga penjual pakaian dan penjual kebutuhan warga sehari hari.
Kehadiran kilang Pertamina juga menjadi motor penggerak perindustrian dan perekonomian warga di Kabupaten Langkat. Pangkalan Brandan pun dikenal sebagai Kota Minyak.
Namun pada 7 Maret 2007, kilang minyak yang sangat bersejarah dan berusia lebih dari 120 tahun itu ditutup. Habisnya minyak di perut bumi Pangkalan Brandan menjadi alasan Pertamina menutup unit pengolahan di wilayah tersebut.
Keputusan penutupan diambil setelah persediaan minyak mentah dan gas bumi tidak lagi mencukupi untuk pengoperasian kilang. Sejumlah karyawan dipindahkan ke tempat lain.
Bahkan sejak 2009 perumahan Pertamina Pangkalan Brandan dipinjamkan kepada TNI AL untuk dijadikan markas dan perumahan prajurit Batalyon Infateri 8 Marinir.
Kilang minyak Pangkalan Brandan kini tak lagi ramai. Kompleks kilang hanya menyisakan rumah sakit dan sekolah yang masih difungsikan untuk warga setempat. Sisanya dibiarkan begitu saja tanpa ada aktifitas. Hanya sejumlah petugas sekuriti yang tampak masih berjaga di pintu masuk kilang.
Setelah Pertamina tak lagi beroperasi, Kota Pangkalan Brandan mulai kehilangan identitas. Disebut Kota Minyak, tetapi minyak sudah tak ada lagi. Apakah layak disebut Kota Singgah, Kota Kuliner Seafood atau Kota sejarah?
Camat Babalan, Restra Yudha menyebutkan, meskipun merupakan jalur utama Jalan Lintas Sumatera jalur Medan-Aceh, Pangkalan Brandan tak lagi bisa disebut sebagai kota persinggahan.
“Sejak ada tol Binjai-Langsa, sudah jarang kendaraan lintas yang mau singgah ke Pangkalan Brandan karena jarak Pangkalan Brandan ke Medan hanya satu jam lewat tol. Pengendara dari Aceh misalnya, lebih memilih untuk langsung ke Kota Medan tanpa singgah lagi di Brandan,” kata Restra kepada Mistar pekan lalu.
Sejumlah hotel yang berada di sisi jalan lintas di Pangkalan Brandan juga nyaris tak pernah lagi didatangi pengunjung. Bahkan Bupati Langkat Syah Affandin, yang juga merupakan putra asli Pangkalan Brandan mengaku belum memiliki gambaran mau dijadikan apa Kota Pangkalan Brandan ke depan setelah Pertamina hengkang.
“Memang tak bisa kita pungkiri secara historis Pangkalan Brandan merupakan penghasil minyak pertama di Indonesia. Secara histrois kita harus berpikir apa yang harus kita lakukan untuk Kota Pangkalan Brandan agar tetap eksis. Kita berharap juga Pertamina dapat berperan serta. Di sana banyak lahan yang tidak termanfaatkan, tetapi masih menjadi aset Pertamina,” ujar Ondim, sapaan akrab Syah affandin.
Ondim juga menyebutkan, pihaknya nanti akan berkonsentrasi untuk memikirkan langkah-langkah agar masyarakat di Pangkalan Brandan dapat melakukan aktifitas perekonomian di lahan atau kawasan bekas aset Pertamina.
“Gambaran-gambaran mau diarahkan kemana (Kota Pangkalan Brandan) sudah ada, namun nanti akan kita real-kan,” kata Ondim lagi.
Memiliki Banyak Potensi
Selain potensi minyak dan gas bumi, Kota Pangkalan Brandan sebenarnya memiliki banyak potensi, khususnya potensi alam dari sektor pertanian dan hasil lautnya.
Potensi pertanian warga Pangkalan Brandan di Kecamatan Sei Lepan adalah padi dan ubi. Kecamatan Sei Lepan dan Babalan merupakan kecamatan lumbung beras di Kabupaten Langkat.
Masyarakat di Pangkalan Brandan juga penghasil ubi. Ubi diolah menjadi keripik. Mulai dari keripik original, pedas, pedas manis, dan lain sebagainya. Banyak warga yang membuka toko keripik yang sampai memasarkan keripik tersebut hingga keluar kota. Keripik ubi justru lebih dikenal dari Gebang, Kecamatan yang berada berdekatan dengan kota Pangkalan Brandan.
Lain halnya dengan potensi hasil laut seperti ikan, udang, cumi dan kepiting. Setiap harinya puluhan ton hasil laut dibawa para nelayan Pangkalan Brandan yang baru pulang melaut ke daratan.
Ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan hasil laut lainnya dapat dengan mudah dijumpai di pasar tradisional yang ada di pinggir pantai Pangkalan Brandan. Dengan harga yang lebih murah.
Menurut warga Pangkalan Brandan, dengan potensi hasil laut yang melimpah seharusnya Pemerintah Kabupaten Langkat membuat suatu kawasan pusat wisata kuliner khusus seafood di Pangkalan Brandan.
Adanya jalan tol ke Pangkalan Brandan warga Medan dengan mudah datang ke Pangkalan Brandan hanya untuk makan siang sambil menikmati lezatnya seafood yang masih fresh dengan panorama laut. Kemudian kembali lagi bekerja ke Medan. Medan ke Pangkalan Brandan seharusnya tak lagi jauh. Layaknya Medan menuju Belawan.
“Di Pangkalan Brandan kayaknya cuma ada tiga rumah makan atau restoran penyedia seafood yang lengkap dan enak, di jalan Kalimantan itu legendarisnya. Terus ada juga rumah makan di Jalan Pelabuhan. Satu lagi di Jalan Babalan. Yang lain tak ada. Yang dua itu berada di pinggir laut,” ujar Muslim, warga Pangkalan Brandan kepada Mistar.
Dengan adanya pusat kuliner seafood, warga ataupun pendatang dapat menikmati aneka hidangan seafood yang masih segar, fresh form the ocean, nikmat dan murah. Usaha mikro kecil dan menengah juga bisa mendapat tempat di lokasi itu. Ekonomi warga pun menggeliat.
“Coba cari di Medan, dimana rumah makan yang menyediakan menu udang lipan? Jarang ada kalaupun ada harganya mahal. Kalau di Brandan setiap harinya ada saja nelayan yang tangkap udang lipan. Kalau itu dijual dan dimasak di pusat kuliner seafood, kan jadi ciri khas,” kata Muslim lagi.
Para nelayan juga dapat menjual hasil tangkapannya langsung ke pusat kuliner dengan harga yang lebih baik dibanding menjualnya kepada tengkulak.
Wisata sejarah perminyakan juga dapat menjadi alternatif bagi Pangkalan Brandan setelah tak lagi memiliki minyak. Kilang-kilang minyak yang masih berdiri kokoh dapat menjadi destinasi sejarah minyak Indonesia. Begitu juga dengan sumur minyak pertama di Indonesia yang ada di desa Telaga Said juga masih terawat dengan baik hingga kini.
Menurut keterangan mantan karyawan Pertamina Pangkalan Brandan, beberapa kali turis Belanda yang datang ke kilang Pertamina Pangkalan Brandan hanya untuk melihat suasana kilang tersebut dan bernostalgia.
“Jika dikembangkan oleh Pemerintah daerah tentunya bersama pihak Pertamina, wisata sejarah perminyakan dapat dikembangkan dan maju di bekas kilang Pertamina Pangkalan Brandan, seperti tur kilng minyak tua,” kata Rudi, warga Pangkalan Brandan.
Begitu juga dengan wisata ke desa nelayan. Desa Perlis dan Desa Kelantan merupakan salah satu destinasi wisata untuk melihat langsung desa nelayan di Pangkalan Brandan.
Kedua desa tersebut berada di sebuah pulau seberang Pangkalan Brandan. Untuk mencapai kesana warga biasanya menggunakan perahu tradisional kecil yang masih didayung manusia. Bukan perahu bermesin.
Pangkalan Brandan butuh tangan-tangan kreatif dari pemerintah daerah agar wilayah tersebut tetap eksis. Begitu juga dengan Pertamina yang seharusnya ikut andil menjaga kota Pangkalan Brandan tetap hidup meski tak lagi mengandung minyak.
Sebab selama ini, Pangkalan Brandan telah ditinggalkan begitu saja setelah minyak di perut buminya habis disedot. Ibarat kata pepatah, habis manis sepah dibuang. Minyak habis Pangkalan Brandan dilupakan.
Pangkalan Brandan seharusnya bisa kembali bersinar, bukan dari minyak mentahnya melainkan dari sejarah dan harapan warganya. (endang/hm01)
BERITA TERPOPULER





Kolombia Bantai Meksiko 4-0 di Laga Uji Coba: Luis Díaz Bersinar, Carbonero Tutup Pesta Gol di Texas




