Menjenguk Pangkalan Brandan (2): Bertaruh Nyawa Demi Emas Hitam

Dapur pengolah minyak mentah ilegal di Kecamatan Padang Tualang, Langkat (foto;:istimewa/mistar )
Pangkalan Brandan, MISTAR.ID
Suasana pagi hari di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat tampak sama seperti desa lainnya. Udara dingin begitu terasa. Suara kicauan burung bersahutan setelah suara ayam jantan berkokok membangunkan warga. Suara gemericik air terasa menyejukkan. Ditambah lagi kabut tebal yang masih menyelimuti desa.
Tak lama matahari pun menunjukkan sinarnya. Anak-anak desa tampak mulai pergi ke sekolah. Ada yang bersepeda. Ada juga yang berjalan kaki. Begitu juga dengan para lelaki di desa ini yang mulai pergi ke sawah dan ladangnya.
Suasana desa baru mulai berubah menjelang jam sembilan pagi. Sayup terdengar suara mesin dompeng atau mesin katrol yang kian lama semakin jelas terdengar. Asap hitam mesin berbahan bakar solar itupun mengusir aroma suasana sejuknya pagi pedesaan.
Mesin-mesin itu merupakan mesin yang digunakan untuk menambang minyak mentah atau kondensat secara tradisional oleh warga di desa Telaga Said.
Begitu juga dengan Agus (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, yang tinggal di desa itu. Pagi hari setelah sarapan dan berberes ia kemudian pamit kepada istrinya untuk bekerja sebagai penambang minyak mentah tradisional.
Lokasi sumur minyak tempat Agus bekerja hanya berjarak 20 menit naik sepeda motor dari rumahnya. Pekerjaan ini sudah ia tekuni sejak 2013. Agus mengaku bukanlah warga asli Desa Telaga Said. Sebelumnya ia merupakan warga Kota Binjai.
Ia pindah dan bekerja di situ setelah diajak oleh salah seorang temannya yang terlebih dahulu sukses menjadi penambang minyak mentah. Agus pun mulai bercerita tentang kehidupan penambangan minyak mentah setelah sebelumnya meminta agar identitas dirahasiakan.
“Payah bang, waktu itu ada yang ngobrol sama wartawan, begitu beritanya dimuat dan terbit, datang polisi ke tempatnya,” kata Agus.
Kegiatan tambang minyak tradisional ini memang ilegal. Pelakunya dapat dikenakan Pasal 52 Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Ancaman hukumannya 6 tahun kurungan penjara dan denda Rp60 miliar.
Penambangan minyak ilegal banyak terdapat di Kabupaten Langkat. Sumur-sumur minyak ini tersebar di beberapa desa yang ada di beberapa kecamatan seperti kecamatan Sei Lepan, Padang Tualang dan Tanjung Pura.
Entah siapa yang memulai duluan kegiatan penambangan minyak ilegal ini. Menurut Agus, dari cerita dari mulut ke mulut penambangan minyak dimulai sekira tahun 2009 setelah Pertamina menghentikan operasi penambangan minyak dan gas di kilang minyak Pangkalan Brandan.
“Banyak minyak yang berceceran di permukaaan tanah. Awalnya di Desa Bukit Tua Kecamatan Padang Tualang, dekat sumur tua Pertamina yang tidak digunakan lagi. Warga kemudian ramai-ramai membuat sumur di lokasi lain untuk menambang minyak,” kata Agus.
Puncaknya di tahun 2010-2018, ribuan sumur minyak ilegal dibuat warga. Tak terkira jumlahnya. Tak hanya di lahan terbuka, di tengah sawah, ladang atau di halaman rumah warga membuat sumur minyak.
“Bahkan ada juga yang mengebor dapur rumahnya sendiri untuk dijadikan sumur minyak,” cerita Agus lagi.
Membuat sumur minyak ini pun tergolong mudah. Seperti halnya membuat sumur bor biasa. Tinggal mengebor tanah dengan kedalaman hingga 200 meter. Jika keluar minyak berarti di tempat itu ada kandungan minyaknya. Jika masih keluar air berarti tidak ada minyaknya.
Pengeboran tanah untuk membuat sumur minyak biasanya dilakukan oleh orang yang telah mahir membuat sumur bor. Biayanya Rp3 juta hingga Rp7 juta untuk satu titik.
Biasanya pemilik tanah yang mencari tukang pembuat sumur bor itu. Namun bagi Agus yang tidak memiliki tanah, pengeboran dilakukan di sembarang tempat dengan seizin pemilik lahan. Jika berhasil mengeluarkan minyak, baru dibagi hasilnya antara penambang dan pemilik lahan.
Menentukan lokasi titik pengeboran juga memiliki cerita sendiri. Ada yang sembarangan menunjuk lokasi pengeboran. Ada juga yang menggunakan jasa dukun atau orang pintar untuk menentukan titik pembuatan sumur minyak dengan biaya Rp1 juta.
Jika beruntung, minyak akan langsung menyembur keluar saat digali. Namun jika tidak, hingga kedalaman 200 lebih pun tetap saja air yang keluar.
Kembali ke Agus, sumur minyak miliknya masih mengeluarkan minyak meskipun telah digunakan selama tiga bulan. Setiap hari rata-rata menghasilkan sebanyak tiga jerigen ukuran 40 liter.
Setiap jerigen dihargai sebesar Rp150 ribu oleh pengepul. Minyak itu kemudian dibawa ke tempat pengolahan minyak mentah atau disebut dengan dapur untuk direbus dan disuling menjadi minyak bensin, solar dan minyak lampu.
Menambang minyak mentah sangat mudah. Tinggal memasukkan pipa besi ukuran tiga inci sepanjang dua meter ke dalam lubang sumur yang telah digali, lalu minyak akan masuk ke dalam pipa besi tersebut. Kemudian tinggal menarik pipa besi ke permukaan tanah dan menuang minyak ke dalam jerigen.
Untuk mengulur dan menarik kembali pipa besi dari dalam sumur digunakan kabel baja yang ditarik menggunakan mesin dompeng atau mesin katrol. Cukup dua orang saja dapat melakukan kegiatan tambang minyak ilegal itu.
Rawan Terjadi Kebakaran
Agus mengaku sadar jika perbuatannya melanggar hukum dan merusak lingkungan. Namun demi mengais rezeki Agus dan warga lainnya mengabaikan rezikonya. Agus juga faham jika menambang minyak mentah sangat beresiko karena tidak ada keamanannya.
Rawan terjadi kebakaran akibat semburan gas dari dalam tanah ataupun karena percikan api di lokasi sumur minyak mentah. “Namanya usaha. Gak ada kerjaan lain,” kata Agus.
Menurut Agus dari hasil menambang minyak mentah, dirinya mampu membangun rumah sederhana dan membeli kebutuhan rumah tangganya. Selama ini menurut Agus. aktifitas tambang minyak mentah tidak pernah terjadi keracunan atau kebakaran. Kebakaran justru sering terjadi di tempat pengolahan minyak atau dapur.
“Kalau ada petugas yang datang, tahu sama tahu ajalah bang,” kata Agus sambil tersenyum.
Minyak mentah dari sumur minyak biasanya dibawa oleh pengepul ke dapur tempat pengolahan minyak. Minyak mentah akan direbus dalam tong-tong yang terbuat dari drum besi yang dirakit sedemikian rupa.
Dari tong yang digunakan untuk merebus minyak mentah diletakkan pipa untuk menyuling dan mengalirkan minyak jadi ke tong penampungan. Ada tiga pipa yang tujuannya untuk menghasilkan bensin, solar dan minyak tanah.
Keberadaan dapur inilah yang kerap menyebabkan kebakaran. Tercatat berulangkali dapur pengolahan minyak mentah yang meledak dan terbakar. Tidak hanya korban luka, kebakaran dapur juga pernah menyebabkan tewasnya pekerja dapur.
Kebakaran sumur minyak ilegal di Langkat sudah beberapa kali terjadi. Pada 14 Desember 2012 sumur minyak yang terbakar ada di Desa Buluh Telang, Kecamatan Padang Tualang. Tujuh orang terbakar dalam kejadian itu. Dua di antaranya meninggal dunia.
Sementara pada 15 Januari 2013 kebakaran yang terjadi di dapur minyak di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tanjungpura, menyebabkan dua orang terbakar. Beberapa hari kemudian, satu orang di antaranya meninggal dunia.
Dapur pengolah minyak mentah ini banyak terdapat di Kecamatan Tanjung Pura. Salah satunya di Desa Padang Cermin Kecamatan Tanjung Pura dan di Desa Buluh Telang Kecamatan Padang Tualang. Meski telah diprotes warga sekitar dapur pengolah minyak mentah ini masih terus beroperasi.
Peristiwa kebakaran dapur terakhir terjadi pada Selasa (18/4/2023) di Desa Padang Cermin, Kecamatan Tanjung Pura. Dapur minyak mentah ilegal diduga milik warga bernama Rita meledak dan terbakar. Seorang pekerjanya tewas akibat luka bakar 75 persen setelah dirawat di RSU Adam Malik medan.
Minyak bensin, solar dan minyak lampu hasil produksi dapur kemudian diedarkan ke Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Medan hingga Deli serdang. Biasanya dijual secara eceran di pinggir jalan.
Polisi juga kerap menggerebek dan merazia sumur minyak ilegal dan dapur pengolahan minyak ilegal yang ada di Langkat. Para pekerja dan pemilik telah ditangkap namun tetap saja aktifitas tambang minyak mentah ilegal terus berlangsung. Selain tambang minyak ilegal, ada juga tambang minyak yang legal alias mempunyai izin.

Bekas dapur pengolahan minyak mentah yang terbakar di Desa Padang Cermin Kecamatan Tanjung Pura (18/4/2023). (foto: Istimewa/mistar )
Kualitas Tanah dan Air
Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) memberikan tanggapan terkait keberadaan sumur minyak di Kabupaten Langkat yang dikelola secara ilegal oleh warga.
Menurut Staf Kampanye Walhi Sumut, Maulana, aktivitas penambangan sumur minyak yang dilakukan warga di sejumlah titik di Langkat berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas tanah dan air.
"Dampak seriusnya tentu kualitas tanah dan air yang ada disekitarnya akan terpengaruh cenderung menjadi buruk. Selain itu, pengelolaan sumur minyak juga berdampak pada lingkungan," katanya ketika dikonfirmasi Mistar melalui sambungan seluler, Jumat (3/10/25).
Dikatakan Maulana, hal itu disebabkan oleh kontaminasi zat-zat yang berasal dari perut bumi terhadap permukaan bumi. Kata dia, penambangan minyak tak boleh dilakukan sembarangan kecuali adanya izin dari pemerintah.
"Ketika minyak yang diambil dari dalam bumi dan dikeluarkan, tentu partikel yang berada di dalamnya akan mengontaminasi zat-zat yang ada di atas permukaan tanah. Pengelolaan sumur minyak seharusnya menggunakan prosedur memadai dan memiliki standardisasi, aturan, atau kebijakan yang telah ditetapkan," ucapnya.
Jika penambangan sumur minyak tetap berjalan padahal tidak memiliki izin dan prosedur yang memadai, kata Maulana, maka dampaknya akan langsung dirasakan warga dan para pekerja sumur minyak.
"Walhi melihat pemerintah dan aparat penegak hukum tidak menindak tegas aktivitas sumur minyak yang sudah berlangsung cukup lama ini. Jika sumur minyak ini terbukti ilegal, maka seharusnya barang-barang pengelolaan sumur minyak tersebut disita," ujarnya.
Ia menjelaskan, pengelolaan minyak bumi di Indonesia sudah diatur, seperti Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.
"Secara garis besar, pengelolaan minyak bumi rakyat bisa dilakukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun yang perlu diingat, pengelolaan minyak bumi harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup, supaya tidak berdampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar," tutur dia.
Lebih jauh, Maulana mengatakan, sebelum BUMD, koperasi, atau UMKM melakukan pengelolaan minyak bumi, perlu dipastikan terlebih dahulu kapabilitas mereka dalam mengelola minyak bumi.
"Kita juga harus melihat kapasitas BUMD, koperasi, atau UMKM ini. Mereka mampu atau tidak menyediakan peralatan, standar operasional prosedur (SOP), tenaga kerja, hingga kajian dampak lingkungan dalam mengelola minyak bumi di tingkat lokal," ucapnya.
Maulana khawatir dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun ke depan, wilayah Langkat terutama Pangkalan Brandan mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup akibat aktivitas pengelolaan sumur minyak ini.
"Hal ini disebabkan banyaknya kita temui kasus-kasus pelanggaran lingkungan di daerah tersebut, seperti tambang pasir ilegal, sawit ilegal, konversi hutan mangrove menjadi sawit, sumur minyak ilegal, hingga pencemaran sungai," katanya.
Maulana mengemukakan, beberapa kasus pelanggaran lingkungan tersebut saat ini menjadi kontribusi terbesar kerusakan lingkungan hidup di Langkat.
"Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin 10–20 tahun ke depan daerah ini akan mengalami peningkatan bencana ekologis, seperti banjir bandang, banjir rob, pencemaran, dan lainnya," ujarnya. (endang/deddy/hm01)
BERITA TERPOPULER





Kolombia Bantai Meksiko 4-0 di Laga Uji Coba: Luis Díaz Bersinar, Carbonero Tutup Pesta Gol di Texas




