Sunday, October 12, 2025
home_banner_first
SUMUT

Menjenguk Pangkalan Brandan (3-Habis): Dari Kilang Tua Menuju Living Museum Energi Indonesia

Mistar.idMinggu, 12 Oktober 2025 21.50
LM
EJ
menjenguk_pangkalan_brandan_3habis_dari_kilang_tua_menuju_living_museum_energi_indonesia

Pintu gerbang kilang Pangkan Brandan (foto: endang/mistar)

news_banner

Pangkalan Brandan, MISTAR.ID

Langkat tak hanya dikenal dengan ribuan sumur minyak ilegalnya. Di balik itu, daerah ini pernah punya model tambang rakyat yang sah secara hukum melalui koperasi-koperasi berizin Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kini, pemerintah daerah berupaya menghidupkan kembali semangat itu lewat pembentukan BUMD agar sumur tua bisa dikelola secara legal dan berkeadilan.

Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Langkat, Indra Salahuddin menyatakan, semasa ia menjabat sebagai Sekda Langkat, ada penambang minyak legal berbadan Koperasi Unit Desa (KUD) yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

“Izin dari Kementerian ESDM seperti KUD Langkat Oil Resources yang berada di Kecamatan Padang Tualang, KUD Tani Makmur di Sei Lepan. Sedangkan untuk KUD Usaha Mandiri dan KUD Bumi Bertuah yang berada di Sei Lepan, telah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur saat itu,” ujar Indra Salahuddin, kepada Mistar.

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) SDM Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusaha Pertambangan Minyak Bumi Sumur Tua. Sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah berproduksikan, serta terletak pada lapangan yang diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat kontrak kerja sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Dalam aturan itu, ditetapkan bahwa KUD atau BUMD yang ingin bekerja sama memproduksi minyak bumi pada sumur tua, dapat mengajukan permohonan kepada KKKS dengan tembusan kepada Menteri ESDM cq Dirjen Migas dan BPMIGAS (kini SK Migas).

Jika permohonan disetujui, maka Dirjen Migas atas nama Menteri ESDM memberikan persetujuan memproduksi kepada KKKS. Selanjutnya, KKKS dan KUD atau BUMD wajib menindaklanjuti dengan perjanjian memproduksi minyak bumi.

KUD atau BUMD dapat mulai memproduksi minyak setelah ada perjanjian dengan KKKS. Hasil yang diperoleh, harus diserahkan kepada KKKS dan untuk itu, KUD atau BUMD mendapat imbalan jasa yang besarannya didasarkan kesepakatan kesepakatan kedua belah pihak.

“Namun saya tidak mengetahui pasti apakah usaha KUD itu masih berjalan atau tidak. Apakah izinnya masih berlaku atau tidak saya juga tidak mengikutinya lagi,” kata Mantan Sekda Langkat ini.

Sementara itu, Bupati Langkat Syah Affandin menyatakan, saat ini sedikitnya ada 2.878 sumur minyak ilegal yang ada di Langkat. Syah Affandin menyatakan sesuai arahan Menteri ESDM, tidak boleh ada lagi sumur minyak ilegal yang beroperasi.

“Menyahuti perintah menteri itu, Pemkab Langkat telah membentuk badan usaha milik daerah atau BUMD. Nantinya BUMD inilah yang akan membantu pemilik sumur minyak masyarakat agar bisa operasional secara legal. Mereka akan bergabung dengan BUMD itu," katanya.

"BUMD inilah yang mengcover dan bekerjasama dengan pihak Propinsi dan SKK Migas. BUMD lah yang mengkoordinir seluruh sumur minyak ilegal itu. Kita yang menjembatani antara pemilik sumur minyak, pengepul dan Pertamina,” imbuh Ondim, sapaan akrab Syah Affandin.

Lebih lanjut menurut Ondim, setelah BUMD resmi nantinya, akan diatur terkait operasional dan lainnya. Nantinya diharapkan masyarakat dalam hal ini pemilik tambang minyak ilegal dapat berperan aktif dan menambah penghasilan mereka.

“Kemarin tim dari Pertamina sudah turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi terhadap 2.878 sumur minyak itu,” kata Ondim.


Living Museum Energi Nasional

Apa yang disampaikan Indra Salahuddin serta Bupati Ondim, tentunya adalah salah satu upaya menghidupkan kembali geliat perekonomian Kota Brandan. Namun selain berupaya mengeksploitasi kembali sumur-sumur minyak tua tersebut dalam skala yang lebih miro, tentunya dibutuhkan rencana atau strategi lain untuk membangkitkan kembali kejayaan Kota Minyak tersebut.

Pangkalan Brandan sendiri dikenal bukan sekadar kota tua di pesisir Kabupaten Langkat. Di balik sisa-sisa pipa dan menara kilang peninggalan Belanda, daerah ini memendam potensi besar sebagai wisata sejarah energi—sebuah laboratorium hidup tentang bagaimana Indonesia pernah menyalakan obor industrinya sendiri.

Pandangan tersebut disampaikan akademisi, Bantors Sihombing. Dia menilai, Pangkalan Brandan di Kabupaten Langkat memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata sejarah bertaraf nasional.

Menurut dosen pariwisata di salah satu universitas di Medan tersebut, kekuatan utama Kota Brandan bukan sekadar peninggalan fisik, melainkan narasi utuh peradaban minyak Indonesia yang lahir, berkembang dan bertransformasi di wilayah ini.

“Di tempat inilah napas industrialisasi minyak Indonesia pertama kali berhembus,” katanya kepada Mistar, Selasa (7/10/25).

Mulai dari penemuan Sumur Telaga Tunggal pada 1885, dibangunnya kilang minyak pada 1892, diukirnya peristiwa heroik ‘Bumi Hangus’ pada 1947 sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, hingga kehidupan penambang tradisional yang masih beraktivitas hingga hari ini.

Menurut dosen yang tengah menempuh studi doktoral tentang kebijakan publik di bidang pariwisata itu, narasi sejarah Brandan memiliki kekuatan unik yang membedakannya dari destinasi wisata lain.

Situs-situs seperti Telaga Tunggal, bekas kompleks kilang dan Monumen Bumi Hangus, bukan monumen yang berdiri sendiri, melainkan bab-bab dari epos besar yang saling terhubung.

“Seperti yang disampaikan Bupati Langkat, ini adalah semangat yang harus diwariskan untuk membangun daerah,” tuturnya.


Wisata Sejarah yang Imersif dan Digital

Untuk menghidupkan kembali sejarah Pangkalan Brandan agar menarik bagi generasi muda, Bantors menilai perlu dilakukan transformasi dari wisata pasif menjadi pengalaman imersif (memukau) dan interaktif.

“Kita harus melampaui konsep ‘lihat monumen dan baca prasasti’,” ujarnya.

Ia mengusulkan penerapan konsep experiential tourism dan digital storytelling. Salah satu ide yang ia tawarkan adalah tur tematik ‘Tapak Tilas Minyak’ yang mengajak wisatawan mengikuti jejak sejarah dari Sumur Telaga Tunggal, melintasi bekas-bekas infrastruksi kilang, hingga Pelabuhan Pangkalan Susu, tempat ekspor minyak pertama di masa kolonial.

Selain itu, drama kolosal interaktif tentang peristiwa Bumi Hangus 1947 bisa dikembangkan dengan melibatkan penonton secara langsung pada bagian-bagian tertentu. Hal itu dinilai dapat membuat penonton merasakan detik-detik keputusan heroik tersebut.

Ia juga menilai teknologi digital harus dimanfaatkan maksimal. Dengan menggunakan augmented reality (AR), pengunjung bisa ‘melihat’ kembali kilang minyak raksasa di lokasi aslinya.

“Teknologi ini dapat menghidupkan kembali suasana era kolonial di lokasi yang sebenarnya,” ucapnya.

Konsep ‘living museum’ juga menjadi kunci. Melalui workshop Living History, masyarakat dan bekas penambang dapat berperan sebagai narasumber hidup yang membagikan kisah nyata tentang industri minyak tradisional.


Penjual ikan segar di pasar tradisional Pangkalan Brandan (foto: endang/mistar)


Kekuatan Budaya dan Kuliner Melayu Langkat

Menurut Bantors, wisata sejarah tidak akan utuh tanpa konteks budaya dan kuliner lokal. Ia menilai kekayaan budaya Melayu Langkat dan peninggalan Kesultanan Langkat bisa menjadi daya tarik yang memperkaya narasi Brandan.

“Untuk wisata budaya, kita dapat menyoroti Masjid Raya Azizi dan peninggalan Kesultanan Langkat sebagai penarik wisatawan religi dan budaya. Keagungan arsitekturnya adalah bukti sejarah kejayaan masa lampau yang harmonis dengan industri minyak,” kata Bantors.

Sementara di sisi kuliner, ia menyoroti Bubur Pedas dan Bolu Kembojo sebagai makanan khas yang sarat makna budaya dan menjadi representasi dari identitas dan kearifan lokal.

“Kuliner ini dapat menjadi daya tarik tambahan yang powerful. Kita dapat mengembangkannya dalam bentuk ‘Festival Kuliner Heritage’ atau menjadikannya menu wajib di homestay-homestay lokal,” ucapnya.

Tak hanya memanjakan lidah wisatawan, ia menilai hal ini juga dapat mendukung perekonomian UMKM dan masyarakat setempat, yang merupakan salah satu pilar pariwisata berkelanjutan.


Masyarakat sebagai Subjek, Bukan Objek

Dalam pengembangan wisata sejarah, Bantors menekankan pentingnya pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism). Ia menegaskan, masyarakat harus menjadi aktor utama dalam membangun dan menjaga destinasi.

Berikut ragam peran yang dapat diambil komunitas: Sebagai pemandu wisata heritage terlatih, yang tidak hanya hafal fakta tetapi juga menyampaikan cerita dengan hati.

Menjadi pengelola homestay dan penyedia kuliner khas yang autentik, serta berkembang sebagai pengrajin souvenir berbasis motif dan cerita lokal.

Yang paling unik, bekas penambang dapat difasilitasi untuk menjadi ‘narasumber living history’, sebuah peran yang menjadikan mereka aset wisata yang tak ternilai karena menyampaikan pengalamannya secara langsung.

Pemerintah dan swasta, lanjutnya, harus hadir sebagai fasilitator yang memberi pelatihan dan memastikan manfaat ekonomi dirasakan secara adil oleh masyarakat.

Hal ini bertujuan agar masyarakat merasa bangga dan memiliki destinasi ini, sehingga mereka akan menjadi penjaga kelestarian yang paling otentik.

Meski peluang besar terbentang, Bantors menyebutkan ada tiga tantangan utama yang harus segera diatasi. Pertama, kondisi infrastruktur menuju situs-situs sejarah yang masih buruk. Menurutnya, tanpa perbaikan, minat wisatawan akan sulit dipenuhi.

Kedua, perlunya sinkronisasi kebijakan antarlevel pemerintahan dan legalisasi aktivitas penambang tradisional agar bisa diintegrasikan dengan pariwisata tanpa mengganggu mata pencaharian mereka, tetapi justru memagarinya dengan kaidah keselamatan dan keberlanjutan.

Ketiga adalah tantangan narasi dan mindset, di mana yang menurutnya paling sulit adalah mengubah persepsi. Mengubah citra Pangkalan Brandan dari ‘kawasan industri tua’ yang mungkin dianggap usang, menjadi ‘living museum’ yang dinamis dan menarik.

“Selain itu, membangun kebanggaan dan rasa kepemilikan masyarakat lokal adalah fondasi yang harus ditanamkan. Jika masyarakat bangga pada sejarah dan masa depannya, mereka akan menjadi duta wisata yang paling efektif,” ujarnya.

Meski dihadapkan pada banyak tantangan, Bantors tetap optimistis. “Semangat juang yang pernah membara untuk membumihanguskan kilang demi kemerdekaan, kini dapat dialihkan untuk membangun bersama,” katanya.

Dengan pendekatan terintegrasi, berkelanjutan, dan melibatkan seluruh pihak, ia percaya Pangkalan Brandan bisa menjadi laboratorium hidup sejarah energi, ketangguhan, dan identitas bangsa Indonesia. (endang/susan/hm01)

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN