Thursday, August 14, 2025
home_banner_first
SUMUT

Kisah Pedih Nelayan Langkat (2): Ketika Istri Nelayan Harus jadi Super Woman

journalist-avatar-top
Kamis, 14 Agustus 2025 19.59
kisah_pedih_nelayan_langkat_2_ketika_istri_nelayan_harus_jadi_super_woman_

Para istri nelayan tradisional sedang mengupas kupang untuk menambah penghasilan keluarga. (foto: endang/mistar)

news_banner

Langkat, MISTAR.ID

Kelurahan Sei Bilah yang ada di Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat, dikanal sebagai salah satu desa nelayan tradisional. Letaknya yang berdampingan dengan pesisir laut membuat hampir sebagian besar warganya bergantung hidup dari hasil laut.

Begitu juga dengan para istri nelayan di kelurahan tersebut. Mereka harus membantu para suaminya mencari tambahan untuk menghidupi ekonomi keluarga.

Salah satunya adalah Juriah, 45 tahun. Wanita yang memiliki tiga orang anak ini harus bekerja serabutan untuk membantu suaminya. Ia dan sejumlah wanita lainnya bekerja sebagai pengupas kulit kupang. Kupang adalah sejenis kerang yang biasa disebut warga setempat dengan logan.

Setiap harinya mulai jam satu siang hingga sore hari, ia bekerja di pengupasan kupang milik warga setempat bernama Darwis. Ia telah bekerja di situ sejak beberapa tahun tahun terakhir.

Setiap satu kilogram kupang yang telah dikupas dihargai sebesar Rp3.000. Dalam satu hari ia biasa mendapat penghasilan Rp20.000 hingga Rp30.000. Kegiatan ini ia lakoni semata-mata untuk menambah penghasilan keluarga.

“Selepas makan siang dan salat Zuhur, aku datang ke tempat Wak Darwis mengupas kupang sampai sore. Hasilnya lumayanlah buat nambah beli cabai dan tomat untuk makan sehari-hari,” kata Juriah.

Biasanya kupang yang datang dibawa nelayan berjumlah 300 Kg hingga satu ton setiap harinya. Ia harus berlomba dengan para istri nelayan lain yang juga bekerja di situ. Semakin banyak kupang yang dikupas, semakin banyak perolehan rupiah yang ia dapat dalam satu hari.

Menurut Juriah, jika hanya mengandalkan penghasilan suami dari mencari ikan di laut, tidak akan mencukupi untuk kebutuhan sehari hari.

Apalagi kalau sedang musim angin kencang di laut. Para nelayan tidak bisa memperoleh penghasilan karena tidak bisa melaut. Ia dan sejumlah istri nelayan lain pun mencari pemasukan lain. Termasuk ikut jula-jula harian.

“Satu bulan sekali narik jula-jula lumayan sekali narik Rp300 ribu,” kata Juriah.

Perempuan ini juga mengaku tidak pernah mendapatkan pelatihan keterampilan dari pihak manapun untuk menambah penghasilan keluarga. Sedangkan bantuan dari pemerintah masih ia peroleh dari program keluarga harapan (PKH).

Hanya Tertarik Diberi Umpan

Sementara itu, Yayasan Srikandi Lestari, lembaga swadaya masyarakat yang konsen terhadap nasib nelayan dan petani mengungkapkan, hampir seluruh istri nelayan di Kabupaten Langkat harus bekerja untuk menambah penghasilan suaminya.

“Mau tak mau para istri harus bekerja mencari tambahan penghasilan untuk keluarga, mulai menjadi pembantu rumah tangga hingga berjualan di pasar. Saat ini tidak bisa lagi mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan keluarga nelayan,” ujar Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Mimi Surbakti kepada Mistar, pekan lalu.

Menurut Mimi, kondisi laut yang semakin hari semakin tidak menentu menjadi penyebab utama penurunan pendapatan nelayan.

“Ada banyak sebab berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan, mulai dari pesisir laut yang berubah fungsi menjadi lahan sawit, kerusakan ekosistem hingga merajalelanya kapal pukat harimau di pinggir laut,” kata Mimi.

Pihaknya juga telah beberapa kali mengadakan pelatihan keterampilan kepada istri nelayan. Tujuannya memberikan penghasilan tambahan dalam jangka panjang.

“Kita pernah buat pelatihan pembuatan sirup dari buah manggrove, pengolahan ikan asin, pembuatan tikar jeruju dari daun nipah dan lainnya. Tetapi sebagian besar istri nelayan kita hanya tertarik diberi umpan. Mereka tak tertarik diberi kail. Jadi setiap kali kita buat pelatihan, harus disediakan uang transport. Baru lah mereka mau ikut,” tambah Mimi.

Mimi pun mengimbau para istri nelayan untuk tetap membuka diri dan terus belajar untuk menambah pengetahuan sehingga dapat menambah penghasilan. “Istri nelayan harus menjadi super woman,” ujarnya.

Mimi juga menjelaskan, kondisi nelayan yang kian terpuruk tak bisa terlepas dari peran negara. “Seperti yang kita ketahui, pukat trawl atau pukat harimau seharusnya beroperasi sejauh 12 mil dari bibir pantai. Tetapi saat ini kita melihat, jarak dua mil saja dari bibir pantai, pukat trawl sudah beroperasi. Pernah kami melakukan investigasi di perairan Langkat. Ada lebih dari 200 pukat trawl yang beroperasi di bawah 5 mil laut. Nelayan tradisional kita mau dapat apa?” kata Mimi.

Lebih lanjut menurut Mimi, jika penertiban pukat trawl ini saja bisa dilakukan secara serius oleh pemerintah melalui pihak terkait, otomatis akan dapat menaikkan taraf hidup nelayan di Indonesia. (endang/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN