Monday, September 29, 2025
home_banner_first
SUMUT

Kisah Pedih Nelayan Langkat (1): Laut Luas, Perut Justru Keroncongan

Kamis, 14 Agustus 2025 19.48
kisah_pedih_nelayan_langkat_1_laut_luas_perut_justru_keroncongan_

Dua nelayan di Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat yang sedang memilah hasil tangkapannya. (foto: endang/mistar)

news_banner

Langkat, MISTAR.ID

Di daerah pesisir Kabupaten Langkat, laut tak lagi menjanjikan kemakmuran bagi ribuan nelayan tradisional. Meski Selat Malaka dan Laut Andaman menyimpan kekayaan hayati melimpah, sebagian besar nelayan di kawasan itu, justru hidup dalam lingkar kemiskinan turun-temurun. Mereka terjepit di antara modal melaut yang mahal, permainan harga ikan, hingga ekosistem laut yang kian rusak.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Tajruddin Hasibuan, jumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di Kabupaten Langkat lebih dari 21 ribu jiwa.

Mereka mayoritas merupakan nelayan tradisional yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 571, yakni Selat Malaka dan Laut Andaman.

“Nelayan di Langkat menghadapi beragam tantangan, baik di darat maupun saat melaut. Di darat, mulai akses tempat tinggal yang masih terkesan kumuh. Mereka selalu diklasifikasikan pemerintah dalam bagian dari masyarakat kurang mampu atau miskin, bahkan tidak memiliki tempat tinggal," kata Tajruddin, Jumat (8/8/25).

"Di kampung nelayan juga selalu ditemui rumah tempat tinggal nelayan yang dihuni lebih dari satu kepala keluarga. Kemiskinan seakan menjadi takdir turun-temurun yang harus diterima keluarga nelayan di Langkat,” imbuhnya.

Lebih lanjut kata Tajruddin, di darat nelayan kerap tidak mendapatkan BBM bersubsidi yang saat ini semakin dibatasi oleh pemerintah.

“Untuk mendapatkan BBM bersubsidi sulit. Akibatnya, sebagian besar nelayan harus pasrah membayar dengan harga tinggi melalui para tauke, tengkulak, serta ijon. Praktik ini seolah sudah lazim. Ketersediaan BBM untuk melaut memang tetap ada, namun harus membayar dengan harga di atas harga subsidi,” kata Tajruddin.

Sementara itu saat melaut, nelayan tradisional di Kabupaten Langkat harus berhadapan dengan persaingan tinggi. Apalagi wilayah pengeloan perikanan 571 sudah over fishing atau kegiatan penangkapan ikan terlalu padat.

“Belum lagi persaingan terhadap alat tangkap ikan yang merusak (trawl) yang mencuri hasil laut di wilayah Kabupaten Langkat. Kemudian kehilangan ekosistem mangrove akibat konversi yang tak lagi menjadi prioritas pemerintah untuk mengembalikan fungsi ekosistem mangrove. Cuaca ekstrem dan perubahan arah angin menyebabkan nelayan juga sulit melaut, terutama pada musim pancaroba dan kemarau panjang,” kata Tajruddin.

Nelayan di Langkat, menurutnya, masih menghadapi beragam problema untuk menaikkan taraf kesejahteraannya. Untuk itu DPP KNTI berharap adanya program atau terobosan dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk membantu nelayan kelompok yang selama ini menjadi tulang punggung negara, yang seharusnya menikmati kesejahteraan.

“Asuransi nelayan adalah salah satu terobosan pemerintah untuk membantu nelayan dan keluarganya. Dari 21 ribu lebih nelayan di Langkat, hanya sekitar 7.600 nelayan nelayan di Kabupaten Langkat yang tercover dalam asuransi ketenagakerjaan. Artinya hanya 30% dari jumlah nelayan. Dengan tercover asuransi, mereka sepatutnya dapat tenang menjalani aktiftasnya mencari ikan di laut,” katanya.

Tajrudin juga menjelaskan, khusus untuk nelayan di Pangkalan Susu, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dianggap sangat merugikan nelayan.

“Kegiatan bongkar muat batu bara per 15 hari untuk keperluan bahan bakar PLTU Pangkalan Susu, dapat merusak ekosistem laut karena debu, zat berbahaya seperti logam berat dan zat kimia yang tercecer ke laut. Belum lagi limbah dari PLTU itu sendiri,” ujar Tajrudin.

Tajrudin menambahkan, seharusnya banyak kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk membantu nelayan. “Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pertambangan migas yang merusak ekosistem pesisir dan laut," sebutnya.

"Pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan kawasan manggrove. Kemudian pemerintah harus menjamin nelayan mudah untuk mendapatkan BBM bersubsidi sebagai bahan bakar untuk melaut. Yang terpenting, memfasilitasi nelayan untuk mendapat asuransi dan harga pasar yang terjamin,” tutup Tajruddin.

Pemerintah Harus Serius

Senada, Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) turut mendesak pemerintah serius memperhatikan nasib para nelayan tradisional.

Hal itu disampaikan ketua PNTI Sumatera Utara, Adhan Nur, menyikapi kondisi nelayan tradisional di Kabupaten Langkat. Menurutnya, selama ini pemerintah masih setengah hati memperhatikan nasib nelayan tradisional.

"Padahal nelayan merupakan garda terdepan ketahanan pangan nasional. Sama halnya seperti petani," kata Adhan.

Lebih lanjut menurut Adhan, perhatian pemerintah kepada nelayan tradisional hanya seadanya. "Kalaupun ada bantuan kepada nelayan, hanya sekali dua kali. Setelah itu tak ada lagi. Itu pun hanya sedikit nelayan yang memperolehnya. Pelatihan dan pemberdayaan keluarga nelayan pun minim. Perlindungan untuk nelayan juga seperlunya," kata Adhan.

Untuk itu, PNTI Sumut mendesak pemerintah untuk membuat terobosan dan karya nyata untuk membantu nelayan. "Contoh nelayan kita asal Brandan dan Sergei yang ditangkap Malaysia beberapa waktu lalu karena dianggap masuk wilayah laut mereka. Harusnya kejadian ini tidak terjadi jika ada petugas kita yang berpatroli di perbatasan, membela nelayan kita saat akan ditangkap pihak Malaysia. Itu baru serius," katanya.

"Kemudian ada program pembuatan terumbu karang dan rumpon laut oleh pemerintah. Mana ada hasilnya saat ini? Program itu dibuat asal jadi alias tak sesuai. Terumbu karang buatan itu terbawa arus laut. Rumpon laut tak berkembang setelah dibuang ke dasar laut," katanya lagi.

PNTI menilai, harusnya ada ketegasan dari pemerintah dan keadilan bagi nelayan di laut dan di darat. "Masalah pukat trawl saja sampai sekarang tak tuntas-tuntas. Kalau pemerintah tegas, yang melanggar ditertibkan. Pasti berpengaruh kepada nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana," kata ketua KNTI Sumut itu.

PNTI Sumut juga berharap di era kepemimpinan Prabowo sebagai Presiden Indonesia, dapat memberikan perhatian serius kepada kalangan nelayan, khususnya nelayan tradisional.

Meminjam Uang

Apa yang disampaikan pengurus KNTI dan PNTI soal kondisi nelayan di daerah Langkat, bukan isapan jempol belaka.

Dari penelusuran Mistar di Kecamatan Babalan dan Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, para nelayan di daerah ini umumnya mencari ikan di laut dengan menggunakan perahu ukuran sedang.

Sekali melaut, biasanya memakan waktu dua hari hingga satu pekan dengan jumlah kru empat atau lima orang dalam satu perahu.

“Sebelum melaut biasanya para nelayan akan membeli kebutuhan untuk melaut. Mulai dari kebutuhan makanan dan air bersih, es batu hingga bahan bakar solar,” kata Khairil, salah seorang pengepul ikan atau tauke.

Para nelayan tradisional pun biasanya meminjam sejumlah uang untuk membeli kebutuhan tersebut kepada tauke.

“Untuk nelayan yang pergi melaut dua hari biasanya kita kasih modal Rp3 juta. Kalau satu pekan di laut biasanya para nelayan meminjam modal Rp8 juta ke kita,” kata Khairil.

Saat para nelayan kembali pulang dari laut, semua hasil tangkapan akan dijual kepada tauke. Barulah setelah itu hitung-hitungan berapa modal dan berapa sisa untuk para nelayan.

“Setelah dipotong modal, sisa penjualan hasil tangkapan dibagi 30-40 persen untuk pemilik kapal, barulah kemudian untuk tauke dan nelayan yang ikut melaut,” ujarnya.

Khairil (kiri) salah satu pengepul ikan di Pangkalan Brandan Kabbupaten Langkat. (foto: istimewa)

Tak Selamanya Mencukupi

Tak selamanya hasil perolehan ikan nelayan mencukupi untuk mengembalikan modal nelayan melaut.

“Contohnya hari ini ada perahu yang baru pulang melaut mencari ikan selama satu pekan. Krunya lima orang. Hasil penjualannya cuma dapat Rp4 juta, sedangkan modal untuk melaut Rp8 juta. Modal saja gak balik, terpaksa nelayan terutang,” ungkap Khairil.

Penjualan ikan dan hasil laut lainnya dari perairan Langkat tidak hanya dijual di pasar tradisional di sana saja. Ikan, udang, cumi-cumi dan hasil laut lannya juga dijual hingga ke Kota Medan dan kota lainnya di Propinsi Aceh.

“Untuk penjualan hasil laut ke luar kota seperti ke Medan hingga ke kota-kota di Aceh selama ini tidak ada kendala,” kata Khairil.

Sebagai pengepul ikan dan hasil laut lainnya di kawasan desa nelayan, Khairil hanya berharap pemerintah memberi bantuan berupa pengadaan terumbu karang sebagai tempat bermain ikan.

“Saat ini terumbu karang di perairan Langkat sudah rusak. Pemerintah pernah membuat terumbu karang buatan, tapi tidak berhasil. Terumbunya hilang terbawa arus atau tidak jadi terumbu setelah dibuang ke dasar laut. Dengan menjaga terumbu laut keberadaan ikan akan selalu ada,” kata Khairil.

Keberadaan ikan laut dalam beberapa bulan terakhir di sejumlah pasar tradisional di Sumatera Utara sangat minim. Kalaupun ada harganya naik drastis dibanding harga normal.

Di pasar tradisional Pasar Baru Stabat, Kabupaten Langkat misalnya. Harga ikan gembung yang biasanya Rp25 ribu, melonjak menjadi Rp40 ribu.

Ikan pari yang biasanya dijual Rp35 ribu, naik menjadi Rp50 ribu per kilogramnya. Begitu juga dengan ikan tongkol yang biasanya hanya dijual Rp45 ribu per kilo, melonjak menjadi Rp65 ribu per kilonya.

Para penjual di pasar mengaku kenaikan harga ini akibat minimnya hasil tangkapan nelayan karena cuaca buruk di laut. Menurut Khairil, kenaikan harga ikan tidak semata mata dipicu oleh cuaca buruk di laut.

“Memang cuaca paling menentukan penghasilan nelayan dan harga ikan di pasaran. Namun harga di pasaran juga mempengaruhi harga ikan yang diperoleh nelayan," jelasnya.

Contohnya, jika nelayan baru pulang dari laut membawa hasil ikan tongkol sebanyak 100 kilogram, mereka maunya ikan tersebut dijual seharga Rp30 ribu per kilonya. Padahal di pasar saat ini harga ikan tongkol hanya Rp25 ribu per kilonya.

"Mana mungkin kita beli dari nelayan harga segitu, sedangkan harga tolak kita lebih rendah. Jadi kalau di pasar harganya segitu, kita beli dari nelayan sedikit di bawahnya,” kata Khairil.

Khairil menjelaskan, mulai akhir Juni hingga awal Agustus ini, sedang terjadi musim tenggara. Saat itu para nelayan akan kesulitan mencari ikan.

“Angin di permukaan laut ke timur, tetapi arus air laut ke barat. Itulah disebut musim angin tenggara. Nelayan sulit mendapatkan ikan,” sebutnya.

Biasanya jika tangkapan sedikit, harga ikan pun akan mulai naik. Sebaliknya jika tangkapan membludak, harga ikan pun murah. (endang/hm24)


REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN