Ketika Kebun Teh Sidamanik Diganti Sawit (1): Warga pun Melawan!

Sejumlah warga sedang berwisata ke Kebun Teh Sidamanik di Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Rencana PTPN IV mengkonversi tanaman teh ke kelapa sawit mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. (foto:roland/mistar)
Simalungun, MISTAR.ID
Suara penolakan dari lereng-lereng Kebun Teh Sidamanik di Kabupaten Simalungun kian lantang. Bukan hanya karena kekhawatiran akan hilangnya agrowisata atau rusaknya ekosistem, tetapi karena warga merasa ditinggalkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut tanah kelahiran mereka. Ketika daun teh berganti sawit, bukan hanya bentang alam yang berubah, tapi juga nasib masyarakat setempat.
Salah seorang warga Sidamanik, Agus Siagian, dengan tegas menyuarakan kekhawatirannya atas rencana PTPN IV Kebun Teh Sidamanik mengubah kebun teh Bah Butong, khususnya di Afdeling III dan VII, menjadi perkebunan sawit.
"Lagian kalau mau dikonversi, kenapa harus tanaman sawit? Sawit itu bukan tanaman yang ramah lingkungan. Malah bisa merusak kesuburan tanah dan memicu banjir," ujar Agus, Jumat (25/7/2025).
Menurut Agus, kebun teh sudah sejak lama menjadi ciri khas Sidamanik dan menjadi penyangga ekosistem kawasan, serta menjadi lokasi agrowisata. Ia menilai perubahan fungsi lahan akan membawa dampak buruk bagi warga sekitar.
Agus juga menyoroti potensi hilangnya identitas kawasan Sidamanik sebagai salah satu destinasi wisata perkebunan teh di Sumatera Utara (Sumut).
Menurutnya, pengembangan wilayah semestinya tetap mempertahankan karakter khas sebuah daerah, tanpa mengorbankan lingkungan dan kenyamanan warga.
"Kami warga tidak pernah diajak bicara soal rencana ini. Tiba-tiba sudah ada aktivitas pembukaan lahan. Ini tidak adil. Kami akan terus menolak," katanya.
Penolakan dari warga disebutnya tidak akan berhenti sampai pemerintah daerah dan PTPN IV menghentikan seluruh proses konversi. Warga pun siap menggalang dukungan lebih luas.
Sebelumnya, pada wal 2023 lalu, pihak PTPN IV Kebun Teh Sidamanik telah mulai melaksanakan program konversi tanaman teh ke sawit di areal kebun Bah Butong. Luas lahan yang dikonversi mencapai 257 hektare.
Saat itu, program konversi tanaman tersebut menuai protes keras dari Aliansi Masyarakat Sidamanik, yang di dalamnya juga tergabung warga Tiga Bolon Pane dan Bahal Gajah.
Masyarakat menolak konversi tanaman tersebut karena khawatir dampak yang bakal terjadi ketika tanaman teh di Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, seluruhnya diganti menjadi tanaman kelapa sawit.
Perlawanan itu juga mendapat dukungan dari sejumlah elit politik di Sumut. Namun sayang, program konversi tanaman itu tetap berjalan dan sudah terealisasi 100 persen.
Belakangan, Kekhawatiran warga di sana akhirnya terjadi ketika hujan deras turun. Sejumlah rumah di Huta Tiga Bolon Pane, Nagori Tiga Bolon, Kabupaten Simalungun terendam banjir besar.
Padahal sebelumnya ketika kawasan PTPN IV Sidamanik masih berstatus kebun teh, kawasan tersebut hampir tak pernah terendam banjir.
“Puluhan tahun tidak pernah seperti ini, melihat aja sampai saluran airnya tak sanggup menampung,” kata warga setempat, B Simanjuntak kepada Mistar, Selasa (19/9/2023) silam.
Tak hanya kebanjiran, saat musim kemarau tiba, lahan pertanian pun mengalami kekeringan karena berkurangnya debit air. Kondisi itu mulai terasa berselang dua tahun setelah pergantian tanaman. Lahan pertanian di sejumlah nagori yang ada di Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun, mulai kekurangan air.
Seperti di Dusun Manik Silau Nagori Tiga Bolon. Saluran irigasi yang biasanya dipenuhi atau dialiri air yang cukup deras, mulai mengering.
Kepala Dusun Manik Silau yang saat itu dijabat Andi Tindaon menjelaskan, keringnya aliran irigasi di dusunnya itu sebelumnya tidak pernah terjadi. Namun setelah ada perubahan tanaman teh ke tanaman sawit di area Bah Butong Sidamanik, debit air semakin berkurang.

Banjir di Panei Tongah tahun lalu akibat konversi tanaman teh ke kelapa sawit. (foto:dokistimewa/mistar)
Belajar dari Kebun Marjandi
Penolakan warga terhadap rencana konversi kebun teh milik PTPN IV di Sidamanik, merujuk pada pengalaman pahit di Kecamatan Panei Tongah, tepatnya di kawasan eks Kebun Teh Marjandi yang lebih dulu dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
Alih fungsi tersebut terbukti membawa dampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan warga di sana. Sejak kebun teh digantikan sawit, wilayah Panei Tongah kerap dilanda banjir setiap kali hujan deras mengguyur kawasan itu. Air meluap ke permukiman dan merusak sejumlah fasilitas umum, termasuk infrastruktur jalan dan jembatan.
"Masih tetap banjir kalau hujan deras. Memang tidak seperti dulu lagi, tetapi kalau deras dan durasi sampai sejam, pasti banjir Panei Tongah Bawah," kata Heri Nainggolan, warga setempat, Selasa (29/7/2025).
Tak hanya merusak infrastruktur, banjir juga sempat menghantam areal lahan pertanian warga yang menyebabkan kerugian bagi petani yang mengandalkan hasil panen sebagai sumber utama penghidupan.
Jika belajar dari Marjandi, konversi kebun teh ke sawit terbukti membawa dampak jangka panjang yang merugikan, tentunya Sidamanik tidak ingin mengalami nasib serupa.
DPP Himapsi Menolak
Tak hanya masyarakat setempat, Dewan Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (DPP Himapsi) juga meminta rencana tersebut dibatalkan karena merusak lingkungan dan identitas budaya Simalungun.
Baca Juga: DPRD Simalungun Baru Lanjut Bahas Ranperda Tertunda dan Pengembangan Pariwisata Kebun Teh Sidamanik
"Pengalaman buruk konversi serupa di Kebun Marjandi, Panei Tongah, justru menyebabkan banjir bagi masyarakat sekitar. Ini menjadi bukti nyata kalau dampaknya sangat merugikan," ujar Ketua Umum DPP Himapsi, Dian G. Purba, Senin (14/7/2025).
Menurutnya, keberadaan kebun teh di Simalungun bukan hanya soal ekonomi. Tetapi sudah melekat secara historis dan simbolik dalam jati diri masyarakat.
"Perubahan ini bukan hanya soal bisnis. Ini soal keberpihakan. PTPN IV sebagai BUMN seharusnya punya nurani dan menghormati warisan sejarah, serta perjuangan leluhur Simalungun," kata Dian.
Sekretaris DPP Himapsi, Jheny Saragih, menambahkan konversi kebun teh ke sawit juga berpotensi mengganggu keasrian alam Sidamanik yang selama ini dikenal dengan kesejukan udaranya.
Padahal, Kebun Teh Sidamanik merupakan penyangga ekowisata Danau Toba. "Jika hanya mengejar keuntungan bisnis, PTPN IV berarti mengabaikan program strategis nasional dalam pengembangan sektor pariwisata. Ini jelas kontradiktif dengan semangat peningkatan kesejahteraan rakyat melalui agrowisata," ujar Jheny.
Sebagai bentuk perlawanan, DPP Himapsi sudah melayangkan surat resmi ke Kantor Regional II PTPN IV tertanggal 10 Desember 2024 dengan Nomor 31/DPP-HIMAPSI/XII/2024, yang berisi empat tuntutan utama.
Pertama, menolak konversi kebun teh menjadi perkebunan kelapa sawit di wilayah HGU PTPN IV. Kedua, menuntut penghentian penambahan atau perubahan tanaman di wilayah HGU Kebun Teh Sidamanik.
Ketiga, mendesak PTPN IV bertanggung jawab atas segala kerugian masyarakat akibat dampak konversi. Keempat, menegaskan Kebun Teh Sidamanik sebagai ikon Kabupaten Simalungun yang wajib dijaga melalui pengembangan agrowisata dan dukungan terhadap sektor pariwisata Danau Toba.
Himapsi juga menekankan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menjaga kearifan lokal. Kementerian BUMN didesak mengevaluasi ulang seluruh aktivitas perkebunan milik negara di wilayah Simalungun.(indra/hm16)
PREVIOUS ARTICLE
Albert Rismawanto Saragih Dilantik sebagai Pj Sekda Simalungun