Sunday, July 13, 2025
home_banner_first
SIANTAR SIMALUNGUN

Akademisi: Calon Jaksa Tak Punya Wewenang Lakukan Tindakan Represif

journalist-avatar-top
Jumat, 11 Juli 2025 15.14
akademisi_calon_jaksa_tak_punya_wewenang_lakukan_tindakan_represif_

Akademisi Universitas Simalungun, Dr Muldri Pasaribu. (f: indra/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Akademisi Universitas Simalungun, Dr Muldri Pasaribu, menegaskan calon jaksa (cajak) tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan represif, termasuk pengejaran dan penangkapan terhadap tahanan yang melarikan diri.

Pernyataan ini disampaikan Muldri, menyusul insiden meninggalnya calon jaksa Kejaksaan Negeri Simalungun, Reynanda Ginting, yang tenggelam saat diduga mengejar tersangka buron kasus korupsi di Sungai Asahan.

Menurut Muldri, peran calon jaksa selama masa pendidikan dan magang adalah sebagai peserta pembelajaran, bukan sebagai pelaksana tindakan hukum.

“Calon jaksa bertugas mengikuti pendidikan dan magang untuk memahami sistem penegakan hukum. Mereka boleh mendampingi dalam kegiatan penyelidikan hanya sebagai observer di bawah pengawasan jaksa senior,” ujarnya, Jumat (11/7/2025).

Ia menambahkan, keterlibatan calon jaksa dalam kegiatan lapangan hanya sebatas pada fungsi administratif, seperti pencatatan, dokumentasi, dan pengamatan proses hukum. Mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan langsung, apalagi tindakan represif seperti penangkapan.

“Kewenangan mengejar, menangkap, dan mengamankan tahanan adalah tugas jaksa fungsional atau petugas pengawal tahanan yang telah diberikan otoritas resmi,” kata Muldri.

Kalaupun seorang calon jaksa ikut dalam situasi pengejaran, hal tersebut, menurutnya, mungkin terjadi sebagai reaksi spontan dalam kondisi darurat. Namun, tindakan seperti itu tetap berada di luar batas kewenangan formal dan berisiko secara hukum maupun keselamatan pribadi.

Muldri juga menegaskan perintah dari atasan sekalipun tidak dapat membenarkan tindakan melanggar hukum oleh calon jaksa. “Seorang calon jaksa punya hak menolak perintah yang bertentangan dengan hukum. Itu adalah bentuk profesionalisme,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan jika terbukti ada perintah dari atasan yang menyebabkan insiden fatal atau kerugian, maka pihak pemberi perintah berpotensi dikenai sanksi administratif, etik, hingga pidana, terutama jika terdapat unsur kelalaian berat atau kesengajaan.

“Jika akibat dari perintah tersebut terjadi kecelakaan, luka, atau bahkan kematian, maka atasan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” tuturnya. (gideon/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN