Tuesday, October 28, 2025
home_banner_first
OPINI

Sebutlah Soeharto Apa Adanya

Mistar.idSelasa, 28 Oktober 2025 14.03
journalist-avatar-top
sebutlah_soeharto_apa_adanya

Foto Soeharto semasa muda. (foto: istimewa/mistar)

news_banner

Ditulis oleh Bersihar Lubis

Soeharto telah menjadi sejarah masa silam. Mustahil bangsa ini pulang ke masa-masa sebelum ia meninggal dunia pada 27 Januari 2008 lalu. Apalagi ke kurun semasih ia berkuasa, sebelum lengser keprabon pada 21 Mei 1998 lampau.

Apakah yang dapat kita lakukan ketika kini Kementerian Sosial mencalonkan sekaligus menabalkan sosok Soeharto menjadi pahlawan nasional, bersama 40 tokoh lainnya?

“Dia membuat petani gabah makmur, dan Indonesia sempat swasembada pangan,” kata seseorang. Posyandu, gizi balita, dan makanan sehat bagi kaum ibu pernah sukses. Busung lapar tak terdengar. “Pak Harto batuk saja, Indonesia aman,” kata yang lain.

“Di masa beliau, berbagai proyek besar seperti Waduk Kedungombo dibangun,” celutuk seorang petani. Rupiah stabil, padahal pada 1965–1966 sempat inflasi 600%. Kemudian, Indonesia menjadi “macan Asia” dengan pertumbuhan ekonomi mengagumkan.

“Tapi, bagaimana dengan pembunuhan orang-orang Komunis pada 1965–1966?” cetus sejarawan. Apa kabar kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung, Aceh, Papua, dan sebagainya? Masih ada petrus alias penembakan misterius, penculikan mahasiswa, dan lainnya. Bahkan, sukses ekonomi di masa Orde Baru juga telah melahirkan berbagai kasus KKN.

Sejumlah sejarawan dan masyarakat sipil pun mengkritik usulan gelar pahlawan nasional tersebut. Sejarawan UGM Sri Margana kepada pers, Senin, 27 Oktober, mengatakan seorang pahlawan nasional menurut definisi undang-undang tidak boleh cacat moral dan politik sepanjang hidup.

"Aneh kalau misalnya seseorang mendapat gelar pahlawan pada saat yang sama, dia dianggap sebagai pemimpin sebuah rezim yang melakukan pelanggaran HAM berat," imbuhnya.

Sejarawan Andi Achdian mengatakan beberapa argumen yang dipakai dalam pengusulan itu adalah Soeharto berperan besar dalam pembangunan.

Ia menyebut pembangunan yang dilakukan Soeharto mengandalkan utang.

"Beban pembangunan ini kan dengan utang. Itu kan utang dan runtuh pada 98 sudah terbukti karena kita berutang banyak, negara kita masuk dalam krisis," katanya.

Ruslan Abdulgani pernah menyebutkan bahwa Bung Karno adalah tokoh yang besar. Perjuangan, penderitaan, jasa, dan kesalahannya sama-sama besarnya. Barangkali, demikian juga dengan Pak Harto.

Tetapi jika kita memuja-muji dan menghujat belaka, dengan seluruh argumentasi dan beberan fakta hanya akan melahirkan pro dan kontra tak kunjung usai.

Tatkala situasi dan kondisi budaya, sosial, dan politik berubah, selalu membuat ide, penilaian, dan tafsir sejarah muncul dalam berbagai versi. Pak Karno dulu juga dihujat, tapi belakangan dikenang dengan manis.

Rekonsiliasi

Jika gambaran yang objektif tercapai, alangkah indahnya. Tapi, mungkinkah? Hari-hari ini saja, pasca-Soeharto, berbagai kesan telah mencerminkan ide, visi, dan tafsirnya sendiri, hatta muncullah catatan yang heterogen yang dipengaruhi oleh suasana zaman. Sayangnya, Soeharto telah pergi, sehingga tak sempat menjawab pro dan kontra itu.

Tapi memang banyak yang tak “sempat” di negeri ini. Siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti, huru-hara masif 13–14 Mei 1998, Semanggi I dan II, santet Banyuwangi, kerusuhan Poso dan Ambon, rasanya masih mengawang-awang.

Tak heran jika aktivis sipil dan ‘98 menolak nama Soeharto termasuk 40 nama yang diusulkan Kemensos kepada Dewan GTK untuk dijadikan pahlawan nasional.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, "Upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998. Reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo.

"Soeharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan reformasi. Oleh karena itu, menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari reformasi itu sendiri," imbuhnya.

Berbagai kelompok masyarakat sipil pun menolak usulan Kementerian Sosial tersebut.

Terlalu banyak bengkalai sejarah. Bahkan, bangsa ini lalai sehingga kasus Soeharto pun urung dituntaskan pada kurun 1998 hingga 2008. Namun, apakah keberhasilan dan kesalahan Soekarno dan Soeharto pada zamannya merupakan kerja individual atau tim? Jika diverifikasi, jangan-jangan kesalahan pemimpin terdahulu, termasuk kenikmatan dan keberhasilannya, ikut dinikmati banyak tokoh, banyak orang.

“Sebutlah diriku apa adanya, jangan dilebih-lebihkan, jangan dikurang-kurangi,” gumam Othello dalam drama Shakespeare.

Sejarah memang kerap seperti itu. Hanya Hayam Wuruk, Gajah Mada, Arjuna, dan Bima yang tercatat. Para pengikut, staf, serta sejumlah orang dalam think-tank-nya dilupakan.

Soeharto juga mewarisi kebobrokan ekonomi dan politik Orde Lama, seperti BJ Habibie hingga SBY mewarisi utang Orde Baru. Bukan cuma manisnya yang dikecap, juga pahitnya. Apa boleh buat, warisan dari pendahulu berada dalam domain bangsa dan negara, dan bukan urusan pribadi. Jadi, menataplah ke depan. Tinggalkanlah kubangan penyanderaan sejarah politik masa lalu.

Barangkali, rekonsiliasi nasional adalah jalan keluar terbaik. Jika melupakan tidak mungkin, memaafkan adalah kemuliaan. Pun, rekonsiliasi nasional bukan hanya di bibir, melainkan melalui sebuah proses yang barangkali bisa disederhanakan, tetapi isi dan maknanya tetap substansial.

Bahkan, lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu adalah monumen politik. Pak Harto tidak dimundurkan oleh sidang istimewa MPR yang tak mungkin, karena gedung DPR/MPR di Senayan sedang diduduki oleh demonstran mahasiswa.

Kala itu, Pak Harto buntu. Gagal membentuk Komite Reformasi dan kabinet reshuffle. Cak Nur menolak duduk di komite itu, walau ditawari. Ia malah meminta Pak Harto mundur, seperti tuntutan mahasiswa. Rupiah terpuruk Rp17.000 per dolar juga ikut merepresi agar Soeharto mundur.

“Kalau Cak Nur yang moderat saja tak mau, tak ada pilihan lain kecuali saya mundur,” kata Pak Harto kepada Quraish Shihab. Dia pun mundur berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, dan BJ Habibie naik menjadi presiden.

Andaikata Pak Harto tak mundur, dia masih terus menjadi presiden hingga 2003. Apalagi TNI kala itu masih mendukungnya, meski situasi kian bergolak. Tapi efek dominonya, Habibie logis tak pernah naik menjadi presiden. Pemilu 1999 pun urung, sehingga kemunculan Gus Dur, Mega, Yudhoyono, Jokowi, dan Prabowo, sulit diduga.

Meskipun sejarah bukan andaikata, tetapi menegasikan sejarah rasanya juga tidak fair. Marilah, menggugah hati nurani masing-masing dengan ikhlas.

Penulis seorang jurnalis yang menetap di Kota Medan

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN