Friday, October 24, 2025
home_banner_first
OPINI

Politik di Meja Makan Menimbang Janji Gizi dan Krisis Pangan Global

Mistar.idJumat, 24 Oktober 2025 12.01
RA
politik_di_meja_makan_menimbang_janji_gizi_dan_krisis_pangan_global

news_banner

Oleh: Elvirida Lady Angel Purba

Di tengah euforia politik dan janji kesejahteraan, makanan menjadi simbol baru kekuasaan. Dari janji makan siang gratis di Indonesia hingga kebijakan sosial di Finlandia dan India, dunia menata ulang arti memberi makan rakyat. Namun, di balik piring yang terhidang, terselip pertanyaan lebih dalam tentang keberlanjutan, keadilan, dan tanggung jawab kita terhadap setiap butir yang tak habis dimakan.

Kebijakan makan gratis selalu memancing perdebatan di antara kepedulian sosial dan kalkulasi politik. Di berbagai negara, program ini hadir dalam beragam rupa dari langkah populis hingga simbol komitmen kesejahteraan.

Di Indonesia, janji makan siang gratis dari Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan internasional. Reuters (2024) menyebutnya sebagai “signature campaign pledge” (janji kampanye utama) yang berpotensi menghabiskan lebih dari 7 miliar dolar AS pada tahun pertama pelaksanaannya. Asia Sentinel menilai kebijakan ini sebagai bagian dari “populist initiatives” (inisiatif populis) bersama janji perumahan dan kesehatan rakyat. Pandangan itu menggambarkan ambivalensi global, apakah ini bentuk pemerataan gizi nasional atau strategi politik yang mahal?

Namun, makan gratis bukan sekadar janji kampanye. Ia bisa menjadi investasi sosial jangka panjang. Anak yang cukup gizi akan tumbuh lebih sehat, fokus belajar, dan berpeluang lebih baik di masa depan. Seperti dikatakan UNICEF dalam laporan 2023, School feeding programs are among the most effective social protection measures to improve children’s well-being and learning outcomes (program pemberian makan di sekolah termasuk di antara langkah perlindungan sosial paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan hasil belajar anak). Biaya besar itu, jika dikelola transparan dan efisien, bukan beban melainkan tabungan kemanusiaan.

India memberikan contoh nyata. Program Mid-Day Meal yang digagas Gubernur Tamil Nadu M. G. Ramachandran pada 1982 sempat disebut a shrewd populist move (langkah populis yang cerdik) oleh The Times of India. Namun riset lanjutan menunjukkan kebijakan ini meningkatkan partisipasi sekolah dan status gizi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Madras Courier bahkan menyebutnya one of the world’s largest and most successful school feeding programmes (salah satu program pemberian makan di sekolah terbesar dan paling sukses di dunia). Populisme, pada titik tertentu, menjadi pintu masuk bagi keadilan sosial.

Berbeda dengan India, Finlandia menjadikan makan siang sekolah gratis sebagai hak sosial universal sejak 1948. Jacobin Magazine menulis, Finland’s free school meals reflect an egalitarian welfare state where children of all backgrounds share the same table (Makan siang gratis Finlandia mencerminkan negara kesejahteraan egaliter di mana anak-anak dari semua latar belakang berbagi meja yang sama). Di sana, makan gratis tidak pernah dijadikan janji politik, melainkan wujud kontrak sosial antara negara dan warganya.

Di Amerika Serikat, kebijakan serupa dinilai pragmatis. Chalkbeat (2023) melaporkan mayoritas warga mendukung makan gratis universal di sekolah karena manfaatnya terasa langsung bagi keluarga kelas menengah. Namun sebagian politisi konservatif menyebutnya beban fiskal dan bentuk government overreach (campur tangan pemerintah berlebihan). Bahkan di negara sekuat AS, makanan masih menjadi medan tarik-menarik ideologi.

Jepang mengambil pendekatan berbeda. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Jepang tahun 2023, sekitar 30 persen pemerintah daerah kini menyediakan makan siang gratis di sekolah, naik tujuh kali lipat sejak 2017. Survei pemerintah menunjukkan 90 persen daerah melakukannya untuk meringankan beban keluarga dan mendorong angka kelahiran. Di negeri yang menghadapi populasi menua, makan gratis menjadi strategi sosial, bukan politik elektoral.

Namun di tengah semangat memberi makan, dunia dihadapkan pada ironi besar. Laporan UNEP (2022) menunjukkan rumah tangga di seluruh dunia membuang lebih dari satu miliar porsi makanan setiap hari, sementara 783 juta orang hidup dalam kelaparan. Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen menyebutnya sebagai a global tragedy of waste (tragedi limbah global). FAO juga memperingatkan, Losing food means land and water have been wasted, pollution created, and greenhouse gases emitted to no purpose (kehilangan makanan berarti tanah dan air telah terbuang, polusi tercipta, dan gas rumah kaca terlepas tanpa tujuan). Sekitar 6 hingga 8 persen emisi gas rumah kaca global berasal dari makanan yang terbuang tiga kali lipat dari seluruh emisi penerbangan dunia.

Di sinilah paradoks muncul. Dunia berlomba memberi makan, tetapi juga gagal menghargai makanan itu sendiri. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan makan gratis justru berpotensi memperparah limbah makanan. Studi Frontiers in Sustainable Food Systems (2021) mencatat bahwa sebagian besar sisa makanan di sekolah berasal dari program makan bersubsidi yang tidak memiliki sistem pengawasan dan distribusi yang efisien.

Namun, masalah itu bukan tanpa jalan keluar. Solusi dimulai dari sistem perencanaan dan pengawasan yang ketat. Pemerintah dapat menerapkan model smart feeding system (sistem pemberian makan cerdas) yang menggunakan teknologi digital untuk memantau jumlah konsumsi, menyesuaikan menu dengan kebutuhan gizi anak, dan menghindari kelebihan pasokan. Sekolah juga dapat bekerja sama dengan bank makanan lokal untuk menyalurkan makanan berlebih kepada keluarga miskin atau panti sosial terdekat.

Selain itu, penting untuk membangun edukasi gizi dan anti-limbah di lingkungan sekolah. Anak-anak perlu diajak memahami bahwa makanan adalah hasil dari kerja panjang petani dan sumber daya alam yang terbatas. Di Jepang, misalnya, program shokuiku, yakni pendidikan makan sadar gizi, terbukti menekan limbah makanan hingga 20 persen. Indonesia dapat mengadopsi konsep serupa dengan melibatkan guru, orang tua, dan komunitas lokal.

Di tingkat produksi, keterlibatan petani kecil harus dijadikan syarat dalam pengadaan bahan pangan. Pemerintah daerah bisa menetapkan kuota minimal bahan yang dibeli dari koperasi tani setempat. Langkah ini memastikan program makan gratis tak hanya menyehatkan anak, tapi juga menghidupkan ekonomi desa. Bila rantai distribusi dirancang dari dapur sekolah hingga sawah petani lokal, maka makanan menjadi simbol kedaulatan bukan sekadar kebijakan konsumsi.

Makan gratis semestinya tidak berhenti pada piring yang penuh, tetapi berlanjut pada ekosistem pangan yang adil, efisien, dan berkelanjutan. Di sanalah letak politik yang sesungguhnya: bukan sekadar siapa yang memberi makan, melainkan bagaimana kita memastikan tidak ada yang kelaparan dan tidak ada yang sia-sia dari apa yang kita makan.

Mungkin di sinilah titik refleksi kita bersama. Bahwa keberhasilan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari banyaknya warga yang kenyang, tetapi dari kebijaksanaan dalam menghargai setiap butir nasi di piringnya.

Referensi

1. Reuters (2024). Indonesia’s Prabowo Faces Budget Scrutiny Over Free Lunch Pledge

2. Asia Sentinel (2024). Indonesia’s Populist Initiatives: Prabowo’s Fiscal Challenge

3. The Times of India (1982). MGR’s Populist Move: Free Meal Scheme Launched in Tamil Nadu

4. Madras Courier (2021). India’s Mid-Day Meal: The World’s Largest School Lunch Program

5. Jacobin Magazine (2020). The Politics of Free Lunch in Finland

6. Chalkbeat (2023). Why Most Americans Support Free School Meals

7. Ministry of Education Japan (2023). Survey on Free School Meals and Local Implementation

8. UNEP (2022). Food Waste Index Report

9. FAO (2023). The State of Food Security and Nutrition in the World

10. Frontiers in Sustainable Food Systems (2021). Food Waste in School Feeding Programs: Challenges and Solutions

11. UNICEF (2023). School Feeding as a Social Protection Tool. **Penulis Alumni Fakultas Seni dan Bahasa UNIMED

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN