Indonesia di Tengah Bara dan Puing Gaza: Antara Diplomasi Kemanusiaan dan Ambisi Global

Ilustrasi TNI memegang senjata (Foto: Istimewa/Mistar)
Ditulis oleh Anwar Suheri Pane
Ketika banyak negara memilih diam di hadapan genosida yang dilakukan Israel, Indonesia justru bergerak. Namun di antara idealisme kemanusiaan dan kepentingan geopolitik, rencana mengirim pasukan TNI ke Gaza bisa menjelma antara diplomasi yang berani — atau ambisi yang berisiko.
Langkah ini bukan hanya ujian bagi politik luar negeri Indonesia, tetapi juga bagi nurani nasional: apakah Presiden Prabowo Subianto tengah menunaikan mandat kemanusiaan konstitusi, atau sedang menapaki panggung geopolitik dunia untuk menegaskan peran baru Indonesia di tengah bara Timur Tengah? Pertanyaan itu kini menggema dari meja diplomasi hingga ruang publik digital.
Bagi dunia Islam — termasuk Indonesia — Gaza bukan sekadar wilayah. Ia adalah simbol penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak serangan brutal Israel yang terus menggempur Jalur Gaza pada 7 Oktober 2024, dunia menyaksikan kehancuran total infrastruktur dan kemanusiaan.
Menurut catatan sekelompok ahli PBB, lebih dari 50 ribu jiwa telah tewas di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak — jumlah ini belum termasuk jasad yang masih tertimbun reruntuhan bangunan.
Rumah sakit dan sekolah bukan lagi menjadi tempat perlindungan yang aman; sebagian besar bahkan berubah menjadi kuburan massal.
Dalam situasi seperti itu, gagasan pengiriman pasukan TNI — meski dalam konteks penjaga perdamaian atau bantuan kemanusiaan — menjadi pernyataan penting: bahwa Indonesia tidak tinggal diam di tengah tragedi kemanusiaan terbesar abad ini.
Pemerintah menyebut rencana ini sebagai “misi kemanusiaan untuk perdamaian”. Namun di baliknya, ada aroma politik luar negeri yang lebih ambisius.
Sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 hingga Sidang Umum PBB, Indonesia telah lama menjadi juru bicara Palestina di forum internasional. Kini, di era Prabowo, diplomasi itu tampaknya bertransformasi dari sekadar wacana menjadi tindakan nyata di lapangan.
Namun tindakan nyata di dunia geopolitik tidak pernah steril dari konsekuensi. Ketika sebuah negara mengirim pasukan ke zona perang, ia juga memasuki arena politik global — di mana kepentingan, aliansi, dan ideologi saling tumpang tindih. Apalagi jika langkah itu dilakukan tanpa mandat penuh PBB, Indonesia berisiko dipandang sebagai aktor independen, penantang dominasi kekuatan Barat.
Kemanusiaan atau Kepentingan Politik?
Kawasan Asia Barat dan Afrika Utara — yang oleh Barat kerap disebut Timur Tengah (istilah yang bersifat Euro-sentris) — selalu menjadi titik api politik dunia. Di satu sisi ada blok Barat yang mendukung Israel; di sisi lain, solidaritas dunia Muslim yang berpihak kepada Palestina.
Di tengah dua arus besar ini, Indonesia berupaya memainkan peran penengah moral — bukan sekutu perang, melainkan pembawa damai. Namun peran itu kini diuji. Jika pasukan TNI benar-benar dikirim, Indonesia bisa meningkatkan posisi tawar di antara negara-negara Islam dan Global South (istilah yang juga kurang tepat karena mencerminkan pandangan Barat), sejajar dengan Turki, Qatar, dan Mesir.
Di sisi lain, langkah itu juga berpotensi memicu tekanan diplomatik dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel, meski secara tidak langsung. Langkah ini menuntut diplomasi berlapis: keras dalam moralitas, namun lentur dalam pergaulan global. Dunia hari ini bukan hanya soal siapa yang benar, tetapi siapa yang mampu menjaga hubungan tanpa kehilangan prinsip.
Isu Gaza selalu menyentuh emosi publik Indonesia. Sejak era Soekarno hingga Jokowi, dukungan terhadap Palestina telah menjadi bagian dari identitas politik bangsa. Maka, ketika Prabowo berbicara tentang pengiriman pasukan TNI, publik menyambutnya dengan gelombang simpati dan kebanggaan nasionalisme.
Tetapi di balik euforia itu, muncul pertanyaan kritis: apakah keputusan ini murni didorong oleh kemanusiaan, atau juga sebagai strategi legitimasi politik di dalam negeri?
Tidak dapat disangkal, isu luar negeri sering menjadi panggung dalam negeri. Langkah heroik di level global bisa menjadi alat konsolidasi politik domestik — memperkuat citra pemimpin yang kuat, tegas, dan berwibawa di mata rakyat.
Presiden Prabowo, dengan latar militer dan karisma nasionalisnya, tentu memahami hal itu. Namun publik tetap berhak bertanya: apakah ini langkah negara yang siap, atau sekadar strategi pencitraan berisiko tinggi?
Ujian Diplomasi dan Nurani Bangsa
Mengirim pasukan ke Gaza bukan sekadar soal niat. Langkah ini memerlukan anggaran besar, logistik kompleks, dan kesiapan politik yang matang. TNI memang berpengalaman dalam misi perdamaian PBB di Lebanon, Kongo, dan Sudan. Namun Gaza adalah wilayah perang aktif, bukan zona pascakonflik.
Risikonya tinggi — baik terhadap keselamatan prajurit maupun stabilitas diplomatik. Selain itu, pembiayaan besar dapat menggerus prioritas domestik seperti pembangunan, pangan, dan subsidi energi. Jika korban jatuh, konsekuensi politik dan moral akan menjadi beban berat bagi pemerintah.
Namun di sisi lain, jika misi ini berhasil dan terkelola dengan baik, Indonesia bisa tampil sebagai negara dengan kekuatan militer profesional berwajah kemanusiaan — sebuah kombinasi langka di dunia modern. Negara-negara anggota OKI hampir pasti menyambut positif langkah ini. Turki, Malaysia, dan Qatar mungkin melihatnya sebagai tanda solidaritas konkret dunia Islam.
Sebaliknya, Barat — terutama Amerika Serikat dan Israel — akan menimbangnya dengan hati-hati. Langkah Indonesia dapat dilihat sebagai tekanan moral terhadap Israel, atau sinyal bahwa dunia Muslim mulai bergerak kolektif di luar struktur Barat.
Jika tidak dikelola dengan diplomasi yang cermat, gesekan politik dan ekonomi hampir pasti terjadi — mulai dari penundaan investasi hingga diplomasi senyap yang menguji hubungan bilateral.
Langkah ini menempatkan Indonesia pada dua jalur sejarah yang berlawanan: jalur idealisme Soekarno, yang membela kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas tanpa kompromi, atau pragmatisme modern yang menjaga stabilitas nasional dan ekonomi dalam sistem global yang kompleks.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia menyatukan keduanya? Menjadi bangsa yang tetap vokal di dunia tanpa kehilangan keseimbangan di dalam negeri?
Dalam politik global, tidak ada langkah tanpa motif. Namun di tengah kepentingan yang saling bertabrakan, nurani bangsa tetap harus menjadi kompas utama.
Jika pengiriman pasukan TNI ke Gaza benar-benar diwujudkan, biarlah keputusan itu berdiri di atas kemanusiaan yang tulus, bukan sekadar simbol politik. Dunia akan menilai bahwa Indonesia bukan hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi berani membawanya dengan tanggung jawab dan keberanian moral.
Dan ketika prajurit-prajurit Garuda menjejakkan kaki di tanah yang berdebu itu, semoga dunia tahu: di tengah bara dan puing Gaza, masih menyala nurani Merah Putih — tanda bahwa kemanusiaan belum mati. (*)
PREVIOUS ARTICLE
Sebutlah Soeharto Apa AdanyaBERITA TERPOPULER



























