Pengusaha Jahat Ancam Kehidupan Masyarakat


BBPOM Medan saat menggerebek pabrik mi mengandung formalin di Kota Pematangsiantar. (f: dok/mistar)
Ditulis oleh Anwar Suheri Pane
Di balik tampilan makanan yang tampak segar dan menggoda, kini tersembunyi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Sejumlah oknum pengusaha jahat tetap nekat menggunakan formalin, bahan kimia pengawet mayat, dalam produk makanan yang mereka jual.
Praktik yang dilakukan oknum pengusaha seperti ini kembali mencuat setelah inspeksi BBPOM menemukan mi mengandung formalin di Kota Pematangsiantar. Selain mi, jenis makanan yang paling sering terkontaminasi antara lain ikan asin dan tahu putih.
Formalin adalah larutan dari senyawa formaldehida. Zat ini lazim digunakan untuk mengawetkan jenazah—bukan makanan. Namun demi meraih untung besar, sejumlah pengusaha jahat tetap nekat menyalahgunakannya.
Penggunaan formalin praktis membuat makanan tampak lebih awet dan segar. Namun, efeknya terhadap tubuh sangat berbahaya. Konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan organ dalam seperti ginjal dan hati, bahkan meningkatkan risiko kanker.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), penyalahgunaan formalin dalam makanan masih ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, terutama menjelang musim liburan atau hari besar ketika permintaan makanan meningkat.
Mirisnya, sebagian masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahaya ini. Banyak warga tergiur harga murah atau penampilan makanan menarik, tanpa menyadari kandungan berbahaya di dalamnya.
Di Pematangsiantar sendiri, kasus penemuan mi berformalin bukan pertama kali terjadi. Pada Januari 2016, polisi menggerebek sebuah rumah tempat produksi mi kuning yang dicampur formalin di Kecamatan Siantar Barat. Dari lokasi, polisi menangkap AH, pemilik usaha, serta menyita 10 goni mi berformalin dan sejumlah barang bukti lainnya.
Kemudian, pada Juni 2017, BBPOM Medan menyita 1,6 ton mi kuning dari sejumlah lokasi di Kota Pematangsiantar.
Selanjutnya, Agustus 2017, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Medan juga menyita sekitar 1,2 ton mi berformalin dari enam toko distributor di Parluasan, Kecamatan Siantar Utara.
Mi tersebut diproduksi di Pematangsiantar dan diedarkan ke berbagai kabupaten di Sumatera Utara, termasuk Toba, Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, dan Sibolga.
Enam tahun kemudian, tepatnya Februari 2023, polisi menggerebek sebuah pabrik mi di Jalan Patimura, Kelurahan Tomuan, Kecamatan Siantar Timur. Dalam penggerebekan, polisi mengamankan lima orang dan beberapa barang bukti, termasuk mi basah yang mengandung formalin dan cairan formalin. Pabrik tersebut memproduksi sekitar 500 kilogram mi per hari.
Teranyar, pada 21 April 2025, BBPOM Medan kembali menemukan mi kuning mengandung formalin di Pasar Dwikora Parluasan. Investigasi mengarah ke sebuah rumah produksi rumahan di Jalan Siatas Barita, Kelurahan Tomuan, Kecamatan Siantar Timur.
Di lokasi tersebut, petugas menemukan 330 kilogram bahan setengah jadi mi, 240 kilogram mi kuning basah siap jual, 15 botol cairan formalin, serta peralatan produksi lainnya. Total nilai barang bukti ditaksir mencapai Rp20 juta.
Meski sudah berulang kali mendapat penindakan dari pihak kepolisian maupun BBPOM, para pengusaha jahat ini seakan tak jera. Patut diduga, keuntungan yang diraih dengan penggunaan formalin untuk pengawetan mi kuning basah jauh lebih menggiurkan dibanding risiko yang mereka hadapi.
Pemerintah kota sendiri seakan tidak bisa berbuat banyak. Dari beberapa kasus penemuan itu, Dinas Kesehatan terkesan hanya memberikan imbauan kepada para pengusaha dan apotek. Padahal, ancaman yang dihadapi adalah kesehatan masyarakat.
Formalin bersifat karsinogenik atau dapat memicu kanker dengan cepat. Selain itu, senyawa aldehid ini juga bisa merusak jaringan organ tubuh. Jika tertelan 30 ml, formalin dapat mengakibatkan kematian cepat.
Berdasarkan aturan, untuk mendapatkan formalin ini memang tidak mudah. Pembeli harus melampirkan surat resmi dari instansi yang diizinkan, seperti klinik, rumah sakit, atau laboratorium, yang menjelaskan untuk kebutuhan apa pembelian senyawa tersebut.
Kalau dilihat dari aturan tersebut, lalu kenapa masih ada saja oknum yang tidak berusaha di bidang medis atau laboratorium bisa mendapatkan formalin?
Melihat kondisi ini, apotek yang menjual formalin juga sepatutnya diperiksa—kepada siapa saja mereka telah menjual bahan tersebut.
Hal ini menjadi urgen untuk mengantisipasi adanya "kongkalikong" antara pengusaha mi jahat dengan pihak apotek.
Bukan tak mungkin juga, surat yang disertakan saat pembelian adalah palsu atau dibuat-buat. Di sini, pihak apotek juga patut dipertanyakan: apakah mereka tidak memverifikasi surat tersebut?
Peran pemerintah sangat dibutuhkan pada posisi ini. Misalnya, dengan memberikan daftar seluruh klinik, rumah sakit, serta laboratorium kepada setiap apotek yang ada di wilayahnya.
Sehingga, ketika setiap orang datang hendak membeli formalin, pihak apotek bisa melakukan verifikasi surat pengantar yang dibawa dengan menghubungi instansi yang mengeluarkannya.
Memang, ini tidak akan 100 persen menghilangkan niat para pengusaha jahat ini. Tapi setidaknya, kebijakan seperti ini bisa lebih mempersempit ruang gerak mereka.
Formalin—meski digunakan dalam beberapa pengobatan kulit—tetap menjadi senyawa yang bisa mengancam jiwa manusia. Untuk itu, selain berharap pada partisipasi masyarakat, pemerintah setidaknya lebih dulu melakukan tindakan antisipatif yang ketat untuk memperkecil risiko penyalahgunaannya.
Pemerintah, pelaku usaha, apotek, dan masyarakat harus bersinergi untuk menghentikan rantai makanan berformalin. Jika tidak, ancaman ini akan terus menghantui meja makan kita. (*/hm17)