Friday, July 25, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Data Pribadi WNI di Kancah Global: Antara Kepentingan Dagang dan Ancaman Kedaulatan Digital

journalist-avatar-top
Kamis, 24 Juli 2025 15.26
data_pribadi_wni_di_kancah_global_antara_kepentingan_dagang_dan_ancaman_kedaulatan_digital

Ilustrasi, Data Pribadi WNI di Kancah Global: Antara Kepentingan Dagang dan Ancaman Kedaulatan Digital. (foto:ai/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Kesepakatan strategis antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang diumumkan pada 22 Juli 2025 melalui dokumen resmi Gedung Putih menyita perhatian luas.

Dari poin kerja sama yang disepakati, salah satu poin paling krusial adalah penghapusan hambatan tarif digital, disertai pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan yurisdiksi yang "memadai" dalam melindungi data pribadi.

Konsekuensinya, data pribadi warga negara Indonesia (WNI) dapat dialirkan ke AS untuk kepentingan komersial. Hal ini menuai respons tajam dari berbagai pihak di dalam negeri, mulai dari pemerintah, parlemen, hingga kelompok masyarakat sipil.

Sorotan Utama: Perspektif Pemerintah

Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa kendali atas data pribadi WNI tetap berada di tangan pemerintah Indonesia.

Ia menambahkan bahwa transfer data dilakukan secara terbatas dan hanya untuk tujuan komersial tertentu, seperti pemantauan bahan kimia berpotensi ganda (contoh: gliserol sawit).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebutkan bahwa transfer data akan dilakukan secara "bertanggung jawab", hanya dengan negara yang dianggap memiliki standar perlindungan data yang sepadan.

Kritik DPR: Privasi Bukan Komoditas

Amelia Anggraini dari Komisi I DPR RI menyatakan dengan tegas bahwa data pribadi adalah hak fundamental warga negara dan tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas dagang.

Ia menuntut pemerintah memastikan bahwa AS memiliki perlindungan yang setara dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia, serta mendorong adanya perjanjian bilateral yang kuat.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menegaskan bahwa kesepakatan internasional terkait data pribadi harus tunduk pada UU PDP. Ia juga menyoroti pentingnya pembentukan lembaga otoritatif independen sebagai pengawas transfer data lintas negara.

Peringatan Kelompok Sipil: Risiko Sistemik dan Potensi Penyalahgunaan

Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi memperingatkan potensi jual-beli data dan praktik profiling tanpa persetujuan, terutama bila data warga Indonesia dikelola di luar yurisdiksi nasional. Ia juga mempertanyakan mekanisme pengaduan lintas negara yang hingga kini belum jelas.

Selanjutnya, Pakar Keamanan Siber yakni Pratama Persadha menekankan bahwa pengalihan data ke luar negeri—terutama ke negara tanpa kontrol otoritas Indonesia—dapat melemahkan kedaulatan digital dan membuka celah bagi penyalahgunaan oleh intelijen atau korporasi asing.

Catatan Kritis: Kesenjangan Regulasi AS vs Indonesia

Amerika Serikat hingga kini belum memiliki undang-undang federal yang komprehensif dalam hal perlindungan data pribadi. Kebijakan mereka tersebar di tingkat negara bagian dan sektor tertentu, seperti CCPA di California dan HIPAA di sektor kesehatan.

Sebaliknya, UU PDP Indonesia (Pasal 56–58) secara tegas mensyaratkan bahwa negara tujuan transfer data harus memiliki perlindungan yang setara. Jika tidak, maka harus disertai mekanisme pengaman seperti binding corporate rules atau persetujuan eksplisit dari subjek data.

Risiko Strategis yang Diidentifikasi Media

- Kehilangan Kendali atas Data Vital

Data strategis seperti informasi kesehatan, keuangan, dan perilaku digital dapat dikuasai oleh entitas asing, mengancam keamanan nasional.

- Ketiadaan Perlindungan Hukum bagi WNI

Yurisdiksi hukum AS menyulitkan warga Indonesia untuk menuntut atau memperoleh keadilan apabila terjadi pelanggaran data.

- Erosi Kedaulatan Digital

Ketergantungan terhadap sistem digital asing dapat melemahkan kontrol Indonesia atas aset digital nasional.

Tuntutan Masyarakat Sipil dan Rekomendasi FKBI

Forum Konsumen Berdaya Indonesia mengusulkan beberapa langkah mitigatif:

- Memastikan kejelasan mekanisme ganti rugi lintas negara bagi korban kebocoran data.

- Pembentukan dewan pengawas independen berbasis multistakeholder.

- Edukasi publik tentang perlindungan mandiri data pribadi, seperti:

* Penggunaan autentikasi multi-faktor dan VPN.

* Audit rutin atas izin aplikasi dan kebijakan privasi.

Proyeksi dan Langkah Selanjutnya

- Finalisasi perjanjian transfer data Indonesia-AS dijadwalkan rampung dalam beberapa pekan.

- Komisi I DPR berkomitmen mengawal kesesuaian kebijakan tersebut dengan UU PDP, termasuk mempercepat pembentukan lembaga pengawas data pribadi yang diamanatkan Pasal 59.

- Diplomasi digital Indonesia sedang diuji: apakah mampu menjaga hak digital warga dalam tekanan globalisasi ekonomi?

Perlu Keseimbangan antara Ekonomi dan Hak Konstitusional

Kesepakatan transfer data pribadi WNI ke AS menghadirkan dilema klasik: antara kepentingan ekonomi dan perlindungan privasi.

Pemerintah mungkin menjanjikan kepatuhan terhadap UU PDP, tetapi keberhasilannya bergantung pada transparansi teknis, lembaga pengawas yang kuat, dan kesiapan sistem hukum. Tanpa itu, data warga berisiko berubah dari "hak konstitusional" menjadi "komoditas geopolitik".

"Kesepakatan dagang tak boleh mengorbankan hak privasi warga. Diplomasi ekonomi harus berjalan seiring dengan perlindungan data pribadi." ujar Tulus Abadi, FKBI

Artikel ini disusun dengan bantuan teknologi AI dan berdasarkan laporan dari Kompas TV, Kompas.com, Media Indonesia, Detik Finance, Bloomberg Technoz, dan Aktual.com, Kamis (24/7/2025). (*)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN