Wednesday, July 16, 2025
home_banner_first
MEDAN

435 Tahun Kota Medan: Kriminalitas Anak Bawah Umur Jadi Tantangan Serius

journalist-avatar-top
Selasa, 15 Juli 2025 21.32
435_tahun_kota_medan_kriminalitas_anak_bawah_umur_jadi_tantangan_serius

Ilustrasi, 435 Tahun Kota Medan: Kriminalitas Anak Bawah Umur Jadi Tantangan Serius. (foto:ai/mistar)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Sejak 1 Juli 2025 lalu kota Medan genap berusia 435 tahun, angka ini tentu sudah tidak muda lagi. Namun masalahan sosial menjadi salah satu permasalahan yang cukup kompleks di Kota Melayu Deli ini.

Salah satunya permasalahannya yakni terkait ketimpangan sosial, yang lebih dominan di kalangan menengah bawah. Selain menjadi salah satu kota tua yang di Sumatera Utara, kota ini juga menjadi kota yang memiliki jumlah jiwa paling banyak di Indonesia.

Masalah kriminalitas, kemiskinan hingga kesenjangan sosial tentunya terjadi di kota. Pada tahun 2024 lalu, mencatatkan namanya sebagai kota yang memiliki kriminalitas tertinggi di Indonesia. Hal itu bukan data semata, dibuktikan dengan slogan-slogan yang ada di kota Medan.

Kalau anak Medan bilang, atau istilah gaul anak medan, yakni "Rayap besi, becak hantu dan pompa medan". Istilah gaul ini tentunya adalah sebuah perwujudan keresahan warga Medan melihat betapa tingginya angka pencurian dan aktivitas penyalahgunaan narkoba di kota ini.

Biasanya, para pelaku kriminal di Kota ini (Medan), tidak hanya menyasar orang dewasa saja, melainkan lebih dominan dilakukan anak di bawah umur.

Penyebab Utama: Keluarga dan Kesenjangan Sosial

Menanggapi itu, Ketua Lembaga Perlindungan Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumatera Utara, Jhon Edward Hutajulu mengatakan, banyaknya anak dibawah yang terlibat dalam kasus kriminal di kota Medan, hal itu dilatarbelakangi karena lemahnya pengawasan dari keluarga.

Edward Hutajulu menyebut, kenapa anak di kota Medan sekarang ini banyak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, geng motor. Dikarenakan perlakuan yang salah, sehingga merujuk kepada undang-undang perlindungan anak.

“Perlakuan yang salah ini dari mana?. Ya dari keluarga, dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Fungsi keluarga saat ini sudah sangat rentan, sebenarnya dia selaku anak itu, harusnya dia merasa terlindungi karena kehadiran keluarga,” tutur Edward Hutajulu, di Kota Medan, Rabu (2/7/2025).

Menurut Edward, faktor awal banyaknya anak di bawah umur yang terlibat dalam berbagai di wilayah Kota Medan, hal itu ditengarai karena lemahnya pengawasan dari orang tua atau keluarga itu sendiri.

Keterangan gambar: Foto udara Istana Maimun yang berdiri di Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (2/7/2025). (foto:adil situmorang/mistar)

Dampak Perceraian dan Pencarian Identitas

Tidak hanya itu, di kota Medan itu sendiri angka perceraian dalam rumah tangga cukup tinggi, sehingga banyak anak yang menjadi korban.

“Mereka ini merupakan korban perceraian dan mereka ini juga tidak mendapatkan perhatian. Sehingga si anak tadi mencari perhatian perlindungan dari luar dari masyarakat, dari lingkungan dan dari kelompok-kelompok yang dibuat oleh anak-anak itu sendiri,” ujarnya.

Kata Edward, anak-anak yang menjadi korban perceraian ini sangat mudah untuk terjerumus dengan hal-hal yang tidak baik. Awalnya, mereka-mereka ini hanya sekedar untuk mencoba, namun lama-lama jadi tergiur.

Banyak Anak Medan Bangga

Menurut Edward, belakangan ini banyak anak muda di Kota Medan merasa bangga memakai kata slogan, “Rayap Besi, Becak Hantu dan Pompa Medan”, karena mereka ingin merasa diakui dan diperhatikan oleh masyarakat.

“Sebenarnya mereka ini mencari perhatian yang sudah tidak didapat dari keluarganya sehingga mereka berkelompok. Karena bagaimanapun, mereka-mereka ini adalah sebagai anak butuh perhatian butuh perlindungan dan butuh kasih sayang,” kata Edward.

Lantaran perhatian dan perlindungan tidak didapatkan dari lingkungan keluarga, maka banyak anak-anak mencari hal itu diluar keluarga.

“Karena orang tuanya sudah tidak peduli lagi dengan kondisi si anak tadi. Sehingga mereka membentuk kelompok yang menyebut mereka sudah mandiri, mereka dewasa sebelum waktunya. Ini merupakan masalah yang sangat rawan di kota Medan ini,” terangnya lagi.

Lanjut Edward, permasalahan ini terus berlanjut karena kurangnya perhatian dari pihak kepolisian, masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak terkait. Dimana masalah yang melibatkan anak-anak ini, tidak selesai jika hanya dikerjakan oleh pihak lembaga perlindungan anak itu sendiri.

“Ini harus tangani secara bersama-sama. Pemerintah juga harus peduli dengan hal ini. Tetapi pemerintah itu kebanyakan datang setelah terjadinya masalah ibaratkan seperti pemadam kebakaran datang setelah kejadian. Mereka tidak membuat pencegahan terlebih dahulu,” tegasnya.

Solusi: Unit Perlindungan Anak di Setiap Wilayah

Edward Hutajulu menyebutkan, guna untuk menyelesaikan permasalah sosial yang melibatkan anak dibawah umur, salah satu solusi adalah. Pemerintah Kota (Pemkot) harus membentuk sebuah unit khusus yang fokus untuk menangani masalah anak di setiap Kelurahan ataupun Desa.

“Sebenarnya fungsi pengawasan terhadap anak itu seharusnya ditempatkan di setiap Kelurahan atau desa. Harusnya di setiap desa itu, harus ada satu unit yang mengurusi masalah anak,” tegasnya.

Nantinya lanjut Edward, unit inilah yang akan memperhatikan setiap perilaku anak, penataan dan pengawasan anak di wilayah desa itu sendiri.

“Anak ini seperti apa?. Anak ini sekolah atau tidak, anak ini jualan setiap harinya di pinggir jalan, dan anak-anak yang suka ngelem. Yang kita tau, unit ini tidak ada, harusnya ini jadi unjuk tombaknya,” sebutnya lagi.

Namun faktanya yang ada di lapangan, pemerintah pusat maupun daerah tidak menerapkan hal ini. Seharusnya, walikota Medan menerapkan ini, sehingga unit ini lebih cepat tanggap, apakah anak-anak dilingkungan dia ini ada gak terindikasi narkoba, tawuran dan sebagainya.

Menurut Edward, kalau solusi ini langsung direspon oleh pemerintah, masalah yang melibatkan anak bisa dicegah lebih baik, bukan malahan setelah terjadi baru dilakukan pencegahan.

Masih Bisakan Diatasi?

Jhon Edward Hutajulu meyakini masalah kriminalitas yang turut melibatkan anak di kota Medan bisa diatasi asalkan dikerjakan secara bersama-sama.

“Ya, masalah ini pasti bisa diselesaikan apabila pemerintah instansi terkait berkolaborasi untuk menangani masalah ini, karena anak-anak ini adalah harapan kita. Generasi penerus bangsa,” terangnya.

Jika anak-anak itu sendiri disuruh untuk berubah dan mereka mengerjakan sendiri, lanjutnya, hal itu tidak bakal bisa selesai.

Belum lagi, kebanyakan keluarga dari anak yang terlibat dalam kasus kriminalitas memiliki dilema sendiri. Seharusnya, pemerintah pusat maupun daerah harus hadir untuk menyelesaikan problem sosial ini.

“Jangan hadir dengan cara memberikan bantuan melalui PKH, Bansos dan segala macamnya. Padahal anak-anak itu butuh perhatian, namun hal itu tidak terjadi,” terangnya.

Selama ini, pemerintah hanya hadir untuk memberikan perhatian terhadap ekonomi keluarga. Tidak dengan si anak itu sendiri. Seharusnya anak-anak ini diberikan pendamping secara psikologis, untuk menekan trauma yang mereka alami dari keluarga.

“Kalau anak-anak yang lahir di keluarga yang ekonominya lemah, harusnya mereka-mereka ini yang perlu kita dukung secara psikologi dan pendidikan, agar kedepannya bisa menjadi pemutus kemiskinan di keluarga itu sendiri. Namun hal ini tidak dilakukan pemerintah,” tuturnya.

Keterangan gambar: Ketua LPAI Sumut Jhon Edward Hutajulu. (foto:matius/mistar)

Sebenarnya salah satu faktor terjadinya masalah adalah dipicu rasa frustasi dari orang tua mereka karena lemahnya ekonomi sehingga berdampak kepada si anak. Alhasil, si anak pun melarikan diri dengan cara yang salah dan bergaul di tempat yang tidak seharusnya ia lakukan.

Namun untuk terjun di dunia luar, si anak harus butuh keberanian. Maka untuk menumbuhkan keberanian tadi, si anak menggunakan narkoba dan zat lainnya untuk menjadi modal utama mereka melakukan kejahatan itu sendiri.

“Sebenarnya jujur, mereka ini nggak berani. Namun karena dorongan narkoba, mereka berani melakukannya. Bapaknya sendiri bisa dilawannya,” ucapnya.

Untuk itu Edward berharap, pemerintah daerah segera mengambil tindakan dan duduk bersama dengan LPAI Sumut untuk membicarakan permasalahan ini.

Penanganannya juga tidak boleh sepihak, menurutnya, harus bergotong-royong. Ia juga berharap pemerintah bisa membentuk unit yang khusus melindungi anak di setiap Kelurahan atau bisa.

“Intinya, kita butuh unit yang betul-betul menangani masalah anak ini sehingga anak-anak ini bisa terselamatkan dari perbuatan-perbuatan tercela. Kita juga meminta pemerintah untuk menurunkan psikolog untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak ini,” ujarnya mengakhiri.

Catatan Redaksi: Tingginya kriminalitas anak di Medan menjadi cermin kegagalan struktur pengawasan keluarga, adanya kesenjangan sosial, dan lemahnya sinergi antarinstansi.

Solusi jangka panjang diperlukan: pemulihan peran keluarga, pembentukan unit perlindungan anak di setiap wilayah, serta kolaborasi pemerintah, sekolah, dan aparat penegak hukum demi menciptakan generasi muda Medan yang aman dan produktif. (matius/hm01/hm27)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN