Klaim Lahan Bukan Kawasan Hutan dan Tak Ada Kerugian Negara, Terdakwa Kasus Korupsi Minta Dibebaskan

PH terdakwa Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, Dedi Suheri (kiri) saat konferensi pers. (Foto: Deddy/Mistar)
Medan, MISTAR.ID
Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, terdakwa kasus korupsi penguasaan dan pengalihan fungsi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, meminta dibebaskan.
Permintaan ini disampaikan Akuang melalui penasihat hukumnya (PH), Dedi Suheri saat konferensi pers di salah satu warung kopi Kota Medan, Selasa (15/7/2025) malam.
"Permohonan kita adalah majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan mengabulkan seluruh nota pembelaan (pleidoi) kami dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan hukum dengan segala akibat hukumnya," katanya.
Menurutnya, kliennya tersebut tidak terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum (JPU).
"Menyatakan batal demi hukum penyitaan barang bukti milik terdakwa. Memulihkan harkat dan nama baik terdakwa seperti semula," tutur Dedi.
Baca Juga: Tiga Terdakwa Kasus Korupsi Koneksitas Eradikasi Lahan di PT PSU Dituntut 18,5 Tahun Penjara
Pertimbangannya, kata Dedi, locus perkara bukan merupakan kawasan hutan, sertifikat hak milik (SHM) belum pernah dibatalkan, perhitungan kerugian negara serampangan, dan penegakan hukum tidak sesuai dengan asas lex favor reo.
"Lahan yang menjadi objek perkara tidak memenuhi syarat sebagai kawasan hutan menurut peraturan perundang-undangan. Penetapan kawasan hutan, menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Cipta Kerja, harus melalui tahapan resmi seperti penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan oleh Menteri Kehutanan," katanya.
Dalam dakwaan dan tuntutan, lanjut Dedi, JPU juga tidak menyebutkan keputusan menteri yang menetapkan secara sah lahan tersebut sebagai kawasan hutan. Sehingga, ia menilai lahan tersebut dikatakan masuk kawasan hutan merupakan tindakan prematur.
"Selain itu, lahan yang dimaksud memiliki Nomor Objek Pajak (NOP) dan telah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang menurut UU tidak berlaku terhadap kawasan hutan lindung, suaka margasatwa, maupun tanah negara yang belum dibebani hak," ujar Dedi.
Ia pun menegaskan kliennya memiliki SHM atas 60 bidang tanah yang dikuasai dan belum dibatalkan atau dicabut oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Langkat atau pihak Kementerian ATR/BPN.
"Seluruh sertifikat tersebut terdaftar secara hukum dan tidak ada satu pun yang dibatalkan. Jika pun terdapat persoalan administrasi, semestinya diselesaikan melalui mekanisme perdata atau tata usaha negara, bukan pidana," ucapnya.
Pihaknya juga mempertanyakan mengapa hanya sebagian SHM milik Akuang yang dipersoalkan. Padahal, dikatakan Dedi, ada sertifikat lain yang terbit sejak tahun 1974 dan 1975 di lokasi serupa, akan tetapi tidak dijadikan objek perkara.
Tak sampai situ, PH juga menyampaikan, perhitungan kerugian negara menurut ahli yang pihaknya hadirkan menerangkan bahwa laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian keuangan negara.
"Sebab, tidak memenuhi ketentuan dalam UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Kerugian yang dimaksud sifatnya asumtif, tidak berbasis data riil, bahkan terdapat penghitungan ganda antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara," tutur Dedi.
Menurut Dedi, seharusnya kasus ini ditangani melalui pendekatan administratif sesuai dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.
"Asas lex favor reo menyatakan, dalam hal ada perubahan atau perbedaan pengaturan hukum, maka yang harus digunakan ialah yang paling menguntungkan terdakwa," ucapnya.
Diketahui, dalam kasus ini, Akuang dituntut 15 tahun penjara, dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh JPU. Selain itu, Akuang juga dituntut untuk membayar uang pengganti (UP) seluruh kerugian negara yang telah dinikmatinya senilai Rp856,8 miliar.
Adapun rincian UP tersebut, yakni kerugian negara sebesar Rp10,5 miliar, keuntungan ilegal Rp69,6 miliar, dan kerugian perekonomian negara Rp787,1 miliar. Maka, total keseluruhan kerugian negara yang tercipta adalah Rp856,8 miliar.
Dengan ketentuan apabila Akuang tidak membayar UP paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah), maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk memenuhi pembayaran UP tersebut.
Namun, dalam hal harta benda Akuang tidak mencukupi untuk pembayaran UP, maka harus dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun dan enam bulan (7,5 tahun). (Deddy/hm18)
PREVIOUS ARTICLE
Tiga Hari Menginap di Polres, Keluarga Sinarta Pulang ke RumahBERITA TERPOPULER


Kapolres Dairi Diminta Segera Tangkap Terduga Pelaku Cabul terhadap Kakak Beradik Anak di Bawah Umur







