Jeritan Rakyat Versus Arogansi DPR: Jalanan Membara di Tengah Krisis Kepercayaan

Aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Sumatera Utara. (foto: ari/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Suara teriakan tuntutan menolak pemberian fasilitas kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap hanya menghabiskan uang negara, sejenak terhenti saat kepulan gas air mata menyeruak ke udara.
Gas yang menimbulkan sensasi terbakar parah, mata berair, kemerahan dan rasa gatal, memukul mundur para pengunjukrasa yang ingin menduduki gedung dewan sebagai bentuk perlawanan kebijakan yang mereka nilai menyengsarakan rakyat.
Suasana pun kacau-balau. Kericuhan antara pengunjukrasa dengan petugas keamanan tak terhindarkan. Anarkisme para pengunjukrasa berbalas arogansi aparat keamanan. Demikian juga sebaliknya.
Tiga hari berlangsung, aksi pun kian memanas. Tak hanya di pusat pemerintahan,tetapi aki penolakan itu menjalar hingga ke daerah. Mereka membawa bendera mahasiswa.
Tuntutan aksi bertajuk “Menggugat DPR:Selusin Tuntutan Rakyat” ini digelar sebagai bentuk protes terhadap praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta kebijakan DPR yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Di Sumatera Utara, massa menghujani aparat dengan batu dan kayu dalam penjagaan yang ketat dari 800 personel. Sejumlah pengunjukrasa menjadi sasaran aparat kepolisian. Baku hantam pun tak terelakan. Korban luka jatuh, baik dari kelompok pengunjuk rasa maupun dari pihak keamanan.
Kapolda Sumut, Irjen Whisnu Hermawan, menyatakan tindakan tegas terpaksa diambil karena massa telah bertindak anarkis dan melewati batas waktu penyampaian pendapat. Sejumlah demonstran ditangkap.

Drs Shohibul Ansor Siregar MSi. (foto: istimewa)
Puncak Kekecewaan Publik Terakumulasi
Pengamat sosial dan politik, Shohibul Anshor, menilai kericuhan yang terjadi dari aksi unjuk fasa di depan Gedung DPR/MPR maupun DPRD di Indonesia dinilai sebagai ledakan akhir dari akumulasi frustasi sosial dan ekonomi masyrakat yang telah menumpuk.
Ia mengatakan, aksi penolakan kenaikan tunjangan anggota dewan hanyalah pemicu dari rangkaian masalah yang lebih kompleks. Sebab menurutnya, kemarahan publik bukanlah fenomena yang instan.
“Aksi ini adalah kulminasi. Pemicunya memang kebijakan DPR yang dianggap arogan, tetapi bahan bakarnya adalah warisan masalah pemerintahan sebelumnya. Ketidakpastian di era baru dan kondisi ekonomi yang masih sulit dirasakan banyak orang,” ujarnya pada Mistar, Rabu (27/8/25).
Ia menjelaskan, transisi dari pemerintahan sebelumnya ke era Presiden Prabowo meninggalkan ketidakselarasan arah bagi masyarakat.
“Pemerintah menyodorkan data makroekonomi yang bagus, tetapi yang dirasakan di level akar rumput adalah tingginya biaya hidup, khususnya pangan dan kerentanan ekonomi. Kesenjangan inilah yang memicu frustasi,” ucapnya.
Mobilisasi Massa
Shohibul Anshori tidak memungkiri adanya unsur mobilisasi masa dalam aksi tersebut. Dia melihat dan menilai fenomena tersebut sebagai kombinasi yang terjadi pada masa aksi.
“Seruan melalui media sosial oleh akun anonim seperti ‘Revolusi Rakyat Indonesia’ jelas ada unsur mobilisasinya. Namun mobilisasi itu tidak akan efektif dan mendapatkan respons massal jika tidak ada ground atau lahan subur berupa kemarahan publik yang sudah nyata dan organik,” katanya.
Selain itu, Anshori juga tidak menafikan tangan-tangan tertentu yang bermain dan mengkonsolidasikan gerakan. “Tentu saja, tak mungkin ditepis adanya tangan tertentu yang bermain untuk tujuan politik tertentu pula. Siapa dan dari mana mereka? Biarlah menjadi urusan orang-orang berkompeten,” ucapnya.
Akademisi FISIP UMSU tersebut menyoroti sikap DPR yang dianggap tidak responsif terhadap berbagai kalangan, termasuk terhadap surat dari Forum Purnawirawan TNI, semakin memperkuat citra negatif lembaga legislatif tersebut.
“Ketika dewan dianggap tuli tergadap aspirasi dari kelompok manapun, termasuk kelompok yang dihormati seperti purnawirawan, maka kepercayaan publik pun semakin merosot. Ini bukan hanya soal uang, tapi lebih pada soal rasa hormat dan kepekaan,” kata Shohibul.
Ia menegaskan, peringatan keras atas peristiwa yang menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan DPR. Pasalnya, kepercayaan publik adalah aset yang sangat mudah menguap.
“Pemerintah tidak bisa hanya berpuas diri dengan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi harus memastikan kebijakannya inklusif dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Introspeksi mendalam, bukan hanya lewat pernyataan, tetapi dengan tindakan nyata yang mereformasi diri dan menunjukkan empati,” ujarnya.

Prof Dr Iskandar Zulkarnain. (foto: istimewa)
Komunikasi Pejabat Perburuk Situasi
Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Iskandar Zulkarnain menilai, kemarahan yang meluas di kalangan rakyat dipicu oleh informasi seperti kenaikan harga kebutuhan pokok dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Rakyat merasa kalau suara mereka tidak didengar dan kondisi ekonomi semakin sulit. Dalam konteks ini, tanggapan dari pejabat dan politikus sering kali tidak memadai dan bahkan bisa memperburuk situasi.
Dr Iskandar menyebutkan rakyat merasa terpinggirkan dan diabaikan. Ketidakpuasan ini sering kali diekspresikan melalui protes lewat unjuk rasa atau media sosial. Kenaikan harga barang pokok, yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, membuat banyak orang merasa frustrasi.
"Dalam banyak kasus, jawaban dari pejabat dan politikus cenderung defensif atau bahkan menganggap enteng situasi. Mereka mungkin tidak menyadari seberapa dalamnya ketidakpuasan ini atau berusaha untuk mengalihkan perhatian dari isu yang lebih besar," ujar Iskandar.
Komunikasi publik yang dilakukan oleh pejabat saat ini sering kali terasa tidak sensitif. Misalnya, aksi joget-joget anggota dewan di tengah isu serius menunjukkan kurangnya empati dan ketidakpahaman terhadap kondisi rakyat.
belum lagi aksi Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio yang dihujat karena parodi dirinya menjadi DJ Sound Horeg. Hal ini dinilai tidak peka terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Kendati setelahnya ia mengklarifikasi.
Hal yang sama juga membuat gerah masyarakat, yakni pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politikus Nasdem ini menuai hujatan dari warganet karena menyebut massa yang menuntut pembubaran DPR sebagai orang tolol sedunia.
Ahmad Sahroni membuat klarifikasi terkait pernyataannya 'orang tolol sedunia' kepada massa yang menuntut pembubaran DPR. Ahmad Sahroni beralasan pernyataan tolol itu bukan untuk publik melainkan kepada para orang yang memiliki pikiran pembubaran DPR.
"Namun ini bukan hanya masalah verbal, tetapi juga nonverbal yang menciptakan kesan bahwa mereka tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat," kata Iskandar.
Komunikasi nonverbal sangat berpengaruh dalam situasi ini. Tindakan seperti joget-joget atau bersenang-senang di tengah masalah yang dihadapi rakyat dapat dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian.
Hal ini semakin diperparah oleh kemudahan akses informasi melalui media sosial, di mana tindakan tersebut cepat menjadi viral dan mendapatkan reaksi negatif.
Komunikasi publik pejabat saat ini perlu ditingkatkan. Mereka perlu lebih responsif dan empatik terhadap situasi yang dihadapi rakyat. Tindakan yang dianggap sepele atau kurang sensitif dan tidak berempati dapat mengakibatkan kebangkitan kemarahan yang lebih besar.
"Pejabat harus berusaha untuk mendengarkan, memahami, dan merespons dengan cara yang lebih konstruktif, agar bisa membangun kembali kepercayaan masyarakat. Bila hal ini dibiarkan, pada akhirnya dapat menimbulkan kemarahan rakyat atau people power dan untrust kepada pemerintah." tegasnya.

Agus Suriadi SSos MSi. (foto: istimewa)
Murni Aksi Keprihatinan
Terpisah, pengamat sosial Agus Suriadi menilai aksi unjuk rasa yang terjadi saat ini mencerminkan suara rakyat yang ingin didengar.
"Saya pikir aksi yang dilakukan saat ini murni aksi keprihatinan terhadap berbagai kebijakan yang dianggap tidak mementingkan masyarakat," katanya.
Namun Agus berharap, dialog dan transparansi antara pemerintah dan masyarakat dilakukan sebagai kunci untuk meredakan ketegangan dan mencapai solusi yang konstruktif.
Selain itu, Agus menanggapi reaksi aparat keamanan yang arogan terhadap Jurnalis di lokasi. Unjukrasa tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
"Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kebebasan pers dan melindungi hak-hak jurnalis agar mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan aman dan efektif," sebutnya.
Reaksi massa, lanjut Agus, sering kali merupakan cerminan dari bagaimana pejabat publik berkomunikasi dan menangani isu-isu yang dihadapi masyarakat. Respons yang tidak peka atau tidak memadai dapat memperburuk ketegangan sosial dan memicu reaksi yang lebih besar dari masyarakat. (ari/mis)