Airlangga Respons Fenomena Rojali: Masyarakat ke Mal untuk Nongkrong, Bukan Belanja

Kondisi terkini Plaza Atrium Senen usai dijual. (foto:cnn/mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, angkat bicara mengenai fenomena "rojali" atau rombongan jarang beli yang tengah terjadi dalam dinamika ekonomi Indonesia.
Istilah "rojali" merujuk pada meningkatnya jumlah pengunjung pusat perbelanjaan, namun hanya sedikit yang benar-benar melakukan transaksi pembelian, bahkan tidak membeli sama sekali.
Menurut Airlangga, saat ini masyarakat lebih sering pergi ke mal untuk makan atau bersantai ketimbang berbelanja barang. Selain itu, pola konsumsi masyarakat kini lebih condong ke belanja saat menghadiri event tertentu.
“Sekarang trennya kalau ke mal itu kebanyakan untuk makan. Itu sudah terjadi sejak beberapa waktu terakhir. Karena itu, banyak mal mulai menambah tenant kuliner,” ujar Airlangga saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (25/7/2025).
Baca Juga: Fenomena Rojali dan Rohana di Pusat Perbelanjaan, Mendag: Konsumen Bebas Pilih Online atau Offline
Pemerintah pun mendorong pusat perbelanjaan agar lebih aktif membuat event-event menarik guna menggerakkan aktivitas ekonomi. “Ini diupayakan pemerintah untuk mendorong agar ada event baru lagi,” tuturnya.
Fenomena "rojali" juga diamati oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA), David Sumual. Ia menilai bahwa perilaku ini paling banyak terlihat pada kelompok masyarakat kelas menengah atas.
“'Rojali' ini memang kelihatan. Di mal-mal, kita lihat orang datang cuma makan, cari diskon, atau nongkrong di kafe. Sekarang juga banyak yang lebih suka belanja di e-commerce,” kata David dalam acara Bank Indonesia Editors Briefing 2025 di Labuan Bajo, Jumat (16/7/2025).
David menjelaskan, kelompok menengah atas masih cenderung menahan konsumsi, padahal mereka menyumbang sekitar 70 persen terhadap total konsumsi rumah tangga nasional.
“Saya bertemu dengan beberapa supplier produk mewah seperti tas dan arloji. Mereka mengatakan situasi ini mirip seperti krisis 2008,” katanya.
Alih-alih belanja, banyak masyarakat kini lebih tertarik memarkirkan uangnya di berbagai instrumen investasi dengan imbal hasil menarik, seperti deposito, Surat Berharga Negara (SBN), emas digital, hingga perhiasan.
“Giro saja ada yang tawarkan bunga 7 persen, apalagi deposito. Instrumen investasi sedang sangat menarik,” ucap David.
Sementara itu, Psikolog Kasandra Putranto menjelaskan bahwa fenomena "rojali" dan "rohana" (rombongan hanya nanya) juga dapat ditinjau dari aspek psikologis.
Menurutnya, kunjungan ke pusat perbelanjaan tak selalu bertujuan untuk membeli barang, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sosial dan aktualisasi diri, seperti berkumpul, rekreasi, atau healing.
“Manusia memiliki lima tingkat kebutuhan: fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri,” kata Kasandra kepada Antara.
Ia menambahkan, banyak orang berpura-pura tertarik membeli sebagai upaya membentuk citra diri di depan pramuniaga, teman, bahkan diri sendiri. Ada pula yang melakukannya demi menjaga harga diri atau menghindari rasa malu karena tidak mampu membeli.
“Kalau sadar tidak mampu beli, tapi tetap berada di lingkungan konsumtif, sering muncul konflik batin. Untuk meredakan perasaan tidak nyaman itu, mereka bersikap seolah-olah ingin membeli,” ujarnya.
Niat membeli pun sering kali gagal terwujud karena faktor kontrol persepsi, norma sosial, atau sekadar kebutuhan identitas sosial. Bahkan, keinginan untuk eksis di media sosial juga dapat mendorong orang untuk sekadar berkunjung tanpa bertransaksi.
Selain karena gengsi dan validasi diri, faktor budaya juga memainkan peran. Dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, banyak orang merasa perlu menghargai tenaga penjual dengan berpura-pura tertarik meski tidak berniat membeli.
Kasandra menyimpulkan jika melihat-lihat atau bertanya tanpa membeli, juga bisa menjadi proses normal pencarian informasi sebelum pembelian (pre-purchase behavior). (**/hm16)