Saturday, July 26, 2025
home_banner_first
BUDAYA

Tuai Kritik, Warga dan Tokoh Minta Event Budaya Jou-Jou Danau Toba Dibatalkan

journalist-avatar-top
Kamis, 24 Juli 2025 13.44
tuai_kritik_warga_dan_tokoh_minta_event_budaya_joujou_danau_toba_dibatalkan

Kepala BI Sibolga, Riza Putera bersama Bupati Samosir Vandiko T Gultom, Wakil Bupati Samosir Martua Sitanggang, Mewakili Pj Gubsu Lasro Marbun, Dandim 0210/TU Letkol Inf. Saiful Rizal, Kajari Samosir Karya Abraham Hutagaol menabuh tagading sebagai tanda dibukanya event Tao Toba Jou Jou X Digifest 2024, Sabtu (20/7/2024) lalu. (foto: istimewa)

news_banner

Samosir, MISTAR.ID

Kegiatan budaya bertajuk ‘Tao Toba Jou-Jou’ yang direncanakan digelar di Kabupaten Samosir pada 25–27 Juli 2025 menuai kritik tajam dari sejumlah tokoh dan masyarakat. Nama acara dinilai tidak mencerminkan nilai luhur budaya Batak, bahkan dianggap berkonotasi negatif dan membingungkan.

Dr Wilmar Eliaser Simandjorang, mantan Penjabat Bupati Samosir, menilai istilah jou-jou kurang tepat dan tidak memiliki relevansi dengan nilai-nilai kearifan lokal. Ia juga menyoroti konsep acara, termasuk kehadiran doorprize, yang dianggap tidak sejalan dengan esensi pelestarian budaya.

“Kegiatan ini sebaiknya ditunda dan dikaji ulang. Budaya bukan sekadar tontonan, tapi harus dihidupi dan dimaknai,” ujarnya.

Wilmar menjelaskan dalam tradisi Batak, jou-jou adalah seruan sakral yang mengandung makna spiritual—bukan sekadar panggilan biasa. “Tao Toba Jou-Jou bukan ajakan biasa. Itu simbol panggilan leluhur agar generasi muda tidak lupa jati diri dan tanah kelahiran,” ucapnya.

Ketua Forum Komunikasi Tokoh Masyarakat (FKTM) Samosir, Obin Naibaho, juga mendesak panitia mengganti nama kegiatan. Menurutnya, dalam percakapan sehari-hari, istilah jou-jou sering diasosiasikan dengan panggilan yang kurang sopan.

“Banyak warga merasa risih. Sebaiknya gunakan istilah yang lebih arif dan membangkitkan semangat pelestarian budaya,” katanya.

Sementara itu, Efendi Naibaho, tokoh masyarakat sekaligus mantan anggota DPRD Sumut, mengkritik waktu pelaksanaan kegiatan yang dinilai tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat yang tengah mengalami kekeringan dan krisis air bersih.

“Jika dananya dari APBD atau APBN, lebih baik digunakan untuk mengatasi masalah air. Kegiatan budaya penting, tapi jangan mengabaikan realitas sosial,” ujarnya.

Efendi juga menilai kegiatan budaya semestinya menyentuh kepentingan masyarakat luas, bukan sekadar seremonial hiburan. “Pelestarian budaya harus punya nilai edukatif dan filosofi, bukan sekadar panggung musik dan joget,” tuturnya.

Sejumlah warga di Pangururan dan Simanindo menyampaikan kebingungan soal makna istilah jou-jou, yang menurut mereka tidak familiar dan tidak langsung mencerminkan tujuan kegiatan. Kritik serupa juga ramai disuarakan di media sosial.

“Kalau mau promosikan budaya Batak, kenapa tidak pakai istilah yang membangkitkan rasa bangga seperti ‘Horas Toba’?” tulis salah satu warganet.

Banyak yang menyarankan agar panitia melibatkan tokoh adat dan budayawan dalam merancang nama serta konsep kegiatan budaya agar lebih bermakna dan tepat sasaran. Efendi bahkan menyarankan agar kegiatan ditunda dan diganti dengan doa bersama memohon hujan, mengingat situasi krisis air bersih yang tengah melanda sejumlah desa.

Ia juga menyinggung kurangnya transparansi penggunaan dana kegiatan dan meminta aparat penegak hukum turun tangan. “Kami akan melaporkan penggunaan anggaran kegiatan ini ke aparat hukum jika tak ada kejelasan,” katanya.

Para tokoh berharap panitia mempertimbangkan kembali keseluruhan konsep acara, baik dari sisi nama, substansi, maupun waktu pelaksanaannya. “Kegiatan budaya seharusnya menyentuh hati masyarakat, bukan hanya sekadar ajang kemeriahan sesaat,” ucap mereka.

Hingga berita ini ditayangkan, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Samosir belum memberikan tanggapan meski telah dihubungi melalui WhatsApp. (pangihutan/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN