Batik Gajah Mungkur Gresik Bangkit, Kini Tembus Pasar Dunia

Generasi penerus keempat Batik Gajah Mungkur, Akhmad Choiri yang terletak di Kampung Kemasan Gresik, Jawa Timur, membangkitkan denyut usahanya yang sempat padam. (Foto: Kompas.com/Suci Rahayu)
Gresik, MISTAR.ID
Memperingati Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober, kisah kebangkitan Batik Gajah Mungkur di Kampung Kemasan, Gresik, Jawa Timur, mencuri perhatian. Warisan batik keluarga yang sempat meredup itu kini berhasil bangkit dan menembus pasar internasional.
Batik Gajah Mungkur, merupakan warisan keluarga pembatik yang sempat meredup selama beberapa dekade. Kebangkitan ini digagas oleh Akhmad Choiri, 46 tahun, generasi keempat keluarga, yang sejak 2016 bertekad melestarikan usaha batik peninggalan leluhurnya.
“Awalnya saya ingin menghidupkan kembali bukan hanya sebagai usaha, tapi menjaga warisan mbah buyut,” ujar Choiri, Kamis (2/10/2025), dikutip dari Kompas.com.
Batik Gajah Mungkur berdiri sejak 1896. Nama tersebut diambil dari patung gajah yang dibuat leluhur keluarga dan menghadap ke belakang jalan, atau dalam bahasa Jawa disebut memungkuri. Usaha batik ini pernah berjaya hingga mendapat perhatian dari Keraton Surakarta pada 1927. Namun, setelah generasi kedua dan ketiga berpulang, produksi sempat terhenti.
Choiri yang tumbuh di lingkungan pembatik sejak kecil kembali ke Gresik untuk melanjutkan usaha keluarganya. Ia mengembangkan berbagai motif yang terinspirasi dari budaya lokal, seperti motif walet, nasi krawu, cangkir kopi, serta motif rumah Gajah Mungkur. Selain itu, ada motif khusus bernama Sri Rarong-rong series yang terinspirasi dari usaha rokok leluhurnya.
Saat ini sebagian besar produksi Batik Gajah Mungkur dipusatkan di Pekalongan untuk memudahkan pengaturan regulasi lingkungan. Namun, rumah tua di Gresik tetap menjadi pusat identitas dan sejarah usaha batik ini.
Produk Batik Gajah Mungkur kini telah menembus pasar internasional, mulai dari Belanda, Australia, Asia hingga Timur Tengah. Harga batiknya bervariasi, dari Rp225 ribu hingga Rp50 juta per lembar. Bagi kolektor, batik panjang tiga meter dianggap sebagai pusaka leluhur yang tidak boleh dipotong ataupun dipakai.
“Batik itu cipta rasa. Kalau buatan mesin printing dari luar negeri itu hambar. Pembeli harus bersentuhan langsung baru bisa merasakan batik yang sebenarnya,” kata Choiri.
Ia menegaskan, perjuangannya bukan sekadar menghidupkan usaha keluarga, melainkan menjaga janji kepada leluhur. “Insya Allah, selama batik dibuat dengan hati, warisan ini akan tetap hidup,” tuturnya.
BERITA TERPOPULER

Fenerbahce vs Nice: Preview, Head to Head, Prediksi Skor, Line Up, dan Analisis Taktik Europa League








