"Manggadong", Kisah Ketahanan Pangan Batak Toba di Era Penjajahan

Petani sedang memanen singkong atau gadong. Di Toba, manggadong adalah cara masyarakat bertahan hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang. (Foto: antara/mistar)
Toba, MISTAR.ID
Ketika derap sepatu penjajah menginjak-injak Tanah Batak, rakyat harus pintar-pintar mencari cara agar tak mati kelaparan. Padi hasil panen pun dipaksa jadi upeti, sementara para lelaki muda ditarik kerja paksa.
Dalam himpitan situasi itu, gadong (singkong atau ubi) rebus menjadi pengganjal perut dan penyelamat nyawa dari kelaparan. Dari sanalah lahir tradisi Manggadong (Makan singkong atau ubi,red)--sebuah warisan bertahan hidup yang dulu menguatkan perut rakyat di masa susah--namun kini mulai dilupakan generasi muda.
Sepenggal cerita pilu tersebut meluncur dari pengakuan para lansia di Kecamatan Uluan, Porsea dan Balige, Kabupaten Toba. Kini rata-rata usia mereka sudah di angka 60 hingga 70 tahun.
Mereka mengaku pernah merasakan getirnya mencari nasi untuk dimakan. Apalagi jika sebuah keluarga tersebut mempunya banyak anak. Untuk mengakalinya, anak-anak, remaja, hingga orang tua memilih mengonsumsi gadong setiap pagi, sore, serta malam sebelum memakan nasi.
Salah seorang warga Siregar Aek Nalas, Kecamatan Uluan, Abiden Siregar, 72 tahun, mengaku Manggadong baginya sudah sangat familiar. Dimana hingga tahun 1990-an, menyantap menu ubi sebelum makan nasi selalu dilakukan untuk menghilangkan rasa lapar, serta untuk mengurangi konsumsi beras. Hal itu menjadi rutinitas setiap pagi dan sore.
"Saat masih sekolah sekitar tahun 1963, sebelum berangkat sekolah, bukannya nasi yang akan mengisi perut. Ibu selalu menyajikan ubi rebus lengkap dengan ikan asin (orang Batak menyebut gambas) dan sambal. Kemudian sambil berjalan menuju sekolah, kami mengunyah ubi rebus," kenang Abiden.
Menurut dia, tradisi Manggadong masih menjadi tradisi yang kerap dilakukan mayoritas warga di Desa Siregar Aek Nalas hingga tahun 1990-an. Rasa sakit akibat perlakuan penjajah masih tetap membekas, yang diturunkan oleh para orang tua yang merasakan langsung perbuatan kejam penjajah.
"Saat penjajahan Belanda, terlebih saat Jepang masuk, masyarakat tidak dibenarkan mengkonsumsi atau menyimpan padi terlalu banyak. Padi warga lebih diarahkan sebagai pajak (upeti) setelah panen. Sebagai alternatif untuk mengirit nasi, warga terlebih dahulu mengonsumsi ubi kayu rebus atau ubi jalar," ujarnya kepada Mistar pekan lalu.
Selain tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan cepat tanpa perawatan yang maksimal, juga setelah dimakan dapat bertahan lebih untuk menghalau rasa lapar.
"Pengolahannya juga sangat mudah. Selain direbus, ubi kayu bisa juga dibakar di dalam sekam dan setelah matang langsung dimakan tanpa lauk untuk menghalau rasa lapar hingga berjam-jam," ungkap Abiden.
"Tetapi untuk saat ini, meskipun desa kami terbilang lumayan jauh dari Kota Porsea, tidak satu pun, mulai dari orang tua hingga anak-anak mau mengonsumsi gadong rebus. Jika dilakukan, paling saat lagi rindu dengan makanan gadong dan belum tentu sekali dalam sebulan," imbuh Abiden.
Perilakuan Belanda dan Jepang
Warga Janji Matogu, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba, Sogar Manurung, 63 tahun, juga mengisahkan cerita dari orang tuanya, bagaimana perlakuan penjajah yang merampas hasil pertanian padi seluruh masyarakat, sehingga mereka kekurangan pangan dan mengalihkan kepada gadong untuk dapat bertahan hidup.
"Penjajah selalu memantau tanaman padi warga, apabila musim panen tiba, penjajah selalu mengingatkan warga untuk mengantarkan hasil panen ke onan (pasar,red) Porsea yang menjadi pusat logistik dari penjajah. Yang paling parah saat itu adalah masa penjajahan jepang," ungkapnya kepada Mistar pekan lalu.
Untuk menyisakan hasil panen padi, lanjutnya, wrga terpaksa menyembunyikan hasil panen yang tidak seberapa untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, kebutuhan makan sehari-hari, dan diselingi dengan makanan gadong.
"Di jaman penjajahan Jepang, mayoritas pria dewasa dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan logistik pangan tentara Jepang. Kebutuhan untuk keluarga pun tidak dapat dipenuhi. Akhirnya tanaman gadong menjadi solusi untuk dikonsumsi menjadi bahan pangan pokok," sebut Sogar.
Setelah menjarah hasil pertanian padi masyarakat dan ditumpuk di Kota Porsea--yang merupakan gudang penjajah--selanjutnya padi tersebut disalurkan ke berbagai daerah untuk memenuhi pangan para tentara penjajah. Seperti ke Sibolga melalui jalur darat menggunakan jembatan Porsea yang membentang di membelah Sungai Toba Asahan.
Dilupakan Generasi Muda Batak
Seiring perkembangan zaman yang disertai peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi dan sektor pertanian di Kabupaten Toba, tradisi pelan tapi pasti tradiri Manggadong nyaris tidak pernah lagi dilakukan.
Terlebih saat ini, kemajuan zaman yang semakin pesat, rumah makan bertebaran dan tinggal memilih makanan nasi dengan jenis lauk apa saja bisa dinikmati sesuai selera setiap waktu. Manggadong pun dianggap tradisi usang atau kuno, dikalahkan oleh makanan siap saji, berbahan keju, coklat dan makanan lainnya.
Seperti pengakuan S.Marpaung, 32 tahun, warga Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba. Kebiasaan Manggadong sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Batak di Kabupaten Toba, seiring perkembangan zaman, terutama kaum muda.
"Jangankan singkong rebus, singkong goreng dan keripik singkong juga sangat sulit ditemukan di pasar atau pusat jajanan di Kabupaten Toba. Seperti saya, terbilang kurang meminati jajanan berbahan singkong, apalagi untuk dijadikan pengganti nasi. Sampai saat ini nasi merupakan makanan pokok bagi kami," ujarnya.
Warga lainnya, Nehemia, 15 tahun, warga Porsea lainnya mengatakan, dia dan orang tuanya selalu menanam singkong di pekarangan rumah. Puluhan hingga ratusan batang, namun bukan untuk dijadikan bahan makanan pokok pengganti nasi, tetapi lebih untuk pakan ternak ayam.
"Setiap kali memanen singkong, ubi diparut, kemudian dijemur hingga kering agar dapat bertahan beberapa bulan sebagai makanan pokok ternak ayam. Meskipun ada kalanya ubi dipotong seukuran ikan teri, lalu digoreng dan disambal pengganti lauk," ucap Nehemia.
Pernah Digalakkan di Kabupaten Toba
Untuk membangkitkan tradisi lama dalam Manggadong, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) pernah menyelenggarakan event di Kabupaten Toba yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) delapan tahun lalu di Pantai Lumban Bulbul, Balige.
"Tetapi selesai acara Manggadong yang diselenggarakan tersebut, masyarakat tidak mengulang kembali acara Manggadong seperti yang diselenggarakan oleh Pemprovsu dalam penerapan pola makan sehari-hari," ujar Kadis Ketahanan Pangan Toba, Darwin Sianipar kepada Mistar, Kamis (25/9/25).
Masyarakat, lanjutnya, tidak lagi mau melakukan rutinitas sebelum makan nasi, memakan ubi rebus terlebih dahulu. Mungkin karena sudah puluhan tahun lidah dan perut mereka selalu mengonsumsi nasi.
"Memang saat ini masih ada masyarakat di Toba yang mengonsumsi singkong rebus, tetapi tidak dikonsumsi setiap hari secara rutin. Hanya jika kepingin saja baru dilakukan, dan belum tentu sebulan sekali," katanya.
Pemerintah Kabupaten Toba sendiri melalui PKK, lanjut Darwin, berusaha menggalakkan bahan pangan dari singkong. Namn tetap saja pencanangan makan ubi tetap tidak mendapat sambutan dari masyarakat.
"Untuk menarik minat masyarakat, jika ada pertemuan Pemerintah Kabupaten Toba dengan masyarakat, kerap acara Manggadong kita laksanakan dengan menu makanan yang disediakan dengan sajian singkong rebus dan singkong goreng," ucapnya.
Menurut Darwin, intinya penerapan Manggadong tidak akan mungkin lagi dilakukan di masyarakat Kabupaten Toba selama hasil panen padi masyarakat masih surplus.
Manggadong hanya bisa dilakukan di kabupaten ini saat ada pertemuan pemerintah dengan masyarakat yang teragenda atau bisa jadi Event Manggadong yang dilaksanakan satu komunitas maupun organisasi.
"Event Manggadong juga bisa memperlihatkan atau memperkenalkan kepada dunia luar, betapa masyarakat Batak khususnya di Kabupaten Toba dulunya pernah mengantisipasi kondisi sulit mendapatkan bahan pangan, memilih Manggadong untuk bertahan hidup, serta bisa mendapatkan nutrisi dan hidup sehat hingga saat ini," ucap Darwin.
Olahan Singkong tidak Populer
Darwin Sianipar juga mengatakan, saat ini masyarakat di Toba enggan mengembangkan produk olahan berbahan singkong kurang laku di pasaran.
"Untuk pemasaran di Toba, pangsa pasar makanan berbahan ubi kurang diminati. Dampak dari label halal, banyak pengusaha enggan mengolah makanan seperti, bolu ubi, kukus ubi, keripik dan lainnya. Sebab dipastikan tidak akan mendapatkan pasar di luar Kabupaten Toba karena peminat makanan olahan singkong terbilang minim," kata Darwin.
Darwin juga mengatakan, sangat tidak mungkin masyarakat Kabupaten Toba kembali ke era penjajahan, dimana masyarakat mengganti beras sebagai makanan pokok. Apalagi hasil panen padi petani di Kabupaten Toba sudah surplus.
Dikatakannya, sesuai data mayoritas penduduk di Kabupaten Toba, yang mayoritas sebagai petani padi, dimana luas persawahan di Kabupaten Toba ada sekitar 17 ribu hektare.
Ada sebagian yang sudah menerapkan pola dua kali tanam. Maka jika dikalkulasikan, ada sekitar 22 ribu hektare lahan yang dipanen secara rutin per tahunnya.
"Sehingga dari luas lahan persawahan yang ada, untuk pertahunnya produksi panen padi di Toba per hektare lebih kurang 6 ton. Jadi untuk produksi padi di Toba 22 ribu hektare dikali 6 ton. Hasilnya 132 ribu ton, sementara kebutuhan warga Toba sendiri hanya 100 ribu ton. Jadi surplus 32 ribu ton," katanya.(nimrot/hm06)