Kisah Pedih Nelayan Langkat (3-Habis): Irwan Mencoba Melawan Kemiskinan

Irwan, nelayan asal Secanggang Kabupaten Langkat. (foto: endang/mistar)
Langkat, MISTAR.ID
Namanya Irwan, usianya sudah 56 tahun. Ia adalah seorang nelayan tradisional yang tinggal di kawasan kampung nelayan di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.
Nelayan adalah profesi Irwan sejak turun temurun. Ayahnya yang merupakan warga asli Secanggang adalah nelayan. Begitu juga dengan abangnya, juga seorang nelayan. Irwan telah menggeluti profesi ini sejak tamat sekolah.
Menjadi nelayan tradisional memang bukan pilihan terbaik Irwan. Ia sempat membuka warung grosiran yang menyediakan beragam kebutuhan nelayan di Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, namun hanya bertahan tiga tahun saja.
Kemudian ia kembali lagi melaut. Melawan kerasnya samudera, mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Saat ditemui di rumahnya, Irwan bercerita tentang kerasnya kehidupan nelayan. Tidak hanya di laut, bahkan di darat.
“Di sini sedikitnya ada 200-an nelayan tradisional. Delapan puluh persen di antaranya merupakan nelayan kurang mampu,” ucap Irwan mengawali pembicaraan.
Irwan bercerita, nelayan di Langkat--khususnya di Kecamatan Secanggang--tak bisa lepas dari jeratan tengkulak atau ijon. “Kalau kami biasanya menyebutnya tauke,” sambung Irwan.
Bagaimana tidak, kondisi ekonomi yang pas pasan membuat nelayan harus meminjam uang kepada tauke untuk modal pergi melaut. Sekali pergi ke laut mencari ikan biasanya membutuhkan dana Rp400 ribu.
“Itu untuk pergi satu hari dengan tiga orang dalam satu perahu. Dana sebesar itu untuk keperluan bahan bakar perahu, biaya makan dan rokok tiga orang dalam satu hari,” kata Irwan.
Jika hasil tangkapan lumayan, ikan dapat dijual dan hasilnya dibagikan sesuai kesepakatan. “Biasanya 30-40 persen untuk pemilik perahu, sedangkan sisanya untuk nelayan yang ikut melaut. Jika hasil penjualan ikan Rp1 juta, untuk pemilik perahu Rp400 ribu. Sisanya dibagi untuk nelayan yang ikut melaut. Jika orangnya empat, dibagi empatlah sisanya,” kata Irwan.
Jika meminjam modal dari tauke, maka pinjaman itulah yang harus dikembalikan dari hasil tangkapan ikan. “Kalau dapatnya hanya Rp1 juta, balikin modal ke tauke Rp400 ribu. Sisanya Rp600 ribu itulah yang dibagikan. Kalau orangnya empat, Rp200 ribu untuk pemilik perahu, sisanya Rp400 ribu dibagi empat. Masing masing dapat Rp100 ribu,” kata Irwan.
Kalau hasil tangkapan ikan minim atau bahkan tidak ada sama sekali? “Itulah awalnya kenapa nelayan masih terus hidup di bawah garis kemiskinan, karena harus terus meminjam uang kepada tauke untuk melanjutkan roda perekonomian keluarga,” jawab Irwan.
Hasil tangkapan ikan menurut Irwan berfluktuasi. Terkadang hasil tangkapan sedikit, bahkan tidak ada. “Kalau dirata-ratakan hasil tangkapan ikan setiap tahun semakin menurun,” ungkapnya.
Saat mencari ikan di laut pun penuh dengan dinamika. Terkadang cuaca buruk yang datang tiba tiba membuat para nelayan tak bisa menangkap ikan.
“Pernah suatu ketika saat di laut kena ombak tinggi, angin kencang dan hujan lebat, rasanya mau kiamat. Tobat lah saya menjadi nelayan, kapok. Tetapi pas sudah pulang ke rumah, mau tak mau harus balik lagi ke laut karena tak punya pekerjaan lain,” ungkapnya.
Pukat Trwl Mejalela
Tantangan terbesar menjadi nelayan saat di laut menurut Irwan adalah adanya kapal pukat traw atau pukat harimau. “Pukat Trawl atau pukat harimau itu sekali jaring ikan, semuanya diangkat. Sampai ikan kecil pun naik ke kapal. Kami nelayan tradisional tak dapat lagi,” katanya.
Selain itu, keberadaan pukat trawl juga merusak keberadaan ekosistem laut karena merusak karang laut tempat berkembang biak ikan dan hewan laut lainnya. Para nelayan juga harus mencari ikan lebih jauh ke tengah laut karena pukat trawl kini sudah mulai mencari ikan di laut dangkal.
“Biasanya kita melaut satu jam dari pinggir laut sudah bisa cari ikan. Sekarang, harus dua jam atau lebih ke tengah laut agar bisa dapat ikan. Di kawasan pinggiran sudah banyak pukat trawl,” tutur Irwan.
“Pernah beberapa tahun lalu pukat trawl dibakar nelayan di tengah laut, kapalnya punya nelayan Belawan. Dua bulan setelah itu memang gak ada lagi pukat trawl yang masuk. Tetapi kini sudah banyak lagi keliaran pukat trawl,” kata Irwan.
Terkait harga jual ikan hasil tangkapan sepenuhnya diserahkan kepada para tengkulak. "Selama ini memang harganya sudah cukup untuk balik modal lah," kata Irwan.
Menyinggung bantuan apa yang diperlukan nelayan, Irwan menjawab, perahu yang baru sebagai alat nelayan melaut dan ketegasan pemerintah melarang pukat trawl beroperasi.
“Bantuan memang pernah diberikan dalam bentuk jaring ikan, tetapi saat ini hampir semua kondisi perahu nelayan di Secanggang sudah tua. Sudah kurang layak lagi digunakan mencari ikan. Semoga ada bantuan perahu nelayan dengan mesin yang lebih mumpuni untuk kami melaut,” kata Irwan.
Untuk bahan bakar solar, menurut Irwan, masih dapat dicari meskipun harganya tak lagi subsidi. Saat ini nelayan membeli solar seharga Rp10 ribu rupiah per liternya.
Untungnya kini mulai ada pendataan agar nelayan dapat membeli solar yang disubsidi pemerintah. “Kabarnya ada pendataan nelayan yang bilang anggota DPRD Langkat dari Secanggang. Nelayan akan diberikan kartu. Namanya Kartu Eka Suka, untuk beli solar subsidi," ujarnya.
Di usianya yang tak lagi muda, Irwan tak mau mewariskan kemiskinan untuk generasi penerusnya. "Alhamdulilah anak saya sudah kerja jadi TKI di Malaysia. Satu lagi sudah kerja di Medan, gak ada yang jadi nelayan," kata Irwan.
Irwan kini sudah jarang melaut. Ia mempunyai kesibukan baru sebagai kepala dusun di desanya. “Ada honornya. Meskipun kecil, tapi lumayanlah,” katanya.
Irwan berharap kehidupan nelayan di Langkat menjadi salah satu perhatian serius pemerintah. "Mimpinya kami nelayan punya perahu yang bagus, hasil tangkapan lumayan dan harga jual ikan yang terjamin," tutup Irwan. (endang/hm24)