Jamur Berpotensi Atasi Krisis Pangan dan Stunting, Tapi Masih Minim Dukungan

Akademisi dan Dosen Biologi USU, Liana Dwi Sri Hastuti. (foto:susan/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Liana Dwi Sri Hastuti, mengungkapkan bahwa jamur sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki potensi besar untuk mengatasi krisis pangan dan stunting di Indonesia.
Menurutnya, keanekaragaman jamur di Indonesia sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan di berbagai sektor seperti pertanian, kesehatan, hingga pangan alternatif.
"Indonesia termasuk negara megabiodiversity. Keanekaragaman jamur kita sangat tinggi dan potensial sebagai bahan pangan, obat-obatan, hingga kosmetik. Ini sangat perlu dikembangkan,” ujar Dosen Biologi USU itu, Rabu (17/9/2025).
Liana menambahkan, jamur sangat baik untuk kesehatan karena rendah efek samping dibandingkan dengan sumber protein hewani seperti ayam atau sapi.
“Jamur juga menjadi salah satu solusi dalam mengatasi kekurangan protein, terutama pada anak-anak. Ini sangat relevan untuk upaya menurunkan angka stunting di Indonesia,” ucapnya.
Produksi Masih Minim, Potensi Ekspor Terbuka
Meskipun permintaan jamur tinggi, termasuk dari luar negeri, tingkat budidaya jamur di Sumatera Utara masih sangat rendah.
"Di Sumatera Utara, baru dua jenis jamur yang umum dibudidayakan. Padahal, ada ribuan spesies yang punya nilai ekonomi tinggi, seperti jamur susu harimau yang bisa mencapai Rp1 juta per kilogram dan truffle hingga Rp4 juta per kilogram,” ujarnya.
Liana menegaskan bahwa banyak spesies jamur yang belum diteliti secara serius padahal berpotensi sebagai sumber pangan, obat kanker, jantung, diabetes, bahkan bahan kosmetik.
Namun, kendala utama adalah minimnya riset serta dukungan dari pemerintah. Ia menyebut, dari ribuan spesies jamur di Indonesia, baru sekitar 1,9 persen yang berhasil diidentifikasi.
"Jamur biasanya muncul di musim hujan dan saat terjadi petir. Penelitian terkait hal ini masih sangat terbatas. Karena itu, saya mengajak mahasiswa dan para dosen untuk lebih banyak meneliti potensi jamur Indonesia," katanya.
Teknologi Budidaya Murah dan Inovatif
Liana juga menyampaikan bahwa budidaya jamur tidak selalu membutuhkan biaya mahal. Ia mencontohkan beberapa petani binaannya di Medan yang berhasil mengembangkan teknologi sederhana dengan memanfaatkan kulkas bekas dan alat rakitan untuk mengatur suhu serta kelembaban.
“Bisa direkayasa. Tujuan budidaya adalah agar jamur bisa beradaptasi dengan lingkungan buatan. Alat-alat seperti autoklaf yang mahal pun sebenarnya bisa dirakit sendiri,” jelasnya.
Sayangnya, inovasi semacam ini masih lebih berkembang di Pulau Jawa dibandingkan di Sumatera. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan industri jamur di daerah.
Petani Bisa Hasilkan Puluhan Juta Per Bulan
Dari binaannya, beberapa petani jamur mampu menghasilkan hingga Rp20 juta per bulan dari usaha budidaya jamur skala rumahan.
“Saya pikir pemerintah harus lebih serius memperhatikan petani jamur. Saya membina beberapa petani di Medan, dan banyak yang antusias. Sayangnya, masih minim bantuan alat dan fasilitas dari pemerintah,” tuturnya. (susan/hm27)