Wednesday, October 1, 2025
home_banner_first
SAHABAT PENDIDIKAN

Timbulkan Persoalan, PAKTA Indonesia Minta Program Sekolah Lima Hari Dievaluasi

Rabu, 1 Oktober 2025 16.28
timbulkan_persoalan_pakta_indonesia_minta_program_sekolah_lima_hari_dievaluasi_

Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Kepedulian terhadap Perempuan dan Anak (PAKTA) Indonesia, Junaidi Malik. (foto: susan/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Kepedulian terhadap Perempuan dan Anak (PAKTA) Indonesia, Junaidi Malik, menilai program sekolah lima hari di Sumatera Utara (Sumut) perlu dievaluasi secara serius.

Menurutnya, meski niat baik Gubernur Sumut untuk menciptakan aktivitas positif bagi anak patut diapresiasi, namun pelaksanaan di lapangan justru memunculkan persoalan baru.

“Masyarakat bercerita ke saya, anak mereka pulang sekolah sore hari dalam kondisi sangat lelah. Pakaian basah kering berkali-kali, tubuh beraroma keringat, sampai rumah langsung tidur. Jadi, anak kehilangan waktu berinteraksi dengan orang tua,” ujar Junaidi di Podcast Mistar, Rabu (1/10/2025).

Ia menyebut kondisi itu berbanding terbalik dengan tujuan awal Gubernur yang ingin mengurangi aktivitas negatif anak di luar rumah. Namun faktanya, anak-anak justru menjadi stres, lelah dan terbebani banyak pelajaran.

Selain itu, lanjut Junaidi, program sekolah lima hari ini tidak hanya soal hak anak atas pendidikan, tetapi juga hak anak untuk bermain dan bertumbuh dengan gembira. “Apakah sekolah memfasilitasi hak anak bermain dengan kegiatan terstruktur, olahraga, atau permainan tradisional? Saya lihat hari ini belum ada,” katanya.

Karena itu, ia mendorong Dinas Pendidikan Sumut membentuk tim independen untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Evaluasi, kata Junaidi, sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan dengan melibatkan sekolah, guru, orang tua, hingga anak didik itu sendiri.

“Kalau mau transparan dan akuntabel, jangan evaluasi hanya dilakukan internal dinas. Libatkan tim independen. Ambil sampel sekolah, ajak anak dan guru isi kuesioner. Dari situ kita bisa dapat gambaran objektif apakah program ini ideal atau justru membebani,” ucapnya.

Selain anak, Junaidi juga menyoroti dampak pada guru. Ia menyebut ada guru yang kehilangan waktu bersama keluarga karena harus mengajar hingga sore. “Kalau ada guru yang punya anak balita, bahkan masih menyusui, lalu harus menambah jam mengajar, tentu ada dampak domino yang juga perlu dipertimbangkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menilai anggapan bahwa anak bisa lebih banyak bersama keluarga pada Sabtu dan Minggu belum terbukti. “Jujur, banyak anak justru menghabiskan akhir pekan begadang, nongkrong di kafe, atau pergi ke mall. Ini juga perlu dievaluasi,” katanya.

“Yuk kita tanya jujur. ‘Bu, tahu anaknya ngapain di Sabtu Minggu? Ibu-ibu bapak-bapak bingung jawabnya. Kenapa? Karena dia takut malu kalau ketahuan anaknya nggak di rumah sama dia,” timpalnya.

Menurut Junaidi, kunci keberhasilan program ini adalah memastikan keselarasan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Sehingga dapat mempersiapkan generasi emas Indonesia dan memiliki masa depan yang lebih baik lagi.

“Tapi kalau hari ini kita nggak siapkan masa depan kita, kita nggak akan pernah punya masa depan. Masa depan saya bukan istri saya. Masa depan saya adalah anak dan cucu saya. Makanya harus kita siapin masa depan kita,” tuturnya.

“Bagaimana mempersiapkan masa depan? Dengan kita tumbuh bersama, kolaborasi, memastikan setiap anak terpenuhi hak-haknya dan dilindungi dalam segala bentuk kejahatan atau diskriminasi,” pungkasnya.

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN