Thursday, June 5, 2025
home_banner_first
SAHABAT PENDIDIKAN

Akademisi UMSU Kritik Kebijakan Belajar Lima Hari di Sumut: Efisiensi atau Ancaman?

journalist-avatar-top
Selasa, 3 Juni 2025 11.25
akademisi_umsu_kritik_kebijakan_belajar_lima_hari_di_sumut_efisiensi_atau_ancaman

Akademisi FISIP UMSU sekaligus Pengamat Sosial dan Politik, Shohibul Anshor. (f:ist/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor, mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) terkait pengurangan hari belajar menjadi lima hari dalam sepekan bagi siswa SMA dan SMK.

“Di atas kertas [secara administratif], kebijakan ini terlihat menjanjikan dari sisi penghematan anggaran operasional. Namun, dalam kerangka pendidikan nasional yang terintegrasi, kebijakan ini bisa menghadirkan konsekuensi serius yang tidak disadari oleh para pengambil keputusan di daerah, salah satunya [potensi] komersialisasi,” tuturnya, Selasa (3/6/2025).

Menurut Shohibul, sistem pendidikan Indonesia dibangun sebagai suatu kesatuan yang utuh, dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi, berdasarkan kurikulum nasional. Oleh karena itu, kebijakan strategis seperti pemangkasan hari belajar seharusnya tidak diputuskan secara lokal atau sektoral.

“Pendidikan tidak boleh ditangani seperti pengelolaan proyek jangka pendek yang hanya melihat sisi efisiensi. Kebijakan seperti ini semestinya berada di tangan otoritas nasional,” ujarnya.

Ia memahami bahwa kebijakan tersebut mungkin dimaksudkan untuk menghemat biaya operasional seperti transportasi, konsumsi, dan listrik.

“Akan tetapi, penghematan seperti ini justru bisa melahirkan pemborosan yang jauh lebih besar dalam bentuk beban sosial dan ekonomi terhadap siswa serta keluarganya,” katanya.

Shohibul menyoroti bahwa banyak siswa, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, menganggap waktu belajar reguler tidak cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi.

“Secara tidak langsung, kebijakan ini mendorong siswa untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Pertanyaannya, apakah kita menyadari bahwa keputusan ini justru memperlebar kesenjangan akses pendidikan antara mereka yang mampu membayar bimbel dan yang tidak?” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan apakah kebijakan ini telah melalui konsultasi langsung dengan kepala sekolah atau guru senior, terutama mereka yang memiliki anak di bangku SMA.

“Banyak yang mengatakan kebijakan lima hari belajar diterapkan juga di negara-negara maju seperti Jepang, Finlandia, atau Amerika. Tapi mereka lupa bahwa setiap negara memiliki konteks yang berbeda, sehingga kebijakan pendidikan pun harus disesuaikan,” ucapnya.

Kekhawatiran juga disampaikan terhadap dampak kebijakan ini bagi siswa SMK. Menurut Shohibul, pengurangan hari belajar berarti juga mengurangi jam praktik kejuruan, padahal keterampilan teknis adalah keunggulan utama lulusan SMK.

“Jika ini terus [dibiarkan] terjadi, bagaimana mereka bisa bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif? Mengurangi waktu belajar demi penghematan adalah logika dagang, bukan logika pendidikan. Pendidikan bukan sekadar tempat mencetak ijazah, tetapi arena membentuk manusia,” katanya.

Pendidikan Bukan Sekadar Efisiensi, Tapi Investasi Jangka Panjang

Shohibul juga menekankan pentingnya metode pembelajaran yang berulang dan bertahap. “'10 dikali 1' jauh lebih pedagogis dibanding '1 dikali 10'.

"Artinya, pembelajaran yang bertahap dan berulang jauh lebih efektif ketimbang pembelajaran yang padat, singkat, tapi diburu-buru,” ucapnya menjelaskan.

Lebih lanjut, ia menyoroti persoalan mendasar dalam tata kelola pendidikan di Indonesia. Secara nasional, pendidikan dasar dan menengah dikelola oleh satu kementerian. Namun, di tingkat daerah, pengelolaan SMA dan SMK dipisahkan dari jenjang SMP ke bawah.

“Ini bukan hanya masalah administratif, tapi juga menunjukkan kegagalan filosofis dalam memahami pendidikan sebagai sistem berkelanjutan. Idealnya, pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi dikelola dalam satu sistem yang terpadu,” tegasnya.

Shohibul menyarankan agar struktur kelembagaan seperti direktorat jenderal atau badan pendukung di bawah kementerian diperkuat. Kebijakan pokok, menurutnya, seharusnya tidak diserahkan sepenuhnya kepada daerah tanpa ada kerangka nasional yang kuat.

Pendidikan Adalah Prioritas, Bukan Beban Anggaran

“Jika kita setuju (sepakat) bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang, maka tidak pantas memperlakukannya dengan pola pikir efisiensi jangka pendek. Menghemat 1 atau 2 triliun rupiah bisa jadi membawa kerugian jauh lebih besar dalam bentuk ketertinggalan kualitas sumber daya manusia di Sumatera Utara dibandingkan provinsi lain,” ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Shohibul menegaskan bahwa masa depan hanya bisa diwujudkan jika negara berani memprioritaskan pendidikan.

“Masa depan itu hanya akan hadir jika kita berhenti memperlakukan anak-anak sebagai beban anggaran, lalu mulai melihat mereka sebagai subjek utama dari kemajuan bangsa,” tuturnya mengakhiri. (ari/hm27)

REPORTER: