Mata dan Telinga Publik di Republik Mimpi

Bersihar Lubis. (foto: istimewa)
Oleh: Bersihar Lubis
Disrupsi media cetak ternyata juga merasuk bagai api dalam sekam. Akibat invasi teknologi informasi, terjadi revolusi dalam industri pers. Banyak media cetak menyusut atau berguguran. Media online dan digital bertumbuh bagai anak kelinci.
Namun, di Republik Mimpi mereka segera banting setir. Berita-berita di halaman satu unik dan spesifik. Tidak ditemukan di media digital, bahkan juga di berita-berita televisi. Tapi tetap memancing rasa right to know (hak ingin mengetahui) dari publik.
Ingin mengetahui apa yang terjadi, saya investigasi ke Republik Mimpi tersebut. Saya pilih satu surat kabar yang beroplah 100.0000 eksemplar saban hari.
Republik Mimpi tentu saja tidak ada di peta bumi. Dia berada di langit imaginasi bagaikan sebuah fiksi seumpama novel. Itula yang berkecamuk di benak saya bagaikan true story.
Sore itu, sekitar pukul 16.00 wib, saya melihat sekelompok orang duduk melingkari meja bundar. Mereka para redaktur sedang berdiskusi. Inilah para editor yang membahas rencana liputan koran untuk esok hari.
Berita-berita seremonial pejabat dan pengusaha tetap diliput, tapi tidak prioritas. Cukup dimuat secara proporsional. Kecuali jika peristiwanya hangat dan penting diketahui pembaca. Misalnya, ada pejabat ditangkap KPK karena korupsi. Atau seorang pengusaha pabrik membuka lapangan kerja ribuan orang.
Setiap repoter – baik dalam kota maupun di daerah – diwajibkan membuat berita menarik yang digali dari fenomena kota, daerah dan masyarakat. Semacam make news, menciptakan berita secara kreatif. Setiap reporter wajib membuat satu saja berita menarik itu dalam sebulan. Satu berita digarap sebulan. Karena reporter berjumlah sekitar 30-an orang, maka akan ada 30-an berita dalam sebulan. Inilah yang pemuatannya digilirkan masing-masing dua berita sekali dua hari di halaman satu.
Baca Juga: Fenomena Grey Divorce di Indonesia
Tak ayal, berita-berita di halaman satu menjadi sangat berbeda dengan koran lain. Isi dan temanya pun unik. Misalnya, tentang seorang mahasiswi, atau ibu rumah tangga yang bekerja sebagai driver taxi atau ojek online. Bahkan ada yang jadi sopir truk barang Fenomena ini bukan hanya petanda emansipasi. Tapi juga karena desakan ekonomi keluarga yang kian sulit.
Bisa juga tentang pemukim tepi sungai yang terpaksa mandi dan cuci pakaian di sungai penuh sampah, tak lagi jernih.
Ada juga tentang menjamurnya kedai kopi tempat nongkrong. Atau beberapa ASN atau tentara bergolongan rendah yang menjadi ojek online atau membuka warung. Bisa juga tentang seorang single parent yang mencari nafkah sambil mengurus anak-anaknya.
Atau juga tentang praktek dokter dan pengacara yang memungut biaya murah untuk kalangan menengah ke bawah. Suka duka polisi pengatur lalu lintas, namun kerap ditanggapi secara minor. Serta keluh kesah warga ketika banjir menggenangi permukiman.
Fenomena di perkotaan tak habis-habisnya. Tinggal mengamatinya, dan lalu meliputnya. Ditulis lengkap dengan sisi yang menarik. Belum lagi tentang kehidupan orang miskin yang penuh perjuangan dan penderitaan. Sektor informal yang menampung banyak tenaga kerja dibanding sektor formal juga direportasekan.
Daerah pun sangat kaya dengan berita-berita unik. Petani yang menyewa tanah untuk menanam padi. Yang sawahnya rusak karena dilanda banjir atau hama. Yang tinggal di desa terpencil tanpa infrasturuktur jalan, kecuali jalan tikus. Anak sekolah yang menyeberangi sungai karena jembatan putus atau tidak ada. Harga sawit dan karet anjlok. Harga pupuk mahal dan sulit didapat. Kisah sukses petani sawit atau kuliner yang enak dan laris. Profil pejabat daerah yang merakyat tak kalah menariknya.
Tak heran jika koran itu selalu ditunggu-tunggu pembaca. Publik menanti berita apa lagi yang disajikan yang tidak ada di koran lain. Sajian yang berbeda itu menjadi ciri khas dan buah bibir publik. Dampaknya, oplah perlahan menaik, yang disusul iklan karena orang ingin iklannya dibaca banyak orang.
Koran itu tidak mau ikut arus berita-berita yang seragam. Toh, orang sudah mengetahuinya melalui berita koran lain atau televisi. Tapi menyajikan “other story” yang berbeda sehingga menggamit perhatian banyak orang.
Jangan Berkeluh Kesah
Kata kuncinya adalah perencanaan berita. Itulah yang dilakukan oleh rapat para editor. Penugasan kepada para reporter dibagi-bagi secara efektif, efisien dan merata. Tidak berat, karena setiap reporter menyumbang hanya satu tulisan menarik dalam sebulan. Bimbingan teknis diedarkan kepada setiap reporter sehingga mereka paham berbuat apa dan bagaimana
Berita-berita kriminal, sosial, politik, bisnis dan lainnya tak dilupakan. Halaman koran perlu diisi. Adapun berita-berita seremonial, itu tadi: yang hangat dan penting saja. Jika perlu tak dimuat jika tak dikemas menjadi berbeda dengan berita koran lain. Harus ada pengembangan sehingga tetap enak untuk dibaca.
Reporter menggunakan mata, telinga dan kreatifitas mengamati peristiwa tersebut. Bahkan, meliput berita pelantikan kepala desa pun bisa sangat menarik. Misalnya, koran itu menulis sebagai berikut:
Hebat. Seorang Kades yang yang dilantik ternyata seorang wanita. “Saya akan memimpin desa dengan etos feminisme. Yakni, kelembutan seorang ibu yang sabar mendengar keluhan anak-anaknya,” kata Linda, Kades Desa Merpati yang tadinya dikenal sebagai pemimpin LSM Perempuan.
Itulah seorang di antara 50 Kades yang dilantik oleh Bupati Ahmad Dahlan di Pendopo Kabupaten, Selasa lalu.
Bupati Ahmad Dahlan meminta agar para Kades tidak menggunakan Dana Desa untuk kepentingan anak istri. “Misalnya, membeli parfum, pakaian, sepatu dan uang jajan,” ujar bupati, yang disambut hadirin dengan tepuk tangan. Beritanya enak dibaca, bukan?
Atau tulislah berita tentang pasar tradisi yang bersih. Tawar menawar yang romantis. Tak ada copet. Di berbagai pojok terlihat grup pengamen berlagu sembari menyediakan kotak sumbangan.
Atau tangis terharu keluarga terdakwa ketika terdakwa divonis bebas murni di pengadilan. Ada yang bersujud syukur, ada yang berangkulan. Namun ada juga yang terisak-isak karena ibunya dihukum berat hanya karena mencuri sebutir semangka.
Tak heran jika koran di Republik Mimpi ini tidak risau dengan serbuan media online. Berita koran mereka sudah membuat pembaca puas, dan ketagihan. Mulanya, hanya satu berita menarik dalam sebulan. Lama-lama bisa dua atau tiga berIta.
Tapi, Bung, ini hanya imaginasi. Harus diwujudkannya menjadi etos dan kredo baru peliputan di republik realitas yang kini terkena disrupsi oleh serbuan media online dan digital. Alah bisa karena biasa. Jangan berkeluh kesah, berpangku tangan memeluk lutut tapi tak berbuat apa-apa.*
Penulis adalah jurnalis di Medan
PREVIOUS ARTICLE
DPR dan Parpol, Jangan Menjadi “Anak Durhaka”