Tuesday, September 2, 2025
home_banner_first
OPINI

Tunjangan Fantastis Tamat, Magma Sosial-Ekonomi Masih Mengancam

journalist-avatar-top
Selasa, 2 September 2025 15.16
tunjangan_fantastis_tamat_magma_sosialekonomi_masih_mengancam

Demonstrasi di depan Gedung DPRD Sumut. (Foto: Adil Situmorang/Mistar)

news_banner

MISTAR.ID

Oleh: Bersihar Lubis

Mahasiswa turun ke jalan beberapa hari sejak 25 Agustus lalu. Kaum buruh menyusul. Disertai elemen civil society lainnya. “Lautan manusia” mengepung gedung DPR RI di Senayan. Merebak ke daerah, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Makassar dan lainnya.

Semakin masif karena seorang pengemudi ojek, Affan Kurniawan tewas ditabrak rantis Brimob pada demo 28 Agustus malam. Juga disusul kematian empat korban dalam demo di Makassar. Oh, bahkan disertai komentar beberapa anggota DPR yang melukai hati rakyat. Eh, disusul penjarahan terhadap rumah anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya), Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani

Efek politisnya luar biasa. Presiden Prabowo Subianto gelisah. Ia undang pimpinan MPR, DPR, DPD, dan para ketua umum partai politik ke Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (31/8/2025). Yakni, untuk membahas demonstrasi besar sejak 25 Agustus yang memprotes tunjangan anggota DPR serta pernyataan anggota DPR yang minor.

Kala itu, Prabowo mengatakan bahwa petugas Brimob yang mengakibatkan kematian Affan, telah diperiksa Kepolisian RI. Ia meminta dilakukan dengan cepat, transparan, dan dapat diikuti secara terbuka oleh publik. Bahkan sebelumnya Prabowo telah mengunjungi keluarga Affan, dan menjanjikan akan menanggung kebutuhan hidup mereka.

Prabowo pun telah dilapori oleh para Ketua Umum Partai Politik, bahwa mereka telah menindak tegas anggota DPR masing-masing terhitung 1 September 2025 yaitu terhadap anggota DPR masing-masing yang telah menyampaikan pernyataan-pernyataan yang keliru. Tak kepalang, para Ketua Umum Partai Politik mencabut keanggotaannya dari DPR RI. Yakni, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Nasdem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN.

Tak hanya itu, Pimpinan DPR pun komit akan mencabut kebijakan tentang besaran tunjangan anggota DPR yang diributkan demonstran. Termasuk moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

Adapun kebebasan berpendapat tetap dihormati. Namun jika dalam pelaksanaannya ada aktivitas anarkis, merusak fasilitas umum, sampai adanya korban jiwa; mengancam dan menjarah rumah-rumah dan instansi-instansi publik, maupun rumah-rumah pribadi, hal itu ditegaskan Prabowo merupakan pelanggaran hukum dan negara wajib hadir dan melindungi rakyatnya. Tapi ia memastikan apirasi publik akan didengar, akan dicatat, dan akan ditindaklanjuti.

Demokratisasi Modern

Kasus ini, agaknya, membenarkan definisi civil society versi Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-). Dari keduanya lah muncul konsep ”a free public sphere.” Bahwa masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Senada pula dengan Ernest Gellner (1925-1995) bahwa ruang publik adalah jalan menuju demokratisasi modern.

Memang, barulah sejak Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) mulai dibedakan antara civil society dan negara dalam posisi yang dapat diametral, sebagai antitesis terhadap Negara.

Antonio Gramsci (1891-1937) memang memandang civil society sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung Negara. Namun Alexis de Tocqueville (1805-1859) melihat bahwa masyarakat sipil tidak a priori subordinatif terhadap Negara. Bukan asal bilang “tidak.” Tapi otonom dan berkemampuan menjadi kekuatan penyeimbang atas intervensi Negara.

Civil society punya tiga ciri. Yakni adanya kemandirian individu dan kelompok masyarakat saat berhadapan dengan kekuasaan. Adanya ruang publik bebas sebagai ekspresi politik warga negara dan adanya kemampuan membatasi kuasa negara dan lembaganya tidak intervensionis dan otoriter.

Kita pun teringat teori hegemoninya Gramsci, bahwa DPR sebagai jelmaan suara rakyat alias demokrasi kadang masih mencoba-coba mengabaikan suara masyarakat. Seolah-olah DPR melupakan bahwa “jembatan” mereka menuju gedung DPR di Senayan, Jakarta, adalah masyarakat sipil.

Merunut narasi Alexis de Tocqueville (1805-1859) bahwa suara masyarakat yang direpresentasikan melalui DPR, mestilah sebagai check and balances atas kebijakan Negara.

Magma Ekonomi Sosial

Kiranya ke masa depan, civil society harus membusung dada. Musim Orde Baru ketika suara rakyat masih terpasung sudah lampau. Bersama zaman baru, sesungguhnya ruang publik terbuka untuk menyuarakan ekspresi politik warga negara terhadap pemerintahan dan DPR yang melayaninya.

Civil society tak boleh beku dan kaku jika DPR masih “ragu-ragu” mendengar aspirasi masyarakat. Agaknya, para mahasiswa, kaum buruh, asosiasi dunia usaha, NU, HKBP, Walubi, MAWI, PGI, Muhammadiyah dan sebagainya harus berlakon sebagai “pengeras suara” masyarakat sipil terhadap pemerintah dan DPR.

Jika keluh kesah rakyat dianggap bagai angin lalu, maka civil society harus bangkit, dan melawan. Perlu pula digaris bawahi tindakan tegas terhadap pengunjuk rasa yang anarkis, haruslah dilakukan secara akurat, dan terukur. Tidak salah sasaran. Jangan sampai demonstran yang murni menjadi korban dengan tindakan represif yang mematikan demokrasi.

Sayangnya, isu ini bagai membenarkan ungkapan “no viral no justice.” Mengapa harus ada demonstrasi masif, yang memakan korban, barulah pemerintah tersentak dari keterlenaan. Mestinya haruslah disadari bahwa kasus ini dilatari berbagai “magma” problem sosial ekonomi yang tertahan atau diabaikan tak tersalurkan. Sehingga ketika ada trigger (pemicu), maka beragam “magma” itu pun meletus melalui kepundan.

“Magma” itu realitas ekonomi sosial Indonesia. PHK, pengangguran, kaum miskin, daya beli warga yang lemah, urbanisasi yang akut, pajak yang tinggi, dan beragam masalah lainnya. Sepanjang magma itu masih bergolak, sewaktu-waktu bisa meletus. Sementara ada yang hidup “enak banget.” Korupsi miliaran hingga triliunan rupiah. He-he, sejumlah anggota DPR berjoget-joget ketika diumumkan bahwa ada tunjangan perumahan Rp 50 juta sebulan. Lupa masih berjibun rakyat yang menderita. **

** Penulis adalah jurnalis di Medan.

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN