DPR dan Parpol, Jangan Menjadi “Anak Durhaka”

Gedung DPR RI. (foto:nabillatashandra/kompas/mistar)
Oleh: Bersihar Lubis
DPR itu wakil rakyat. Mewakili buruh yang upahnya belum layak. Mewakili petani yang pendapatannya sebulan hanya sekitar Rp 1,5 juta. Memperjuangkan nasib puak miskin, pengangguran dan yang terkena PHK. Yang hidup di desa terpencil tanpa listrik, SD dan Puskesmas. Tentu juga mewakili dunia usaha dan UMKM. Etcetera..etcetera..
Amuk massa pada sejak akhir Agustus 2025 yang lantang menuntut pembubaran DPR harus didengar sebagai terompet keras bagi legislatif. Yes, DPR harus mereformasi diri. Bukan sekadar mencoret tunjangan dan fasilitas fantastis. DPR juga harus kembali mewakili kepentingan rakyat, yang memilihnya dalam Pemilu. Inilah, tuntutan 17+8 yang dipekikkan mahasiswa saat demonstrasi di berbagai kota di negeri ini.
Koalisi “gemuk” pendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di DPR semestinya tidak membuat DPR menjadi rubber stamp (tukang stampel) dan pasif dalam mengawasi kinerja Pemerintah. Mengawasi itu konstitusional, jelmaan cinta. Bukan benci.
Pemerintah tampaknya menyadari itu. Menteri Koordinator Yusril Ihza Mahendara menegaskan sistem pemilu yang berlaku dianggap kurang terbuka luas. Akibatnya, tokoh dengan kapasitas politik bagus justru gagal melenggang ke Senayan. Sementara figur populer seperti artis atau selebritis lebih mudah mendapatkan kursi.
“Pak Presiden sejak awal menekankan perlunya reformasi politik, supaya partisipasi terbuka bagi siapa saja, bukan hanya selebritis atau orang yang punya uang,” ujarnya. Perkara artis dan selebritis bisa debatable. Performanya atau komunikasi politiknyakah yang bermasalah? Atau apa?
Memang, jika reformasi mandeg, DPR setahap demi setahap bisa melapuk. Lama-lama bisa kehilangan legitimasi, dan tak mustahil fungsinya keropos.
Tengoklah, betapa banyak bisnis yang digulung oleh disrupsi. Transportasi online menggusur angkutan konvensional. Pembeli offline susut karena konsumen membeli secara online. Media cetak pun disalip oleh media online.
Apakah fenomena ini juga akan melanda partai politik (parpol)? Jika berkaca pada hasil Pemilu 2024, gejalanya sudah mengancam. Ada 10 parpol baru dan lama gagal meraih kursi di parlemen.
Tapi apakah pada Pemilu 2029, dan seterusnya masih tetap unggul? Saya khawatir persepsi publik bisa bergeser. Publik lama-lama bisa jemu melihat proses demokratisasi di tubuh parpol. Padahal DPR adalah jelmaan parpol. Karena itu tak hanya reformasi DPR, reformasi parpol pun perlu dilakukan.
Coba tengok betapa banyak pemilihan ketua umum parpol bukan sebagaimana galibnya demokrasi, melalui pemungutan suara. Melainkan secara aklamasi. Wacana calon tunggal untuk ketua umum pun bergema.
Ada standar ganda. Pemilu diselenggarakan dengan prinsip one man one vote, mengapa pemilihan DPP parpol telah mereduksi demokrasi. Padahal inti dari reformasi adalah demokratisasi.
Regenerasi pun hampir diluputkan. Agaknya, hanya Golkar yang rada lumayan regenerasinya, walau belakangan belum ideal. Mulai dari Akbar Tanjung (1998), Jusuf Kalla (2004), lalu disusul oleh Aburizal Bakrie, Setya Novanto, Airlangga Hartarto hingga Bahlil Dahalia. Banyak yang bertahan sebagai ketua umum terus menerus, jika tak dikatakan sebagai ketua umum seumur hidup.
Industri Politik
Saya kira parpol harus melakukan otokritik. Jangan merasa mapan berada di zona nyaman dan mempertahankan status quo. Apalagi persepsi publik terhadap citra parpol masih dekat dengan korupsi, walau itu dilakukan oleh oknum. Banyaknya anggota DPR-DPRD dan kepala daerah yang berasal dari parpol yang terjerat kasus korupsi telah menguatkan persepsi itu.
Syahdan, disruption bermakna “an event that results in a dis - placement or discontinuity”, “the act of causing disorder”, atau “the act or rending asunder, or the state of being rent asunder or broken in pieces”.
Artinya, “sebuah kejadian yang mengakibatkan pergantian (perubahan) atau diskontinuitas,” “tindakan yang menyebabkan gangguan,” atau “tindakan atau penyingkiran, atau keadaan terpecah.”
Lagi pula tradisi aklamasi dan calon tunggal itu tak langgeng. Suatu hari bisa saja figur yang dominan tak lagi ada. Sehingga regenerasi terputus, dan diskontinuitas kepemimpinan terjadi.
Harus ditampilkan “industri politik” modern. Intensifkan kaderisasi. The right man on the right place. Semua kader sama haknya dalam mekanisme dipilih dan memilih. Demokratis dan tanpa hak prerogatif.
Zaman akan terus berubah. Parpol yang ogah berubah akan digilas oleh tsunami disrupsi, yang dahsyat itu. Pilihan publik bisa bergeser ke parpol yang demokratis dan modern.
Simaklah, survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang merilis persepsi publik atas kinerja pemerintah pada Mei 2025. Ternyata Presiden dan TNI menjadi lembaga negara paling dipercaya publik. Tercatat 15 lembaga negara atau sipil yang dipercaya publik, yakni Presiden RI (97,5%), TNI (92,8%), Basarnas (86,3%), Kejaksaan Agung (76%), Mahkamah Konstitusi (74,3%), BPI Danantara (70,5%), dan Bawaslu (65%).
Namun tiga terbawah diduduki oleh DPR (45,8%), Komisi Pemilihan Umum (43,5%), dan partai politik (43%).
Bahkan, 10 tahun lalu, 2015 pun, DPR menjadi institusi yang dinilai paling tidak memuaskan kinerjanya. Yakni DPR (66,5 persen), Parpol (63,5 persen) dan Polri (55,9 persen).
Tiba masanya DPR, Parpol dan rakyat menyatu dalam satu kesatuan utuh, menyatu secara fisik, pikiran dan emosional. Bukan sekadar bersatu secara fisik.
Alangkah paradoks jika kaum buruh memprotes UU Omnibus Law, tapi DPR mengesahkannya. Fraksi-fraksi di DPR sebagai perpanjangan tangan parpol menyetujuinya, sementara rakyat menolaknya. Dan banyak lagi contoh ketika sikap DPR berseberangan dengan aspirasi rakyat.
Bulu kuduk kita bergidik membaca berita amuk masa di Nepal yang membakar gedung parlemen, Rabu (10/9/2025) lalu. Inilah, buntut dari kemarahan warga atas kebijakan pemerintah yang memblokir akses media sosial, seperti Facebook, Instagram, X, dan YouTube serta problem ekonomi sosial lainnya. Aduh, massa membakar rumah Perdana Menteri (PM) Nepal KP Sharma Oli, yang terpaksa mengundurkan diri, dan digantikan sementara oleh Sushila Karki.
DPR dan parpol di Indonesia pun yang sempat menjadi “anak yang hilang” kembalilah ke pangkuan ibumu, yakni rakyat yang membesarkanmu. Sory berat, jangan menjadi “anak durhaka.
(Penulis adalah jurnalis menetap di Medan)
PREVIOUS ARTICLE
Siapa Charlie Kirk? Aktivis AS yang Tewas Ditembak