Thursday, October 9, 2025
home_banner_first
OPINI

Inflasi di Sumut: Habis Cakak Takana Silek

Kamis, 9 Oktober 2025 11.11
inflasi_di_sumut_habis_cakak_takana_silek

Ilustrasi, Inflasi di Sumut: Habis Cakak Takana Silek. (foto:istimewa/mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

Semestinya inflasi di Sumatera Utara (Sumut) yang mencapai 5,23 persen% -- tertinggi di Indonesia – tidak terjadi. Ternyata pengeluaran masyarakat melebihi pendapatan mereka. Namun sekiranya pemerintah melakukan mitigasi, wajah buruk ini tidak akan terjadi. Sebab fenomena ini seharusnya sudah bisa diprediksi sejak tiga bulan lalu. Selama musim kemarau Mei hingga Juli 2025, pemerintah mestinya dapat mengantisipasi penurunan produksi beberapa tanaman pangan. Misalnya, produksi cabai di Kabupaten Batubara, dan Kabupaten Karo biasanya 120 ton per hari, saat itu di bawah 70 ton per hari.

Tak pelak, harga cabai merah melambung dari Rp 80 ribu hingga Rp 100 per kilogram. Harga beras dan daging pun menyusul, meskipun harga beras pada September turun seiring gerakan pangan murah serta musim panen.

Apa boleh buat, apa yang disorot oleh ekonom John Maynard Keynes, inflasi pun terjadi ketika permintaan agregat (total permintaan di dalam ekonomi) melebihi kapasitas produksi ekonomi. Nilai uang menurun dibanding harga komoditas. Daya belipun melemah. Suasana serupa pun terjadi di Riau, Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi.

Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyadari hal itu. Dia mengatakan, salah satu faktornya adalah karena harga sejumlah barang dalam kategori volatile food tidak stabil. "Pertama, inflasi yang paling tinggi itu volatile food (lalu) selain dari volatile food yang tertinggi (juga) sumbangan dari (naiknya harga) emas," ujar Bobby kepada wartawan di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Selasa (7/10/2025) lalu.,

Pempovsu pun segera menggelar pasar murah di 524 titik di 33 kabupaten dan kota se-Sumut. Bekerja sama dengan provinsi lain untuk mencukupi stok cabai di Sumut agar harganya tidak tinggi. Dalam tiga bulan ke depan, pihaknya telah menyiapkan 11 langkah cepat untuk menurunkan harga komoditas penyumbang inflasi tertinggi.

Seperti diketahui tiga provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi tercatat Provinsi Sumatera Utara sebesar 5,32% (YoY). Riau menyusul dengan nilai inflasi sebesar 5,08%, diikuti oleh Aceh dengan inflasi mencapai 4,45%.

Padahal inflasi Sumatera Utara sempat melandai dari 1,78% di Januari menjadi 0,69% di Maret 2025. Bulan berikutnya terjadi lonjakan yang cukup tinggi, yang membuat inflasi di provinsi ini mencapai 2,09% sebelum akhirnya kembali menurun pada 2 bulan berikutnya. Eh, September, inflasi Sumatera Utara mencapai titik tertinggi di angka 5,32% (YoY) atau setara kenaikan sebesar 20% dari bulan sebelumnya.

Mirisnya upaya menekan inflasi dilakukan justru setelah sempat babak belur. Kita pun teringat frasa Minangkabau, “Habis cakak takana silek." He-he, "setelah selesai bertarung, jurus silat pun teringat.” Setelah inflasi membubung, barulah jurus menekan inflasi dilakukan.

Semestinya TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) sejak dini sudah memonitor, menganalisis, dan mengendalikan inflasi di wilayahnya. Tim ini terdiri dari Pemda, Bank Indonesia, Bappeda, dinas terkait, dan Bulog.

Nah, ketika produksi mulai menurun sejak Mei lalu, TPID seharusnya mengetahuinya. Lalu, membuat kebijakan dan rencana kerja untuk pengendalian inflasi di tingkat daerah. Misalnya, ya, itu tadi: operasi pasar murah, kerja sama dengan provinsi tetangga dan memperkuat sistem logistik. Bukan malah ibarat setelah terjadi kebakaran, barulah mobil damkar dikerahkan.

Harap dicatat inflasi mengkibatkan menurunnya daya beli masyarakat karena harga barang dan jasa naik. Tadinya mampu membeli satu kg cabai, kini hanya seperempat kg. Nilai tabungan di bank menurun. Serta meningkatnya ketidakpastian ekonomi yang menyulitkan perencanaan keuangan individu dan dunia usaha. Bahkan, menyebabkan ketimpangan ekonomi, membuat masyarakat berpenghasilan rendah makin tertekan. Tabik! **

** Penulis adalah jurnalis di Medan

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN