Pungli dan Geng Motor Dinormalisasi karena Masyarakat Tak Berdaya


Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi. (f: ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi menyebut pungutan liar dan geng motor sudah dinormalisasi karena masyarakat tidak berdaya. Selain masyarakat yang tidak berdaya, alternatif juga kurang, dan sistem hukum dan sosial tidak berfungsi secara maksimal.
Farid mengatakan, masyarakat menjadi korban kekerasan geng motor, mengalami perusakan, kemudian pemalakan, serta teror.
"Masyarakat ini sekarang dilematis, tapi jika dibiarkan, pungli dan geng motor semakin merajalela. Tapi tidak bisa bertindak sendiri, karena akan ada potensi main hakim sendiri, muncul kekacauan, serta kondusifitas hukum dan keadilan akan rusak," katanya, Senin (19/5/2025).
Untuk mengatasi situasi tersebut, sebut dia, butuh upaya sistemik yang menyentuh persoalan, seperti pendidikan, keadilan ekonomi, serta reformasi birokrasi dan hukum.
"Alasan utama pungli dan geng motor, yaitu lemahnya penegakan hukum. Hukum diskriminatif, pelaku pungli merasa aman dan kurang tegasnya tindakan tidak berefek dan membuat jera," ucapnya.
Menurut Farid, masyarakat cenderung memilih diam karena takut terhadap ancaman, intimidasi, dan balas dendam dari pelaku. "Masyarakat tidak percaya perlindungan hukum, sehingga enggan melapor. Kemudian, mereka tetap membiarkan pungli dan geng motor ketidakpercayaan itu," ucapnya.
Untuk diketahui, banyak pelaku pungli dan geng motor berasal dari lingkungan menengah ke bawah dan kurang pendidikan.
"Saat tidak ada akses ekonomi dan sosial yang memadai, sebagian orang mengambil jalan ilegal sebagai alternatif bertahan hidup, contohnya menjadi pungli dan geng motor," ujarnya.
Kemudian, ada beberapa media dan konten yang meromantisasi kehidupan geng motor. Birokrasi juga sering terdapat pungli, hal tersebut dinilai sebagai biaya normal. "Dampak jangka panjang yang harus diantisipasi, yaitu masyarakat mulai beradaptasi pada situasi menyimpang dan menganggapnya bagian dari kenyataan hidup," tuturnya.
Terdapat dugaan keterlibatan aparat untuk membiarkan, melindungi, dan ikut dalam praktik tersebut, sehingga pemberantasan tidak efektif. "Koordinasi antar lembaga juga kurang, belum sepenuhnya terintegrasi memberantas masalah, penanganan reaktif bukan preventif," katanya. (amita/hm24)