Thursday, August 21, 2025
home_banner_first
OPINI

Aduhai, Wartawan Kompeten

journalist-avatar-top
Kamis, 21 Agustus 2025 10.52
aduhai_wartawan_kompeten

Ilustrasi. (Foto: ChatGPT/Mistar)

news_banner

Oleh: Bersihar Lubis

Saya ingat dulu ada seorang kawan wartawan di era Orde Baru. Dia ditugasi mengonfirmasikan sebuah kasus menarik kepada seorang menteri. Nahas sang menteri supersibuk. Usai rapat kabinet di istana, rapat dengan staf di kantornya. Belum lagi tamu-tamu silih berganti.

Padahal deadline tinggal besok sore. Si reporter tak hilang akal. Dia bertanya kepada ajudan menteri, apa kegiatan menteri sebelum sarapan pagi. “Oh, beliau suka jogging jam lima pagi,” kata si ajudan.

Tak pelak, si reporter sudah hadir di depan rumah menteri jam 04.30 pagi. Tatkala menteri keluar dari rumah dan memulai jogging, dia mengikutinya. Sejenak berlalu, dia merapat. “Selamat pagi, pak,” ujarnya. Menteri menoleh dan menyahut “selamat pagi.”

Seraya jogging berendengan, si reporter berkata, “saya wartawan, pak,” katanya seraya menyebut medianya. “Oh, Anda mau apa,” sahut menteri. “Saya hendak mengonfirmasi sebuah kasus, pak,” katanya sembari menjelaskan masalahnya.

Seketika sang menteri berhenti jogging. Lalu, mengajak duduk di sebuah bangku di suatu taman di sisi trotoar jalan. “Ayo, kamu mau tanya apa,” kata menteri. Pendek kata, wawancara pun berlangsung di taman itu.

He-he, usai jogging, sang menteri malah mengajak si reporter sarapan pagi di rumahnya. Sambil sarapan, si reporter menggali profil si menteri, hobinya, hubungan dengan anak istri, dan sebagainya, sehingga dia bisa menulis satu berita lain mengenai human interest sang menteri.

Menembus sumber adalah salah satu syarat penting wartawan yang kompeten. Dia berikhtiar dengan banyak akal dan berbagai cara yang etis untuk bisa mewawancarai nara sumber. Mendatangi kantornya saja bisa terhalang kesibukan nara sumber. Bertelepon dan SMS belum tentu dijawab.

Kisah lama ini saya ingat kembali sehubungan Uji Kompetensi Wartawan [UKW] yang kerap dilakukan oleh Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia [PWI].

Sesungguhnya, wartawan yang kompeten menjauhi berita copy paste dari rekan jurnalis media lain. Tidak etis menulis berita yang tidak diliput langsung. Jika berita copy paste salah, maka dia telah menyiarkan berita yang salah. Bisa berujung bantahan, atau somasi.

Berita pers rilis pun hanya sebagai bahan awal. Dia masih mengembangkannya sehingga cocok dengan misi korannya dan kepentingan publik. Bukan hanya kepentingan yang membuat pers rilis.

Sengkon dan Karta

Ada suatu anekdot yang beredar di kalangan wartawan Medan pada 1980-an. Syahdan, dua wartawan senior di Medan iseng-iseng membuat percakapan yang direkam di tape recorder. Seolah-olah sedang terjadi wawancara Kepala Polisi Diraja Malaysia dengan seorang wartawan. Logat pejabat polisi dari negeri serumpun itu ditirukan beraksen Melayu.

Ketika beberapa wartawan kumpul-kumpul di sebuah kantin, tape recorder itupun diputar. Seorang wartawan tertarik. Tanpa usul periksa, dia spontan memutar ulang rekaman, dan mencatatnya. Berita itu kemudian terbit head line di korannya.

Tak jelas, apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, atau sekadar menyindir wartawan yang ingin membuat berita istimewa tanpa mengusut asal usulnya.

Kelengkapan unsur berita, akurasi berita juga dicermati wartawan yang kompeten. Tidak bolong-bolong yang membuat pembaca masih bertanya-tanya. Termasuk cover both side jika ada nara sumber yang mengiritik pihak lain.

Ucapan nara sumber, bahkan putusan peradilan bisa saja salah. Pernah terjadi Sengkon dan Karta, dua orang yang divonis bersalah dalam kasus pembunuhan penjaga warung di Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat pada 1974. Sengkon dihukum 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun penjara.

Setelah menjalani masa hukuman selama 6 tahun, Sengkon dan Karta bertemu dengan Gunel di dalam penjara, yang dihukum karena kasus lain. Gunel mengaku sebagai pembunuh penjaga warung di Bekasi itu. Sengkon dan Karta pun mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dari bui.

Jadi meskipun ada nara sumber yang bicara selalu ditimbang-timbang secara kritis. Apakah logis, tidak “asal bunyi.” Tidak bagaikan “mengecat langit.” Apalagi mengandung SARA dan hoax. Ujaran kebencian, intoleransi dan kisah kriminal yang menyangkut anak di bawah umur tidak akan tayang. Meskipun sexy, tapi bisa bak menyiramkan bensin ke api.

Wartawan yang kompeten juga menciptakan berita dengan melihat fenomena dan gejala-gejala yang ada di masyarakat. Lalu, melakukan reportase dan mewawancarai berbagai nara sumber.

Pembaca pun mendapat “bonus.” Ada berita menarik yang tak sekadar berita rutin yang bersifat seremonial belaka.

Dia pun selalu kaya dengan angle (sudut pandang). Misalkan ketika sungai meluap karena hujan lebat bercampur banjir kiriman sehingga menggenangi kota, dia mereportasekan kerepotan warga. Perabot rumah terendam dan rusak. Ternaknya hanyut. Lampu listrik padam dan sebagainya. Atau menelusuri penyebab banjir secara konferehensif.

Boleh juga menulis upaya Pemko mengatasi kebiasaan penduduk membuang sampah ke sungai hingga menjadi sempit dan tumpat. Sudah adakah yang ditindak. Apa program Pemko mencegah kebiasaan buruk itu, apa hambatannya dan berapa anggarannya.

Wartawan yang kompeten selalu mengasah skill dan keterampilannya sehingga “naik kelas” dari waktu ke waktu.

Uji kompetensi yang sejati tak hanya pada saat UKW, tapi juga ketika jurnalis berprofesi day to day. Sertifikasinya, datang dari apresiasi pembaca yang puas atas hak mengetahui (right to know). Tak puas hanya meraih sertifikasi UKW dari Dewan Pers.**

**Penulis adalah jurnalis menetap di Medan.

REPORTER: