Sunday, August 10, 2025
home_banner_first
MEDAN

Kisah Penjahit Merah Putih yang Meneruskan Jejak Ayah

journalist-avatar-top
Minggu, 10 Agustus 2025 14.37
kisah_penjahit_merah_putih_yang_meneruskan_jejak_ayah

Maivo menjahit Bendera Merah Putih untuk stok jika ada permintaan dadakan. (Foto: Amita Aprilia/Mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Di balik riuhnya lalu lintas Jalan Jamin Ginting, Presto Lumbantobing setia duduk di depan mesin jahit tua peninggalan ayahnya. Dari tangannya, lembar demi lembar kain merah dan putih disatukan, bukan sekadar menjadi bendera, tapi juga menjaga warisan berharga yang dititipkan sang ayah, Pardamean Lumbantobing.

Perempuan yang disapa Maivo, telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya di depan mesin jahit, kini usianya tak muda lagi. Ia memulai pekerjaan ini sejak sekolah dasar, sekitar tahun 1980-an, di bawah bimbingan ayahnya.

Kepada Mistar, ia mengenang masa-masa awal membuat Bendera Merah Putih, kala itu tali bendera harus dibuat dengan kain yang dijahit kecil-kecil.

"Dulu, tali bendera pun dari kain. Di situ kami belajar. Yang penting lipatannya betul," kata Maivo di rumah sekaligus tempat menjahit dan menjual Bendera Merah Putih, di Jalan Jamin Ginting No.517, Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Minggu (10/8/2025).

Maivo menyusun Bendera Merah Putih buatannya untuk dijajakan di depan rumahnya. (Foto: Amita Aprilia/Mistar)

Menjelang perayaan 17 Agustus 2025, Maivo mengakui jumlah pesanan bendera mengalami penurunan signifikan. Jika tahun lalu ia bisa menerima 100 persen pesanan, tahun ini hanya sekitar 70 persen. Meski demikian, ia tetap berproduksi.

"Tahun ini ada penurunan. Yang tadinya 100 persen, sekarang 70 persen saja," ujarnya.

Pesanan benderanya tak hanya datang dari Medan, tetapi juga dari luar kota seperti Tanah Karo, Kota Cane, dan Sidikalang. Para pelanggannya datang silih berganti, sebagian adalah pelanggan setia ayahnya.

Bendera yang dijahit Maivo memiliki berbagai ukuran dengan harga bervariasi, mulai dari Rp5.000 untuk bendera sepeda motor hingga Rp60.000 untuk ukuran kantor. Stok bahan selalu ia siapkan untuk memenuhi permintaan dadakan.

Maivo menyadari, penjahit rumahan seperti dirinya kini semakin sulit ditemukan. Namun, ia bertekad untuk terus menjahit bendera merah putih, apa pun yang terjadi.

"Saya akan teruskan, walaupun sedikit, apa pun yang terjadi, tetap ada uang masuk. Saya butuh upah jahitnya," ucapnya penuh semangat.

Ada kebanggaan tersendiri bagi Maivo saat menjahit lambang negara. Ia teringat akan sosok Fatmawati, penjahit bendera pusaka pertama.

"Saya menjahit bendera ini bersama suami, ada dua mesin. Ketika permintaan tinggi kami berdua menjahit. Kadang minta tolong penjahit rumahan, kita kasih bahannya mereka tinggal jahit. Upah mereka Rp1.500 per bendera," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Maivo menyampaikan pesan moral untuk Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80. "Tidak sulit jika hanya mengibarkan Merah Putih jika dibandingkan dengan pahlawan yang berjuang sampai menumpahkan darah. Jadi, ayo kita mengisi kemerdekaan ini, jangan disia-siakan, khususnya untuk generasi muda." (amita/hm25)

REPORTER: