Anak Jalanan di Kota Medan (Bagian 2): Antara Permisif dan Pengingkaran

Seorang anak membantu ibunya berjualan tisu di persimpangan lampu lalu lintas di Medan. (foto:adilsitumorang/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Salah satu persoalan mendasar yang jarang disentuh dalam wacana mengenai anak jalanan adalah penggunaan dan pelembagaan istilah “anak jalanan” itu sendiri.
Menurut Pengamat Sosial Kota Medan, Shohibul Anshor Siregar, secara sepintas istilah ini terdengar netral dan bahkan dianggap memudahkan klasifikasi kebijakan.
Namun, jika ditelaah lebih kritis, istilah ini justru mencerminkan pembiaran yang dilembagakan oleh negara, sekaligus cerminan dari ketidakseriusan dalam menyelesaikan akar persoalan.
"Mengapa? Karena dengan menciptakan istilah 'anak jalanan' dan menjadikannya nomenklatur resmi dalam kebijakan, pemerintah secara tidak langsung telah melegitimasi keberadaan anak di ruang yang seharusnya tidak mereka tempati, yakni jalanan," ujarnya.
Dari sudut pandang hak anak, tidak ada justifikasi normatif yang dapat membenarkan seorang anak hidup dan bekerja di jalanan. Jalan bukan tempat tumbuh kembang anak.
"Jalan bukan sekolah, bukan rumah. Jalan adalah ruang publik yang keras, penuh risiko kekerasan, eksploitasi, kecelakaan, dan kriminalisasi," tegasnya.

Keterangan gambar: Shohibul Anshor Siregar (foto:istimewa/mistar)
Secara sosiologis, istilah “anak jalanan” mengonstruksi realitas seolah keberadaan mereka adalah bagian normal dari masyarakat urban. Akibatnya, negara tidak merasa terdorong untuk menghapus kondisi tersebut secara menyeluruh.
Berbagai program penanganan pun cenderung bersifat ritualistik dan manajerial, bukan transformatif. Masyarakat pun terbiasa melihat anak bekerja atau mengemis di jalan sebagai fenomena biasa, alih-alih sebagai bentuk kekerasan struktural.
Dalam perspektif kebijakan publik, ini disebut "language capture", yakni penggunaan istilah yang tampak netral tetapi menyamarkan pelanggaran hak asasi manusia. Istilah ini juga membentuk dikotomi semu antara “anak normal” dan “anak jalanan”, yang pada akhirnya menyamarkan tanggung jawab negara terhadap seluruh anak.
Tidak Ada Alasan Pembenaran
Konstitusi Republik Indonesia menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 UUD 1945). Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB (CRC) yang menjamin hak anak atas identitas hukum, pendidikan dasar, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, serta hak untuk hidup dan berkembang secara optimal.
"Jadi, negara tidak memiliki alasan moral, hukum, maupun konstitusional untuk mengakui secara terminologis keberadaan anak jalanan tanpa niat menghapus kondisi itu secara permanen," tegas Shohibul.
Ironisnya, penggunaan istilah tersebut dalam berbagai kebijakan justru memperkuat eksistensinya. Lembaga swadaya masyarakat, program donor, CSR korporasi, hingga institusi negara terjerat dalam logika pengelolaan, bukan penghapusan.
"Ada kecenderungan anak jalanan menjadi komoditas empati yang disirkulasikan dari proposal ke proposal, dari statistik ke laporan pertanggungjawaban," katanya.
Reformulasi Radikal Diperlukan
Sebagai bangsa yang mengusung nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan, pemerintah harus berani melakukan reformulasi kebijakan dengan menghapus nomenklatur “anak jalanan” dari perangkat resmi negara.
"Yang seharusnya menjadi dasar kebijakan adalah: anak yang haknya dilanggar. Program-program pun seharusnya fokus pada pemulihan hak anak korban eksklusi sosial, pemulihan dari eksploitasi ekonomi, serta reintegrasi anak korban kekerasan struktural," jelas Shohibul.
Dengan pendekatan tersebut, negara dapat memulai babak baru yang lebih adil dan manusiawi dengan menempatkan negara sebagai pelindung anak, bukan sebagai penonton pasif dari pelanggaran hak yang terus berlangsung di jalanan.
"Tidak ada istilah anak jalanan dalam negara yang beradab. Yang ada hanyalah anak-anak yang dilalaikan oleh sistem yang tidak adil dan negara yang gagal melindungi masa depan bangsanya sendiri," pungkasnya. (Berry/hm01/hm27)
BERITA TERPOPULER









