OTT Proyek Jalan di Sumut, Pengamat Soroti Nepotisme dan Dugaan Suap

Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda. (f: ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda, menyoroti kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sumatera Utara, Kamis (26/6/2025). Menurutnya, kasus ini mengindikasikan praktik nepotisme, penyalahgunaan wewenang, serta lemahnya pengawasan dalam sistem pengadaan proyek.
OTT tersebut terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan oleh Dinas PUPR dan Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah 1 Sumut dengan nilai proyek mencapai Rp231,8 miliar. KPK telah menetapkan 6 tersangka dan menyita uang tunai sebesar Rp231 juta, yang diduga bagian dari komitmen fee proyek.
Elfenda mengatakan dalam kasus ini, sistem e-katalog yang seharusnya digunakan untuk mempercepat dan mempermudah proses pengadaan justru disalahgunakan.
“Penggunaan e-katalog malah dijadikan alat untuk mengamankan proyek kepada pihak tertentu. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan sistem yang tidak diimbangi dengan integritas pelaksana,” ujarnya, Minggu (29/6/2025).
Ia menambahkan, pelaku memanfaatkan celah untuk menggiring proyek kepada kelompok tertentu yang berpotensi membahayakan publik, terutama bila penyedia jasa tidak memiliki kualifikasi yang sesuai.
Dalam kasus ini juga terungkap praktik pemberian uang sebagai imbalan proyek. Transaksi diduga terjadi antara KIR (M. Akhirun Efendi Siregar) dan RAY kepada RES (Rasuli Efendi Siregar), serta kepada TOP (Topan Obaja Putra Ginting), melalui perantara yang sama.
"Selain melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas, praktik seperti ini mengorbankan efisiensi dan kualitas pekerjaan. Masyarakat sebagai penerima manfaat yang paling dirugikan,” kata Elfenda.
KPK Diminta Usut Tuntas hingga Ke Atasan
Elfenda juga mendesak KPK untuk mendalami keterlibatan pihak lain yang lebih tinggi. Ia menyoroti posisi Topan Obaja Putra Ginting yang merupakan Kepala Dinas PUPR Sumut, dan menyebut Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, patut diperiksa.
“Tidak mungkin Topan berani bertindak tanpa sepengetahuan atasannya. Kalau ada aliran uang, tentu sumber dan tujuannya juga diketahui. KPK harus telusuri sampai ke akar,” ucapnya.
Menurutnya, kasus ini memiliki implikasi serius terhadap tata kelola pemerintahan dan kualitas pembangunan infrastruktur. Proyek jalan yang dibangun lewat praktik korupsi sangat mungkin menghasilkan pekerjaan di bawah standar karena berorientasi pada keuntungan pribadi.
Kritik terhadap Inspektorat dan DPRD
Elfenda juga mempertanyakan lemahnya pengawasan internal dan fungsi kontrol oleh DPRD. “Inspektorat seharusnya berperan aktif mengawasi, bukan sekadar alat meraih predikat WTP atau menakut-nakuti internal. DPRD juga jangan hanya jadi pion politik,” katanya.
Ia menambahkan, sistem digital dalam pengadaan yang diterapkan pemerintah pusat maupun daerah seharusnya mempersempit ruang korupsi. Namun, dalam praktiknya korupsi masih terjadi karena lemahnya integritas dan pengawasan.
Di akhir pernyataannya, Elfenda menekankan pentingnya menjaga independensi penegakan hukum. “KPK harus memastikan proses hukum tidak diintervensi kekuasaan. Rakyat sudah lelah dan putus asa melihat hukum yang sering tumpul ke atas,” tuturnya. (amita/hm24)