JBAF#12 Angkat Isu Ketahanan Pangan Lewat Seni dan Budaya

Kegiatan Jong Batak Arts Festival #12. (foto:dokpanitia/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Seni tak lagi sekadar hiburan. Di Jong Batak Arts Festival (JBAF) #12, panggung menjadi ruang refleksi tentang pangan dan keberlanjutan hidup.
Festival tahunan garapan Rumah Karya Indonesia (RKI) ini digelar pada 18–28 Oktober 2025 di Taman Budaya Medan, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33, Kota Medan.
Mengusung tema “Ronggurnesia”, JBAF mengajak publik menengok akar budaya sebagai sumber daya hidup. Di tengah ancaman krisis pangan, perubahan iklim, dan alih fungsi lahan, seni hadir bukan sekadar ekspresi, tetapi ajakan menanam kesadaran: bagaimana warisan lokal menjaga dapur bangsa tetap penuh.
“Festival ini bukan sekadar perayaan seni, tetapi ajakan berpikir tentang keberlanjutan hidup dan pangan,” ujar Ketua RKI, Ojax Manalu, saat pembukaan kegiatan.
Dari Gondang ke Ketapang
Sejak pertama kali digelar pada 2014, JBAF tumbuh dari gerakan anak muda Batak yang ingin menjembatani tradisi dan zaman. Dari panggung kecil di Medan, kini festival ini menjelma menjadi ajang lintas disiplin yang mempertemukan musik, teater, seni rupa, tari, film, kuliner, hingga isu sosial.
Tahun ini, perhatian mereka tertuju pada ketahanan pangan (Ketapang) isu yang makin mendesak di tengah kenaikan harga beras dan ancaman krisis iklim. Melalui tema “Ronggurnesia”, JBAF berupaya membaca ulang peran budaya dalam menjaga kemandirian pangan.
“Budaya lokal punya peran penting menjaga ketahanan pangan. Seni bisa menjadi pintu masuk untuk membicarakan hal paling mendasar: makan dan bertahan hidup,” ujar Direktur JBAF, Audrin Manurung.
Menurutnya, seni dan budaya dekat dengan keseharian masyarakat. Karena itu, melalui kolaborasi lintas medium, diskusi, dan lokakarya, JBAF diharapkan mampu menjangkau lebih banyak lapisan sosial.
Panggung, Perut, dan Perlawanan
Nama-nama seperti Viky Sianipar, Tongam Sirait, Komunal Primitif Percussion, Kenduri Kopi, Mara Swara, Kostum, Non Blok Ekosistem, Sasude, Medan Teater, Fayo, dan Punxgoaran turut mewarnai panggung festival.
Musik gondang berpadu dengan gitar listrik, tari bersisian dengan instalasi seni rupa, serta kuliner tradisional berdampingan dengan film dokumenter.
Selain pertunjukan, festival ini juga menghadirkan diskusi publik, lokakarya seni, pameran pangan lokal, pemutaran film, dan residensi seniman. Panggung tak lagi sekadar tempat tampil, tetapi juga ruang belajar dan berbagi gagasan.
“Dengan menghadirkan dialog dan aktivitas tentang pangan lokal, kami berharap seni bisa menjadi sarana perubahan,” tambah Audrin.
Stan kuliner menyajikan pangan lokal seperti ombus-ombus, mie gomak, lapet, dali horbo, ubi, hingga beras merah mengingatkan bahwa diversifikasi pangan bukan ide baru, melainkan kearifan yang pernah hidup di dapur nenek moyang.
Panggung yang Menyadarkan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional Januari–Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton, naik 12,2 persen dari tahun sebelumnya. Namun, inflasi pangan masih bergejolak, harga beras dan cabai tetap tinggi, sementara distribusi bahan pokok belum merata.
Di Sumatera Utara (Sumut), indeks ketahanan pangan 2025 tercatat 71,47, menempatkan provinsi ini di peringkat ke-22 nasional.
Dalam konteks itu, tema “Ronggurnesia” terasa semakin relevan panggilan agar budaya dan kesenian turut memperkuat daya tahan sosial negeri ini.
Setiap malam, Taman Budaya ramai. Asap dapur dari stan kuliner menyatu dengan irama gondang dan percakapan serius tentang masa depan pangan. Anak muda, pelajar, dan seniman bercampur dalam suasana hangat antara cita rasa lokal dan percakapan global.
“Seperti masuk ke satu dunia yang hingar tapi sarat makna,” ujar Ima, mahasiswa Universitas Negeri Medan (Unimed) yang datang bersama teman-temannya.
Seni yang Menanam Kesadaran
Dua belas tahun perjalanan JBAF membuktikan bahwa seni dapat menjadi alat baca zaman. Dari gondang ke ketapang, dari pertunjukan ke percakapan, festival ini menegaskan bahwa menjaga budaya berarti menjaga kehidupan.
Ketika lampu panggung padam dan gema gondang mereda, pesannya masih menggema bahwa di tanah yang subur, seni ikut menanam kesadaran: perut dan budaya tak pernah bisa dipisahkan. (hm16)
PREVIOUS ARTICLE
Festival Makanan India Meriahkan Diwali di Medan, Simbol Eratnya Persahabatan India–IndonesiaBERITA TERPOPULER









