Menjelang Revalidasi UNESCO, Penggiat Nilai Istilah ‘Orang Tertular Geopark’ Hanya Jargon Kosong


Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang. (Foto; Pangihutan/mistar)
Samosir, MISTAR.ID
Menjelang revalidasi UNESCO terhadap Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp), istilah baru bergema di kalangan pejabat: “Orang Tertular Geopark” (OTG). Istilah ini diklaim sebagai bukti keberhasilan kampanye geopark di tengah masyarakat. Namun, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia, menilai istilah tersebut hanyalah jargon kosong tanpa dasar riset maupun fakta lapangan.
“Bagaimana mungkin masyarakat disebut tertular semangat geopark, sementara para pejabat sendiri belum memahami apa itu geopark?” ujar Wilmar, Kamis (16/10/2025).
UNESCO Beri “Yellow Card” untuk TCUGGp
Sejak ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada 10 Juli 2020, Toba Caldera seharusnya berpedoman pada tiga pilar utama UNESCO: konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, Wilmar menilai implementasinya jauh dari ideal.
Dalam revalidasi terakhir, TCUGGp bahkan mendapat “Yellow Card” dari UNESCO pada April 2024 karena lemahnya manajemen, minimnya program berbasis masyarakat, dan buruknya perlindungan lingkungan.
“Menjelang penilaian, muncul banyak kegiatan seremonial, tapi tidak menyentuh akar masalah di 16 geosite kawasan Danau Toba,” ujar Wilmar.
Istilah OTG Dinilai Ironis
Wilmar menyebut istilah “Orang Tertular Geopark” justru menjadi ironi di tengah masih banyaknya masyarakat sekitar geosite yang tidak memahami konsep geopark.
“Konservasi lingkungan terabaikan, penebangan liar marak, hutan terbakar, dan danau tercemar limbah rumah tangga serta keramba. Di mana letak penularannya?” tegasnya.
Regulasi Tak Jalan dan Master Plan Belum Ada
Lebih jauh, Wilmar menyoroti lemahnya penerapan sejumlah regulasi penting seperti Perpres No. 9 Tahun 2019, Permen Bappenas No. 15 Tahun 2022, Kepmenpar No. 2 Tahun 2020, hingga Pergub Sumut No. 5 Tahun 2024 yang belum dijalankan secara menyeluruh.
“Yang lebih parah, Rencana Induk Pengembangan atau Master Plan TCUGGp saja belum ada. Tanpa itu, bagaimana arah kerja bisa jelas? Padahal dana publik sudah terserap sejak 2012,” ujarnya.
Geopark Dinilai Jadi Proyek Politik
Menurut Wilmar, sejak awal pengelolaan geopark cenderung menjadi proyek politik, bukan program berbasis konservasi.
“Jabatan pengelola diisi berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi. Rekomendasi UNESCO diabaikan, dan revalidasi gagal dua kali sebelum akhirnya mendapat ‘Green Card’ pada September 2025,” jelasnya.
Ironisnya, kata Wilmar, pencapaian tersebut bahkan tidak diumumkan secara resmi oleh Gubernur Sumut.
Kritik terhadap Kampanye ‘OTG’
Wilmar menilai kampanye OTG justru menyesatkan publik karena tidak berbasis riset dan tanpa indikator terukur.
“Klaim itu tidak berbasis riset, tanpa indikator terukur, dan tanpa empati terhadap masyarakat geosite. Ini bukan strategi pembangunan, tapi opini pejabat,” tegasnya.
Ia menyerukan agar pemerintah berhenti menjadikan geopark sebagai alat pencitraan politik.
“Geopark bukan label untuk pariwisata atau promosi internasional. Ini komitmen menjaga bumi dan memberdayakan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Wilmar, istilah “Orang Tertular Geopark” hanya layak disematkan kepada mereka yang benar-benar menghidupi nilai-nilai geopark.
“Yakni mereka yang mencintai alam, menjaga warisan geologi, dan berjuang untuk pembangunan berkelanjutan. Bukan mereka yang hanya hadir di seminar dan berfoto untuk media sosial dengan uang rakyat,” pungkasnya. (hm17)