Selandia Baru Hentikan Ruang Kelas Terbuka: Apa Dampaknya bagi Siswa dan Masa Depan Pendidikan?

Selandia Baru hentikan proses belajar dengan sistem ruang terbuka (Foto: Istimewa/Mistar)
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Pemerintah Selandia Baru secara resmi mengumumkan berakhirnya pembangunan ruang kelas terbuka, menandai perubahan besar dalam kebijakan desain pendidikan. Menteri Pendidikan Erica Stanford menyebut kebijakan sebelumnya sebagai eksperimen yang bising dan tidak kondusif bagi pembelajaran.
Langkah ini merupakan respons terhadap berbagai kritik terhadap konsep Lingkungan Belajar Modern yang diterapkan sejak 2011. Model ini dikenal dengan desain terbuka tanpa dinding permanen, ruang kolaboratif, dan beberapa guru dalam satu area besar. Meskipun inovatif, banyak pihak menilai pendekatan ini justru menciptakan kebingungan dan gangguan di ruang belajar.
"Kami tidak akan membangun ruang kelas terbuka lagi. Kami ingin memastikan bahwa lingkungan belajar mendukung fokus dan hasil belajar yang lebih baik," kata Stanford dikutip dari berbagai media pada Selasa (22/7/2025).
Evaluasi dan Kritik terhadap Model Lama
Sebuah laporan resmi tahun 2024 menunjukkan bahwa pembangunan sekolah dengan desain khusus sering kali menimbulkan keterlambatan, pembengkakan biaya, dan tidak memenuhi ekspektasi komunitas. Sebagian besar kritik datang dari guru, orang tua, hingga organisasi pendidikan seperti ACT Party, yang menyebut desain ini sebagai “eksperimen tanpa bukti.”
Laura McClure, juru bicara bidang pendidikan dari ACT, menyoroti:
"Tiga guru yang mengelola seratus anak di ruang besar dengan beanbag selalu menjadi sumber kekacauan. Ini menyulitkan siswa dengan kebutuhan belajar khusus."
Namun, survei dari Dewan Penelitian Pendidikan menunjukkan bahwa masih banyak guru yang menyukai pendekatan ruang terbuka dan percaya anak-anak mendapatkan manfaat dari fleksibilitas tersebut.
Kembali ke Desain Standar, tapi Fleksibel
Meski meninggalkan konsep terbuka total, pemerintah tetap mengadopsi unsur fleksibilitas dalam desain baru. Ruang kelas akan menggunakan partisi seperti pintu geser kaca untuk memungkinkan kolaborasi terjadwal, namun tetap bisa ditutup untuk sesi pembelajaran fokus.
Desain baru ini adalah bagian dari strategi besar pendidikan yang lebih konservatif dan terstruktur. Pemerintah kini menekankan kembali pada keterampilan dasar seperti membaca, menulis, matematika, dan sains—menggantikan filosofi pembelajaran progresif yang menekankan kebebasan ruang.
Transformasi Sistem Pendidikan 2025: Apa Saja yang Berubah?
Perubahan desain ruang kelas hanyalah bagian dari serangkaian reformasi besar dalam sistem pendidikan Selandia Baru tahun ini, di antaranya:
Kurikulum Baru: Kurikulum bahasa Inggris dan matematika diterapkan mulai tahun ini dengan pendekatan "kaya pengetahuan".
Sekolah Piagam Kembali: Tujuh sekolah piagam telah dibuka kembali setelah sebelumnya dibubarkan tahun 2018.
Layanan Kehadiran Sekolah Baru: Pemerintah mengalokasikan $140 juta (sekitar Rp1,34 triliun) untuk mengatasi ketidakhadiran siswa.
Badan Properti Sekolah Baru: Dibentuk untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sekolah.
Dana Tambahan untuk Sekolah Māori: $28 juta (sekitar Rp268,8 miliar) dialokasikan untuk membangun ruang kelas baru yang aman dan layak.
Skema Kāhui Ako Dihentikan: Program kolaborasi antar sekolah resmi dibubarkan.
Perubahan Visa Mahasiswa: Waktu kerja diperpanjang dan visa kerja jangka pendek akan diperkenalkan.
Perubahan atau Kemunduran?
Kembalinya desain kelas tertutup menimbulkan perdebatan: apakah ini langkah mundur atau penyesuaian rasional terhadap kebutuhan siswa modern? Di satu sisi, pendekatan ini menawarkan stabilitas dan fokus. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa hilangnya ruang kolaboratif dapat menghambat kreativitas dan inovasi.
Bagi dunia pendidikan global, kebijakan ini mencerminkan pentingnya menyeimbangkan inovasi dengan efektivitas nyata di lapangan dan bahwa desain ruang belajar bukan hanya soal estetika, melainkan berdampak langsung pada kualitas pendidikan anak-anak. (*)